Pada Tahun 1852, Charles Walter Kinlock seorang pegawai East India Company (EIC) melakukan perjalanan dari India menuju ke Jawa. Semula ia bermaksud untuk berobat sambil tetirah ke Jawa, karena dianggap memiliki cuaca yang lebih baik daripada di India tempat ia tinggal. Dalam perjalanan mengitari pulau jawa, Kinlock membuat sebuah catatan perjalanan yang dapat menggambarkan daerah-daerah di Jawa pada tahun 1852. Di bawah ini akan kita tuliskan mengenai perjalanan Charles Walter, namun hanya perjalanan dari Batavia ke Bandung dulu saja ya. Mari kita simak bagaimana keseruan perjalanan Charles Walter Kinlock di bawah sini.
Singgah di Batavia
Batavia pada saat itu merupakan kota yang tidak menyenangkan. Kota yang terletak diantara hutan rawa dan dataran rendah, yang menjadi tempat bersarangnya penyakit malaria. Kami baru saja tiba di hotel sekitar pukul 9 malam karena harus berurusan dengan berbagai masalah di kantor Pabean. Sulit menentukan hotel terbaik, ditempat yang segalanya buruk. Kami disarankan untuk bermalam di The Rotterdamsche. Namun barulah disadari, bahwa kami bisa menginap di tempat yang lebih baik, jika saja sudah mengetahui Hotel Der Nederlanden sebelumnya.
Walaupun banyak orang Inggris yang menetap di Batavia, hotel-hotel sepenuhnya bergaya Belanda. Maka dari itu, pengunjung yang berasal dari Inggris mau tidak mau harus belajar hidup seperti orang Belanda jika tidak mau mati kelaparan. Tamu harus sudah sarapan pada pukul 6 pagi atau tidak sama sekali, lalu bersiap-siap makan ditengah harinya, tidur satu atau dua jam setelah itu, lalu bangun untuk menikmati secangkir teh di sore hari, dan makan malam di pukul 8. Setelah pukul 8 sampai tengah malam, seseorang bisa menyibukkan dirinya dengan bermain biliar, atau jika lebih senang bersosialisasi, seseorang bisa melakukan kunjungan ke beberapa wanita cantik di Batavia.
Kebiasaan Makan Aneh Orang Belanda
Masakan Belanda tidak pernah cocok dengan perut orang Inggris. Selain tidak sehat, makanan tersebut lebih ke arah menjijikkan karena bahan masakan mereka adalah asam dan mentega tengik. Kebiasaan makan aneh orang Belanda lainnya adalah, membiarkan terlebih dahulu semua makanan menjadi dingin, kecuali sup mereka yang dihidangkan begitu mendidih. Mereka mempercayai bahwa dengan makan sup panas terlebih dahulu, dinding lambung bisa meyerap kalori yang lebih banyak, sehingga makanan lainnya harus didinginkan hingga suhu tertentu. Tidak ada tata cara dalam makan malam ala Belanda, semua santapan disajikan sekaligus di atas meja, termasuk makanan penutup.
Berjalan-jalan di Jawa tergolong sangat mahal. Rata-rata perjalanan menghabiskan uang sebesar dua Jawa rupee permilnya/satu rupee delapan anas dalam mata uang Kalkutta. Jalanan di sini sangat baik, ditambah kuda-kuda yang digunakan dapat mencapai kecepatan 10mil/jam. Untuk dapat pergi keluar kota, orang asing di sini harus mendapatkan izin terlebih dahulu dari Gubernur Jenderal. Formulir perizinan sangat menyulitkan, dan kita harus membayar biaya materai sebesar 2,5 Rupee untuk mendapatkan izin berupa paspor yang berlaku selama 12 bulan.
Awal Perjalanan dari Batavia ke Bandung Melewati Buitenzorg

Pagi hari pada 9 Juni 1852, kami duduk di belakang 4 ekor kuda kecil yang gagah, untuk pergi menuju Buitenzorg dengan perkiraan 4 jam perjalanan. Kuda-kuda jawa ini terus berlari naik turun bukit dengan kecepatan yang sama, kira-kira 10 mil/jam, seperti tanpa merasa terbebani. Menyenangkan memang dapat berpergian dengan kecepatan tinggi, ditambah udara gunung yang bersih menyejukkan.
