Daftar Isi
ToggleBandit Pedesaan di Pasuruan dan Probolinggo
Pasuruan dan Probolinggo merupakan dua keresidenan di Jawa Timur yang sudah sejak zaman Jawa Kuna dijadikan daerah persawahan. Luas daerah itu ada 8767 KM2. Bagian barat dari daerah ini berbatasan dengan keresidenan Surabaya dan Kediri, bagian Timur dengan keresidenan Besuki, sebelah utara dengan Selat Madura, dan sebelah selatan berbatasan dengan Lautan Hindia
Penduduk di Pasuruan dan Probolinggo
Menurut sumber yang masih harus ditinjau ulang, jumlah penduduk dari dua keresidenan ini sangat tinggi. Pada 30 tahun pertama abad ke XIX, jumlah penduduk meningkat drastis dari 100.000 orang menjadi 400.000. Kenaikan ini semakin meningkat setelah banyaknya imigran yang berasal dari Madura pindah ke bagian utara Pasuruan dan Probolinggo. Jumlah imigran Madura ini cukup banyak. Bahkan di keresidenan Besuki pada tahun 1820, orang Madura berjumlah 7/8 sedangkan orang Jawa disitu hanya berjumlah 1/8 (ENI, 1919: 354-358).
Pada tahun 1860, penduduk Pasuruan berjumlah 459.058 dan Probolinggo 312.377. Tahun 1900 masing-masing penduduk di dua daerah ini meningkat menjadi 1.185.353 dan 621.628. Penduduk yang padat ini menempati daerah perkebunan dan dekat dengan pabrik gula. Daerah ini memiliki pusat perkebunan tebu yang terletak di Kabupaten Malang, Pasuruan, Bangil, Probolinggo, Kraksaan, dan Lumajang.
Pasuruan dan Probolinggo didominasi oleh dua etnik, Jawa dan Madura. Kedua ini memiliki kultur yang sangat berbeda. Kultur Jawa yang halus karena terbawa dengan kehidupan pertanian, berbanding terbalik dengan kultur Madura yang sedikit kasar karena ekologi ladang (Suhartono, 1993: 33). Orang-orang Jawa tetap menekuni propesinya sebagai petani, sedangkan orang Madura sebagai pedagang dan buruh. Temperamen orang Madura terbawa oleh kesulitan mereka dalam menghadapi alam serta kehidupan.
Pertanian di Pasuruan dan Probolinggo
Sebelum memasuki abad ke XIX, pertanian tradisional di Pasuruan dan Probolinggo berpusat di daerah-daerah subur pantai utara, dataran tinggi Malang, serta dataran rendah Lumajang. Pada daerah yang subur dan memiliki sumber air, sawah dipanen dua kali setahun, sedangkan pada daerah yang kurang subur atau hanya bisa ditanami saat musim hujan saja hanya bisa dipanen sekali dalam setahun.
Hasil pertanian ini diperdangkan dalam pasar lokal. Padi dan Kopi diperdagangkan di pasar lokal, dan hasil penjualannya biasa digunakan oleh para petani untuk mendapatkan kain, cita, porselin, barang dari logam atau besi, serta barang-barang lainnya yang tidak bisa dibuat sendiri. Di daerah Lumajang dan Malang, para petani mulai menanam tembakau, sedangkan petani di pesisir utara lebih kreatif karena sudah memiliki penggilingan tebu tradisional.
Memasuki abad ke XIX, model perekonomian di Pasuruan dan Probolinggo mengalami perubahan. Hal ini berkaitan dengan mulai masuknya perkebunan. Sejak pertengahan abad ke XIX, daerah Pasuruan dan Probolinggo terbagi menjadi 5 kabupaten, yaitu Malang, Bangil, Probolinggo, Kraksaan dan Lumajang. Setelah pertengahan abad ke XIX, daerah ini menjadi areal tanam paksa yang mengusahakan tebu, kopi, serta tanaman lainnya yang tidak begitu besar.
Berkembanganya Ekonomi Perkebunan
Dalam Lembaran sejarah Indonesia, petani selalu menjadi objek eksploitasi, baik pada era kerajaan, maupun pada era kolonial. Perluasan serta dominasi perkebunan ini mendesak perekonomian tradisional yang merupakan soko guru kehidupan para petani. Pada tahun 1828 luas sawah di Pasuruan dan Probolinggo mencapai 40.310 ha. Mulanya disana hanya ada satu penggilingan tebu yang dimilikki oleh Han Kikko. Ia menyewa tanah dari Gubernemen seluas 12 desa pada tahun 1808. Lalu Johannes Coert membangun penggilingan gula juga yang terletak 10 kilometer sebelah tenggara Pasuruan seluas 112 ha. Pada 1828, Pasuruan memiliki 21 pabrik gula, setahun berselang pabrik itu bertambah menjadi 51, dan pada 1831 menjadi 91 pabrik.
