Daftar Isi
ToggleWangsa Sailendra
Bila kita telusuri, Istilah Sailendrawangsa pertama kali ditemukan yaitu dalam prasasti Kalasan yang terletak di Desa Kelurak pada 782 M. Lalu, kata Sailendrawangsa ditemukan juga dalam beberapa prasasti seperti, Abhayagiriwihara dari Bukit Ratu Baka (792 M), dan Kayumwungan (824 M). Hal yang menarik, ternyata istilah Sailendrawangsa ini ditemukan juga dalam prasasti yang berada di luar pulau Jawa seperti prasasti Ligor B (yang merupakan prasasti Raja Sriwijaya), Nalanda, dan Leiden.
Arti Dari Sailendra
Di India, dan daratan Asia Tenggara, ditemukan pula beberapa nama wangsa yang memiliki arti sama dengan Sailendra, yaitu raja gunung. Hal ini, ternyata menimbulkan berbagai teori mengenai dari mana asal usulnya Wangsa Sailendra yang berada di Jawa itu. R.C. Majumdar berpendapat bahwa Wangsa Sailendra baik yang ada di Jawa maupun di Sriwijaya itu berasal dari daerah Kalingga, India Selatan (Majumdar, 1934, 66-70).
Wangsa Sailendra Menurut G. Coedes
G. Coedes menggutarakan pendapat yang berbeda. Menurutnya, Wangsa Sailendra itu berasal dari Fu-nan atau Kamboja. Menurut pendapatnya, ejaan Fu-nan dalam berita-berita Cina itu berasal dari bahasa Khmer Kuno Vnam atau Bnam yang berarti gunung dalam bahasa Khmer sekarang phnom. Raja-raja Fu-nan itu disebut Parwhatabupala, yang memiliki arti raja gunung sama seperti Sailendra. Setelah kerajaan Fu-nan runtuh sekitar 620 M, ada anggota raja-raja Fu-nan yang menyingkir ke Jawa, dan muncul sebagai penguasa pada pertengahan abad VIII M, dengan menggunakan nama Sailendra (Coedes, 1934: 66-70).
Wangsa Sailendra Menurut J. Przyluski
J. Przyluski beranggapan bahwa argumentasi Coedes itu didasarkan pada tafsir yang meragukan. Przyluski menunjukkan bahwa dari satu bait dalam prasasti Kuk Prah Kot, yang menurut Coedes merupakan petunjuk raja-raja Sailendra di Indonesia itu adalah keturunan dari Fu-nan, merupakan hal yang perlu dikaji ulang. Menurutnya, istilah wangsa Sailendra menunjukkan bahwa para raja tersebut menganggap dirinya berasal dari raja gunung, dan merupakan sebutan bagi Siwa / Girisa. Artinya, raja-raja Sailendra yang ada di Jawa menganggap leluhurnya berada di atas gunung dan hal ini menunjukkan bahwa istilah Sailendra itu berasal dari Indonesia asli.
Pendapat-pendapat itu telah dibahas oleh Nilakanta Sastri yang mengemukakan bahwa Wangsa Sailendra berasal dari India Selatan. Kemudian, ada juga pendapat dari J.L. Moens. Dalam salah satu tulisannya, ia berpendapat bahwa Wangsa Sailendra itu berasal dari India Selatan, semula Wangsa Sailendra itu berkuasa di daerah Palembang, kemudian pada 683 M, mereka melarikan diri ke Jawa karena serangan dari Sriwijaya (Touche, 1940: 1-10).
Wangsa Sailendra Menurut J.G. de Casparis
Dari pendapat-pendapat di atas, ternyata pendapat G. Coedes yang banyak digunakan. Apalagi setelah J.G. de Casparis berhasil menemukan istilah Waranaradhirajaraja pada prasasti Candi Plaosan Lor, dan Kelurak. Ia mengidentifikasi itu dengan Narawaranagara atau Na-Fu-Na dalam berita-berita Cina. Yaitu pusat kerajaan Fu-nan setelah pindah dari Wyadhapura atau T’e-Mu karena mendapat serangan dari Chen-la dibawah pimpinan Bhawawarman dan Citrasena pada pertengahan kedua abad VI M. Kemudian de Casparis berpendapat, setelah pindah ke Na-Fu-Na yang berada dekat dengan Angkor Borei, ada di antara raja-raja itu yang pergi ke Jawa dan berhasil mengalahkan penguasa di sana yaitu Sanjaya dan keturunan-keturunannya.
Jadi, menurut Casparis, sebelumnya di Jawa berkuasalah wangsa Sanjaya yang menganut agama Siwa namun, setelah kedatangan raja-raja dari Na-Fu-Na yang berhasil mengalahkan mereka, di Jawa Tengah menjadi ada dua wangsa raja-raja, Sanjaya yang beragama Hindhu Siwa, dan Sailendra yang beragama Budha Mahayana. Pendapat de Casparis itu diilhami oleh F.H. Van Naerssen, yang melihat dalam prasasti Kalasan tahun 778 M yang ditulis dalam bahasa Sanskerta, terdapat dua pihak yaitu, pihak raja Wangsa Sailendra, yang hanya disebut sebagai “Permata Wangsa Sailendra” tanpa nama, dan Rakai Panangkaran, raja bawahannya dari Wangsa Sanjaya (Naerssen, 1947: 249-253).