Dua hari setelah datang ke Buitenzorg, teman kami dari India yang juga datang dalam rangka penyembuhan, mendatangi hotel kami. Pada suatu malam kami pergi keluar untuk jalan-jalan di daerah yang kami rasa masih di pedesaan sekitar. Namun, tiba-tiba hujan badai datang merenggut kebahagian jalan-jalan kami. Karena merasa yakin, kami semua terus berjalan menembus badai dengan pikiran beberapa menit lagi akan tiba di hotel. Namun, setelah sekian lama berjalan, dan malam sudah sempurna, kanan dan kiri tidak terlihat apapun, barulah kami sadari bahwa ini bukan jalan menuju Buitenzorg.
Kami semua tidak mengerti bahasa Melayu, satu patah kata pun, dan tak mungkin salah satu dari petani yang nantinya kami temui dijalan mengerti bahasa selain melayu. Akibatnya, kami hanya mengulangi kata “Buitenzorg” kepada setiap orang yang berpapasan, dan “ya, ya” adalah jawaban yang selalu kami dapat, tanpa si penanya dan penjawab mengerti percakapan satu sama lain. Setelah sekian lama, akhirnya kami mendapatkan pemandu jalan dari sebuah pondok di pinggir jalan. Dengan berbagai cara, kami berusaha membuatnya mengerti, bahwa kami sedang mencari jalan menuju Buitenzorg.
Dengan dipandu pria tersebut, kami berjalan sejauh dua mil, dengan hujan paling lebat yang pernah kami alami. Kami diantar ke seorang tuan Belanda, dan disitu barulah kami diberitahu, bahwasanya kami sedang berada di Desa Grimagah, sekitar 7 mil dari Buitenzorg. Dia pun memberi tahu kami, kalau orang Melayu tidak mengenal Buitenzorg, namun mereka menyebutnya Bogor
Perjalanan dari Buitenzorg ke Tjanjore untuk sampai ke Bandung
18 Juni 1852, kami mulai melanjutkan perjalanan, dengan diantar oleh kusir Melayu. Kuda-kuda itu berlari sangat kencang, tidak peduli jalanan makin menanjak dan terjal. Dengan kehebatan kuda-kuda tersebut, kami sudah tiba di stasiun pos. Jarak 6 mil tersebut, hanya diselesaikan dengan waktu 27 menit. Alangkah indahnya pagi, udara begitu segar dan bersih ditambah semerbaknya aroma ratusan bunga yang tumbuh liar dipinggir jalan. Wangi ini mengingatkan kami terhadap wangi Syiringa ~sejenis bunga lilac di kebun Inggris~.
Pemandangan pun sangat indah, dihadapan kami terdapat hutan Megamendon (Megamendung) yang nantinya akan kami lalui. Hutan ini berada di atas ketinggian 4.300 kaki di atas permukaan laut. Di sebelah kiri ujung, terlihat muncul dari balik kumpulan awan putih, berdiri dengan megah Gunung Salok (Salak) yang berada di ketinggian 7.000 kaki. Di bawah kami, terdapat sejumlah perbukitan kecil yang mengitari Buitenzorg dengan begitu indahnya. Dan bermil-mil mata memandang, membentang dengan permainya dataran hijau di antara distrik Buitenzorg dan Batavia.
Melintasi jalanan terjal dan berbatu di Tjiserooa
Di Tjiserooa (Cisarua) Jalanan menjadi sangat terjal dan berbatu untuk dilalui dengan menggunakan kuda saja. Dari sini hingga ke puncak Megamendon, biasanya kerbau-kerbau digunakan untuk menarik kuda-kuda yang melintas. Pemandangan distrik Priangan dari Puncak Pas sangatlah indah. Sekitar 1000 kaki menurun dari puncak, para pengelana akan tiba di Tjipanas (Cipanas). Disana terdapat bungalo pribadi milik Gubernur Jenderal, dan beberapa sumber air panas alami. Sejauh 2000 kaki dari sana, kita akan tiba di Tjanjore (Cianjur) yang merupakan markas besar Residen atau pemerintahan sipil Priangan.
