Daftar Isi
ToggleKeadaan Soekarno dengan Negara Barat
Sejarah terjadinya gestapu (gerakan 30 september) menjadi peristiwa berdarah di Indonsia yang menyisakan berbagai macam pertanyaan. Dalam konstelasi politik Internasional, Soekarno berani mengambil kebijakan-kebijakan yang radikal, diantaranya keluar dari PBB dengan alasan enggannya menerima Malaysia karena dianggap sebuah negara boneka Inggris. Yang lebih radikal adalah, Soekarno berani menarik asset-asset nasional, dengan menentang imperialisme dan anti Barat, dengan slogan yang kemudian dikenal dengan Berdikari (berdiri di atas kaki sendiri). Keadaan tersebut sontak membuat ketegangan antara Indonesia dengan Negara Barat (Amerika dan sekutunya). Keadaan ini dimanfaatkan oleh RRC dengan menggandeng dan mendukung Soekarno dalam setiap kegiatannya karena Soekarno dinilai paling berani menentang Barat.
Kedekatan Soekarno dengan PKI
Tahun-tahun menjelang peristiwa G 30 S suasana memanas antara Soekarno yang makin erat dengan PKI dan Angkatan Darat yang tidak setuju keberadaan PKI, hal ini diwakili oleh Nasution. Bahkan pada Juni 1962, Soekarno sukses menyingkirkan Nasution dari posisi Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) untuk selanjutnya hanya menjadi Kepala Staf Angkatan Bersenjata (KSAB) yang sama sekali tidak berwenang atas komando. Posisi Nasution digantikan oleh Jenderal Ahmad Yani. Awalnya Soekarno meganggap Ahmad Yani dapat diatur, tetapi anggapan tersebut keliru, Yani lebih mengikuti garis Angkatan Darat yang anti komunis.
Ketika Soebandrio pergi ke RRC tahun 1963 untuk urusan kenegaraan, Indonesia ditawari oleh pemerintahan Cina bantuan persenjataan untuk 40 batalion, namun pernyataan tersebut tidak langsung disetujui oleh Soebandrio, mengingat bukan kapasitas dia untuk memberikan jawaban atas bantuan tersebut. Maka setelah sekembalinya dari Cina, Soebandrio menyampaikan perihal bantuan Cina tersebut kepada Soekarno. Dan Soekarno menyetujuinya, namun belum memberikan tanggapan kapan persenjataan tersebut akan dikirim. Bantuan senjata tersebut adalah embrio dari angkatan ke-lima dalam militer Indonesia yang dibentuk Soekarno, namun Soekarno belum merincikan format angkatan ke-lima tersebut. Isu tersebut sampai kepada PKI, kemudian CC PKI D. N. Aidit menemui Soekarno untuk membicarakan angkatan ke-lima, yakni dengan mempersenjatai petani dan buruh sebagai angkatan ke-lima. Pernyataan Aidit tersebut tidak langsung mendapatkan restu dari Soekarno. Inilah masalah yang kemudian berlarut-larut antara Soekarno dengan Angkatan Darat. Letjen Ahmad Yani sudah menyatakan langsung kepada presiden bahwa dia tidak setuju dengan angkatan ke-lima. Para jenderal lainnya mendukung sikap Yani. Bagi Yani, empat angkatan bersenjata sudah lebih dari cukup.
Isu Mengenai Dewan Jendral
Isu yang kemudian berkembang di kalangan istana negara adalah, adanya sebuah koalisi jenderal yang dinamakan Dewan Jenderal, yang akan melakukan kudeta politik terhadap Soekarno. Isu tersebut ditanggapi dengan serius oleh para pengikut Soekarno dengan melakukan serangkaian rapat dan penelitian mengenai kebenaran isu tersebut. Terlepas dari adanya keterkaitan ataupun tidak dengan PKI, aktor yang mendalangi penculikan para Jenderal Angkatan Darat adalah Kolonel Untung, dari Cakrabirawa (pengawal khusus presiden), Brigjen Supardjo, Letnan Kolonel Udara Heru, Kolonel Laut Sunardi dan AKBP Anwas. Menjelang akhir Agustus 1965 pemimpin Biro Khusus PKI Sjam Kamaruzzaman, Supomo, dan Waluyo terus menerus mengadakan pertemuan yang hasil-hasilnya selalu dilaporkan kepada D.N. Aidit.