Wangsa Sailendra Menurut R.NG. Poerbatjaraka
Pendapat yang menyatakan bahwa Wangsa Sailendra berasal dari luar Indonesia, kemudian ditentang oleh R. Ng. Poerbatjaraka. Ia tersinggung dengan pendapat itu, karena seolah-olah bangsa Indonesia sejak dahulu hanyalah mampu untuk diperintah oleh berbagai bangsa asing. Menurut Poerbatjaraka, Sanjaya dan keturunan-keturunannya adalah raja-raja dari Wangsa Sailendra yang asli Indonesia. Semula, raja-raja itu menganut agama Siwa namun, kemudian berpindah agama setelah Rakai Panangkaran berpindah agama menjadi Budha Mahayana.
Alasan ini ia ungkapkan berlandasan dari kitab Carita Parahiyangan, yang salah satu isinya terdapat keterangan bahwa Rahyang Sanjaya telah menganjurkan anaknya Rahyangta Panaraban untuk meninggalkan agama yang dianutnya, karena ia ditakuti oleh semua orang. Nama Rahyangta Panaraban ini ia identifikasikan dengan Rakai Panangkaran.
Ditemukannya prasasti batu berbahasa Melayu kuno di Desa Sojomerto Kabupaten Pekalongan, dan juga sebuah prasasti berbahasa Sanskerta yang tidak diketahui secara pasti asalnya yang kini disimpan di museum Adam Malik, mungkin dapat memperkuat pendapat dari Poerbatjaraka. Dalam prasasti Sojomerto itu dijumpai nama Dapunta Selendra, yang jelas merupakan ejaan Indonesia dari kata Sanskerta Sailendra. Sesuai dengan asal usul nama-nama wangsa yang lain, dapat disimpulkan, bahwa Wangsa Sailendra berpangkal pada Dapunda Salendra. Dengan kenyataan ia menggunakan bahasa Melayu kuno dalam prasastinya, hal ini menunjukkan bahwa ia merupakan orang asli dari Indonesia, mungkin sekali berasal dari Sumatra, karena di sana banyak dtemukan prasasti yang berbahasa Melayu kuno.
Baca Juga
Prasasti Sojomerto
Dari prasasti Sojomerto, jelas bahwa Dapunta Salendra menganut agama Siwa. Sebab dan kapan mulanya raja-raja Sailendra itu menganut agama Budha mungkin juga dapat ditemukan dalam prasasti milik Bapak Adam Malik, yang untuk sementara diberi nama prasasti Sangkhara. Prasasti ditulis dengan bahasa Sanskerta, namun sayang, yang ditemukan kembali hanyalah bagian akhirnya. Sepertinya prasasti ini dituliskan kedalam dua batu, dan batu yang mejadi bagian pertama belum ditemukan, sehingga tidak diketahui kapan prasasti ini dikeluarkan.
Prasasti yang ditemukan berisikan tentang, pada suatu ketika ayah raja Sangkara jatuh sakit, dan selama delapan hari, ia menderita karena panas yang terasa membakar. Akhirnya sang raja meninggal tanpa bisa disembuhkan oleh pendeta gurunnya. Sebab dari kejadian ini, raja Sangkhara merasa takut kepada sang guru yang diaggapnya tidak benar, lalu ia meninggalkan kebaktian kepada Sangkhara (Dewa Siwa). Bagian akhir dari prasasti ini memang menggambarkan bahwa pada akhirnya raja Sangkhara menjadi penganut agama Budha, karena dikatakan bahwa ia telah memberikan anugerah kepada bhiksusanggha (Poesponegoro, 2010: 117)
Sumber Prasasti Lainnya
Ditemukan juga satu sumber prasasti yang lainnya, prasasti itu juga memberikan keterangan mengenai perpindahan agama Siwa ke Budha, dan raja yang berpindah agama itu adalah raja Sangkhara yang hingga kini berlum pernah ditemukan namanya dalam sumber-sumber yang sudah dikenal sebelumnya. Prasasti ini tidak lengkap, sehingga tidak diketahui tahunnya. Namun, dari segi paleografi, kemungkinan prasasti ini berasal dari pertengahan abad VIII M.
Mungkin sekali ini merupakan bukti prasasti dari teori Poerbatjaraka yang berlandaskan dari Kitab Carita Parahyangan. Dengan kemungkinan lain, bisa saja pendapat dari Poerbatjaraka ini benar mengenai asal-usul Wangsa Sailendra, yang merupakan orang asli Indonesia, dan benar pula kemungkinan yang ada, bahwasanya hanya terdapat satu wangsa saja, yaitu Wangsa Sailendra yang semula beragama Siwa kemudian pindah menjadi penganut Budha Mahayana, untuk kemudian pindah kembali menjadi penganut Siwa sejak masa pemerintahan Rakai Pikatan.
Sumber
- Buku
- Pesponegoro, Marwati Djoened: Nugroho. 2010. Sejarah Nasional Indonesia Jilid II Edisi Pemutakhiran. Jakarta: Balai Pustaka.
- Jurnal
- Coudes, G “On The Origin of The Cailendras of Indonesia”, JGIS, vol. I, 1934, halaman. 66-70.
[…] Baca Juga […]