Desa ini berada dalam lokasi yang strategis, udara pun sangat menyejukkan. Hal yang tidak akan kami temui di desa manapun di daratan India. Walaupun kami mendapatkan penginapan yang suram untuk bermalam, namun kami sangat tidak menyesal saat pagi hari sekali harus pergi untuk melanjutkan perjalanan menuju Bandong (Bandung). Kami berniat untuk menetap beberapa lama di Bandong, agar dapat menikmati iklimnya yang sudah terkenal sangat menyenangkan, dan menikmati singa-singa yang juga terkenal dilingkungan tersebut.
Perjalanan dari tjanrore ke Bandung

Jarak dari Tjanjore ke Bandung adalah 42 mil Inggris (68 KM). Biasanya jarak tersebut akan ditempuh dalam 6 jam perjalanan. Jalanan ini merupakan jalanan dengan pemandangan yang paling indah di negeri ini. Di beberapa lokasi, kami kembali harus menyewa kerbau karena jalanan melintasi perbukitan yang terjal. Sekitar 15 mil dari Tjanjore, di sebuah turunan yang tajam, perjalanan akan melalui anak sungai Tjeetaram (Citarum).
Kemiringan di jalanan ini sungguh tajam, sehingga alat penarik atau tali yang terbuat dari kulit, perlu dipasangkan di belakang kereta. Tali tersebut nantinya akan ditarik oleh 20-30 orang kuli untuk mencegah kereta tidak meluncur bebas menuruni bukit. Pemandangan di dekat sungai itu sangat indah, namun pemandangan saat diturunan terjal tersebut lebih indah lagi. Sesampainya di seberang, empat kerbau segera dipasangkan ke kereta yang dalam beberapa menit saja berhasil membawa kami ke sisi sungai yang lain dengan selamat. Jalanan di 16 mil sisanya, relative datar. Kerbau-kerbau kini tidak dibutuhkan lagi, dan kuda pun kembali berlari kencang seperti biasanya. Sisa perjalanan tersebut ditembuh dengan waktu satu jam lewat beberapa menit, dan tibalah di Bandong.
Sesampainya di Bandung
Lingkungan sekitar desa di Bandong hampir keseluruhannya di manfaatkan sebagai kebun kopi. Perkebunan-perkebunan tersebut dibatasi dengan rumpun kembang sepatu berwarna merah yang dipangkas rapi serta tumbuh subur di daerah sini. Jika udara sedang cerah, diketinggian beberapa ratus kaki di atas kota, kita bisa melihat pemandangan yang sangat indah dari perbukitan di sekelilingnya, dan dibawahnya terdapat lembah yang yang subur. Di tengah-tengah lembah tersebut, dapat ditemukan sebuah desa yang dikelilingi oleh perkebunan kopi dan ditumbuhi subur tanaman perdu.
Kami rasa Bandong dengan karakteristiknya, terasa seperti Montpellier (kota pegunungan di Eropa dan Kanada) Jawa. Kami berada disini selama dua minggu dengan udara yang sangat menyenangkan. Termometer suhu tidak pernah lebih dari 75 derajat bahkan disaat-saat terpanasnya. Dan terkadang turun hingga mencapai 68 derajat saat sebelum sang matahari terbit. Letak kota ini berada di ketinggian 2.240 kaki, dan terdapat beberapa pegunungan besar yang tak jauh dari sini, diantaranya adalah Goonangago (mungkin maksudnya gunung Tangkuban Perahu). Goonangrangrang (gunung Burangrang).
Dalam iklim seperti di Bandung ini, orang India yang sakit dapat dengan cepat memulihkan kondisinya, andai saja bisa menemukan makanan yang sehat. Namun, diet dan makanan yang ada di sini kurang cocok dengan selera orang Inggris. Udara yang segar, olahraga, dan pemandangan yang indah memang bisa membantu proses penyembuhan. Jika hal tersebut dipadukan dengan makanan seperti roti, mentega, ikan, dan daging. Sayangnya, tidak ada satupun kebutuhan makanan tersebut yang bisa ditemukan dalam jangkauan 80 mil dari Bandong.
Daftar Sumber
- Buku
- Kinlock, Charles Walter. 2020. Rambles in Java: Pengembaraan di Tanah Jawa. Yogyakarta: Indoliterasi.
- Rush, James R. 2012. Jawa Tempo Doeloe. Jakarta: Komunitas Bambu.