Dwifungsi ABRI Adalah suatu kondisi dimana ABRI mengemban dua fungsi, fungsi pertama yaitu sebagai kekuatan Hankam (pertahanan dan keamanan) dan fungsi kedua adalah sebagai kekuatan sosial Politik. Loh kok bisa kayak gini? emangnya kapan ABRI di Indonesia mengalami masa ini? nah Kawantur tenang, kali ini Mintur bakal bahas tentang sejarah terciptanya Dwifungsi ABRI nih, yuk gausah lama-lama lagi, simak artikel bertutur.com yang satu ini selengkapnya.
Daftar Isi
ToggleApa Itu Dwifungsi ABRI
Seperti telah disinggung di atas bahwa dwifungsi ABRI berkaitan tentang peran ABRI yang tidak hanya sebagai kekuatan pertahanan dan keamanan negara saja, tapi ABRI bisa terlibat aktif dalam aspek sosial dan politik dalam rangka menciptakan stabilitas nasional. Pendek kata ABRI diperbolehkan untuk aktif dalam berpolitik.
Kita pertegas lagi, bahwa dalam konteks dwi fungsi ini, ABRI tidak hanya bertugas menjaga keamanan fisik negara, namun juga memiliki peran aktif dalam membentuk dan memelihara stabilitas nasional, serta terlibat dalam memfasilitasi pembangunan sosial ekonomi. Hal ini tercermin jelas dalam beberapa peristiwa masa lampau bagaimana keterlibatan ABRI dalam berbagai peristiwa sosial dan politik di Indonesia, misalnya seperti pada masa Agresi Militer Belanda II, pemberontakan-pemberontakan daerah, bahkan dalam peristiwa penumpasan G30S.
Sejarah Dwifungsi ABRI
Dwifungsi ABRI ini tentu ada pada masa Orde Baru. Pada masa itu perwujudan dari fungsi sosial politik ditubuh ABRI misalnya, keterlibatan prajurit-prajurit ABRI dalam lembaga, instansi, badan, atau organisasi di luar ABRI, termasuk dalam kursi-kursi lembaga legislatif yang diperoleh melalui penjatahan, bukan dari hasil pemilihan umum (pemilu).
Salah satu program perwujudan dwifungsi ini yang masif dijalankan pada masa Orde Baru ini adalah apa yang kita kenal sebagai “ABRI Masuk Desa (AMD). Program ini terfokus pada pembangunan masyarakat pedesaan dalam tujuan untuk menyukseskan pembangunan nasional, serta menjamin tercapainya sasaran program-program pembangunan yang tertuang dalam REPELITA (rencana pembangunan lima tahun)
Kekuasaan ABRI yang begitu luas ini ternyata menyebabkan pola hubungan antara sipil dan militer. Hubungan yang mulanya setara ini berubah menjadi dominasi militer atas orang-orang sipil. Lebih jauh lagi, hal ini menimbulkan ketimpangan kekuasaan antara institusi militer dan sipil. Hubungan politik ABRI pada masa Orde Baru ini, erat kaitannya antara ABRI dengan partai politik, khususnya Golkar.
Banyak yang menilai bahwa dwifungsi ini dianggap sebagai salah satu “mesin” pelanggeng kekuasaan Presiden Soeharto, yang berupaya melibatkan kekuatan-kekuatan untuk memenangkan partainya (Golkar) dalam pemilihan umum.
Demi kepentingan politik ini, dominasi institusi militer di ranah sospol (sosial politik), ternyata menghasilkan dampak yang negatif terhadap tugas ABRI yang seharusnya memiliki prioritas dalam menjaga pertahanan dan keamanan negara. Selain itu, terlibatnya ABRI dalam partai politik menimbulkan pertanyaan keras mengenai netralitas dan profesionalisme militer.
Terlepas dari pro-kontra kebijakan ini,dwifungsi pada masa Orde Baru memang menimbulkan berbagai macam polemik yang kompleks terhadap tatanan politik di Indonesia pada masa itu.
Berakhirnya Masa Dwifungsi ABRI
Runtuhnya pemerintahan Orde Baru (Mei 1998), menandakan berakhirnya pula dwifungsi ABRI. Pada era reformasi secara bertahap sistem dwifungsi ini dicabut, khususnya pada masa kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang menjabat dari tahun 1999 – 2001.
Saat reformasi 1998 berlangsung, salah satu tuntutan yang paling kencang digaungkan oleh kelompok pro demokrasi adalah pencabutan dwifungsi ABRI. Gus Dur yang terpilih menjadi presiden saat itu ternyata bisa mengabulkan tuntutan itu dengan cepat lewat sejumlah keputusan.
Militer aktif tidak lagi melibatkan diri dalam politik partisan untuk mendukung Golongan Karya. Fraksi TNI-Polri pun kemudian dihapuskan dalam parlemen, dan militer aktif tidak lagi bisa menyandang jabatan sipil. Sedikit mengutip tulisan Agus Widjojo dalam bukunya yang berjudul Transformasi TNI, ia menuliskan
“Perubahan TNI dalam reformasi TNI adalah perubahan dari Dwifungsi menuju militer profesional dalam sistem politik yang demokratis”
Reformasi TNI sejatinya bukanlah pemurnian peran dan wewenang TNI sesuai dengan UUD 1945 namun, ini adalah langkah “meluruskan kembali” peran TNI yang dianggap telah mengalami penyimpangan karena hadirnya undang-undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang “Pokok-pokok Sistem Pertahanan Keamanan Negara”.
Pada rapat pimpinan ABRI tahun 2000, para pemimpin sepakat untuk menghapus dwifungsi ABRI yang perlahan diberlakukan pada Pemilu 2004 dengan harapan semuanya sudah rampung pada pemilu 2009.
Pencabutan peran dwifungsi ABRI tidak terlepas karena berbagai polemik yang hadir akibat peran ganda dari institusi militer ini. Pada masa itu Gus Dur melakukan reformasi dalam tubuh ABRI dengan memisahkan antara TNI dan Polri, serta mencabut dwifungsi ini. Atas kebijakan ini, TNI tidak lagi boleh terlibat dalam politik secara aktif salah satunya untuk menjaga netralitas dalam tubuh TNI.
Nah jadi begitu Kawantur sejarah mengenai Dwifungsi ABRI ini, menurut kalian bahaya ga sih ada lembaga yang memiliki kewenangan terlalu luas seperti ini? Diskusi yuk. Kunjungi terus bertutur.com ya agar sama-sama bisa meningkatkan literatur, terimakasih buat kalian yang udah baca artikel ini, dan have a nice day.
Sumber
- Widjojo, Agus. 2015. Transformasi TNI: dari pejuang kemerdekaan menuju tentara profesional dalam demokrasi : pergulatan TNI mengukuhkan kepribadian dan jati diri. Jakarta: Kasta Hasta Pustaka.
- Suryawan, I Putu Noda dan I Ketut Laba S. 2020. Ideologi Dibalik Doktrin Dwifungsi ABRI dalam Jurnal Santiaji Pendidikan Vol. 10 no.2.
- Soebijono, DKK. 1997. Dwifungsi ABRI: perkembangan dan peranannya dalam kehidupan politik di Indonesia. Yogyakarta: Gajah Mada University Press