Sejak 6 September 1965, pertemuan ditingkatkan menjadi rapat-rapat rahasia dengan oknum-oknum ABRI yang telah lama dibina. Dalam kaitan ini, Sjam Kamaruzzaman melontarkan isu adanya Dewan Jenderal yang hendak melakukan perebutan kekuasaan terhadap pemerintahan Soekarno. Pada rapat tanggal 22 September 1965, PKI mulai mebagi tiga pasukan yang harus melakukan tugas-tugas berbeda, yaitu:
1. Pasukan Pasopati yang bertugas untuk menculik dan membunuh Jenderal Angkatan Darat
2. Pasukan Bimasakti yang bertugas untuk menguasai RRI dan Telekomunikasi
3. Pasukan Gatotkaca yang bertugas untuk mengkoordinasikan kegiatan di Lubang Buaya
Terjadinya Gerakan 30 September (Gestapu)
Mereka (dalam hal ini PKI) bergerak pada dini hari tepatnya pada 30 September menjelang 1 Oktober 1965 pada dini hari, dan mengawali pergerakannya dengan melakukan penculikan serta pembunuhan terhadap enam perwira tinggi dan seorang perwira utama. Diantara perwira tersebut adalah: Panglima Angkatan Darat Letjen TNI Ahmad Yani, Mayjen TNI R. Suprapto, Mayjen TNI M. T. Haryono, Mayjen TNI Siswondo Parman, Brigjen TNI Panjaitan, Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo, Lettu Pierre Tendean yang merupakan Ajudan Jenderal A. H. Nasution pun ikut tewas dalam tragedi ini, seharusnya yang menjadi target utama penculikan dan pembunuhan adalah Jenderal TNI A. H. Nasution. Namun, Nasution berhasil selamata dari kejadian ini.
Keterkaitan Soeharto dengan Peristiwa Gestapu
Terkait dengan penculikan para Jenderal AD tersebut, Untung dan beberapa petinggi “Gerakan 30 September” menggunakan dua batalion yakni 454 dan 530, yang keduanya merupakan pasukan elit Kostrad yang berada di bawah Soeharto. Dua battalion tersebut merupakan anak buah Soeharto. Hal ini mengindikasikan, adanya keterkaitan baik secara langsung maupun tidak antara Soeharto dengan Gerakan 30 September. Hal ini ditegaskan oleh Soebandrio dengan membeberkan latar belakang pasukan yang menculik para jenderal tersebut. Untung dan Latief merupakan bawahan Soeharto ketika bergabung dengan divisi Diponegoro Semarang. Dan Sjam Kamaruzzaman merupakan anak buah Soeharto dalam perang Patuk Jogja. Kendatipun ada orang yang mungkin mengatakan bahwa Soeharto bukanlah otak atau perencana G30S, namun faktanya dia menyetujui apa yang bakal dilakukan oleh Letkol Untung bahkan memberi bantuan militer dengan pemanggilan Batalyon 530 dari Jawa Timur dan Batalyon 454 dari Jawa Tengah.
Titik Gelap Gerakan 30 September
Banyak tokoh sejarawan kemudian menyangsikan PKI di balik G30S. Mereka menuduh TNI AD dengan tokohnya, Soeharto adalah dalang G30S, mereka mendasarkan teori pada fakta laporan Kolonel Latief kepada Soeharto pada 29 September 1965, malam tentang rencana penjemputan paksa para jenderal. Namun, proses untuk membuktikan keasingan tersebut terhalang tembok kekuatan besar Orde Baru selama 32 tahun yang berhasil membungkam setiap pertanyaan yang bersebrangan dengan pemerintahan Soeharto.
Terlepas dari siapa yang bertanggung jawab atas peristiwa Gestapu, inti dari serangan Gestapu terbagi atas dua bagian, yaitu: “penyingkiran” petinggi Angkatan Darat yang kemudian ditafsir sebagai pembunuhan para jenderal tersebut. Tuduhan yang kemudian dialamatkan kepada para jenderal yang dibunuh adalah terbentuknya dewan jenderal yang akan mengkudeta kepemimpinan Soekarno, setelah beredar desas-desus mengenai memburuknya kesehatan Soekarno. Lalu selanjutnya adalah Pemberangusan Partai Komunis Indonesia yang dikambing hitamkan atas serangan 30 September tersebut.
Daftar Sumber
- Buku
- Rosihan Anwar. 1980. Sukarno, Tentara, PKI, Segitiga Kekuasaan Sebelum Prahara Politik 1961-1965. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
- Salim Said. 1980. Dari Permainan Segi Tiga ke Sebuah Prahara. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 44