Seiring dengan perkebunan yang semakin meluas, lahan pertanian pun harus rela tergusur akibat itu. Tak hanya itu, perkebunan yang luas pun tentu membutuhkan tenaga kerja yang semakin banyak. Biasanya, dalam aturan masyarakat tradisional, penduduk yang tinggal di sekitaran Pabrik atau perkebunan diberlakukan kerja wajib serta sumbangan (Elson, 1984: 129-130).
Pada 1862, 15 pabrik gula pemerintah di Pasuruan menggunakan tenaga kerja paksa sebanyak 234.000 hari kerja. Sedangkan di Probolinggo ada sebanyak 10 pabrik gula dengan menggunakan tenaga kerja paksa 193.080 hari kerja. Maka semakin banyaklah tekanan terhadap para petani. Selain mereka hanya berpenghasilan rendah, keadaan mereka juga diperparah dengan harus membayar berbagai macam pajak dan adanya kerja wajib.
Lahirnya Bandit Pedesaan di Pasuruan dan Probolinggo
Proses lahirnya perbanditan berasal dari petani yang terdesak dan tertekan oleh beratnya pajak dan kerja wajib. Tuntutan perkebunan yang semakin banyak, membuat para petani makin miskin dan makin menderita. Akibat dari keadaan ini, terjadilah peningkatan kriminalitas, pembunuhan, pencurian, dan perampokan. Selain itu, kondisi ini juga membuat banyaknya pembakaran yang marak terhadap perkebunan tebu (Elson, 1984: 148-149). Setelah tahun 1880-an pada dua daerah ini pembakaran terhadap kebun tebu semakin tidak terkendali.
Selain pembakaran tebu, perbanditan di daerah ini juga ada dalam bentuk pencurian hewan yang marak. Lalu ada juga jenis lain seperti perampokan, pembegalan dan lain sebagainya, hanya saja frekuensinya sangat kecil. Kasus perbanditan di dua daerah ini terbilang unik, karena didominasi oleh pembakaran lahan tebu dan pencurian hewan ternak. Di daerah lain, biasanya kasus perbanditan didominasi oleh perampokan, pembegalan, pembunuhan dan lain sebagainya. Misalnya di Yogyakarta dan Surakarta dimana kecu sangat meresahkan, sehingga ada surat kabar khusus yang tiap hari menayangkan kasus kejahatan ini yaitu “koran kecu”.
Kasus Bandit Pedesaan di Pasuruan dan Probolinggo
Banyaknya kasus pencurian hewan ternak di Probolinggo dan Pasuruan sudah jelas menunjukkan banyaknya populasi hewan ternak di daerah tersebut. Hewan ternak yang banyak disini terutama adalah sapi dan kerbau. Kedua hewan tersebut digunakan untuk membantu para petani mengurusi sawahnya. Setelah hadirnya perkebunan, kedua hewan ini menjadi semakin dibutuhkan untuk menarik grobak atau cikar yang berisi tebu. Para petani yang memiliki kerbau ataupun sapi biasanya menyewakan hewan mereka agar mendapatkan uang tambahan.
Sebenarnya, pencurian hewan ternak ini lebih mengarah kepada perbanditan biasa. Yang motifnya untuk mendapatkan ekonomi. Namun, hal demikian ada kaitannya dengan perkebunan, karena di perkebunan saat itu, kegiatan operasional mereka begitu bergantung terhadap hewan tersebut. hal ini segera dimanfaatkan oleh para bandit. Hewan yang dicuri biasanya diserahkan kepada jagal gelap untuk disembelih. Banyaknya hewan yang disembelih membuat populasi hewan ternak menjadi langka, dan dimanfaatkan untuk menaikan harga sewa karena permintaan yang banyak, namun hewan yang tersedia sangat terbatas.
Data yang ada dalam kolonial veslag menunjukkan pada tahun 1909 di Pasuruan tercatat 1382 pencurian hewan. Angka tersebut turun pada tahun 1914 menjadi 778, dan terus menurun, pada 1919 tinggal 189, dan pada tahun 1924 tinggal 63 kasus pencurian. Penurunan angka pencurian tersebut disebabkan oleh meningkatnya jaringan transportasi yang masuk ke pedesaan sehingga membuat jasa mengangkut menggunakan hewan semakin menurun.
Pembakaran Lahan Tebu
Kasus pembakaran lahan tebu yang menjadi kasus perbanditan yang khas di Pasuruan dan Probolinggo menurut Scott adalah resistensi petani yang dapat dilakukan setiap hari dan tujuannya untuk ekonomis jangka pendek (Elson, 1979: 219-221). Elson menunjukkan bahwa kasus ini selalu ada setiap para petani mengalami stress ekonomi karena sulitnya penyesuaian terhadap perubahan sosial yang terjadi. Pembakaran laha tebu di Probolinggo pertama kali terjadi pada 1834. Pada saat itu merupakan awal pelaksanaan tanam paksa yang memaksa petani untuk menebang dan mengangkut tebu ke pabrik. Pembakaran ini dimaksudkan sebagai bentuk perlawanan dan frustasi individu dengan melakukan vandalisme secara acak.
Pembakaran tebu di Probolinggo terus berlangsung, pada tahun 1844 tercatat ada 121 kejadian, dua tahun berikutnya masing-masing 102 kasus, dan 144 kasus. Setelah 1850, kebakaran relatif menurun. Namun, setelah tahun 1880 terjadilah krisis pertanian yang meningkatan kembali kasus kebakaran tebu terutama di daerah Paiton. Pada 1881, di Paiton ada kebakaran yang meliputi areal seluas 50 ha. Angka kebakaran di daerah Kraksaan juga begitu tinggi, ada sekitar 171 kebakaran lahan, pada tahun 1891, lalu 133 pada tahun 1894, dan 258 pada tahun 1895. Di Paiton bisa dikatakan terdapat kasus kebakaran setiap dua hari sekali setiap musim giling.
Faktor Terjadinya Perbanditan Pembakaran tebu
Menurut Asisten Residen Kraksaan yaitu P. Arends, sepanjang 1882-1886, sekiranya ada 10 faktor yang menyebabkan banyaknya kebakaran didaerah tersebut, yang diantaranya adalah kebencian terhadap penguasa lokal, penguasa pabrik, juga pengawas kebun. Selain itu yang menjadi faktor adalah, ketidakpuasan para petani dalam pengembalian sawah yang selalu terlambat. Hal itu menyebabkan mereka tidak bisa mengerjakan sawah sejak akhir musim panas, sehingga meningkatkan resiko gagal panen.
Pada tahun 1912, pemerintah melakukan tindakan represif dengan melakukan penjagaan oleh polisi yang diberi perlengkapan dan persenjataan. Akibat kasus ini, pada tahun 1883 di Pasuruan tercatat ada 118 orang narapidana yang dihukum kerja paksa tanpa dirantai, termasuk 4 wanita, sedangkan di Probolinggo tercatat 118 orang narapidana kerja paksa tanpa dirantai, termasuk 4 wanita. Kemudian, di Pasuruan terdapat 215 orang yang mendapat hukuman kerja publik oleh polisi, termasuk 17 wanita, dan di Probolinggo ada 144 orang narapidana, termasuk 20 wanita.
Perbanditan pedesaan disetiap daerah memiliki ciri khasnya masing-masing. Pada kurun waktu 1850-1942 misalnya, di Banten dan Batavia perbanditan terjadi sebagai bentuk perlawanan terhadap penghisapan tuan-tuan tanah partikelir baik orang Belanda, Cina, maupun pribumi. Di Yogyakarta dan Surakarta perbanditan pedesaan lebih didominasi oleh kecu yang menolak dominasi agroindustri Baik yang berasal dari pemerintah maupun swasta. Sedangkan di Pasuruan dan Probolinggo perbanditan pedesaan ini didominasi oleh pembakaran lahan tebu.
Sumber
- Buku
- Boechari. 1986. “Perbanditan di Dalam Masyarakat Jawa Kuna” dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi IV, CIpanas 3-9 Maret 1986. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional
- Houben, V.J.H. 1987. Kraton en Kumpeni. Surakarta en Yogyakarta 1830-1870. Disertasi Universitas Leiden.
- Kartodirdjo, Sartono dan Djoko Suryo. 1991. Sejarah Perkebunan Indonesia. Kajian Sosial Ekonomi. Yogyakarta: Aditya Media.
- Suhartono. 1991. Apanage dan Bekel. Perubahan Sosial di Pedesaan Surakarta, 1830-1930. Yogyakarta: Tiara Wacana.
- Suhartono. 1993. Bandit-bandit Pedesaan di Jawa, Studi Historis 1850 – 1942. Yogyakarta: Aditya Media.
- Artikel
- Elson, R.E. 1986. “Sugar Faktory Workers and The Emergence of ‘Free Labour’ in The Nineteenth-Century Java”. Mas, 20 (1).
- “Particuliere Landerijen”. 1919. ENI, III (N-S), hlm. 345-350
[…] Baca Juga […]