Heboh Sastra merupakan sebuah peristiwa pada 1968 yang menyangkut Majalah Sastra. Kasus ini bermula dari Majalah Sastra terbitan 1968 yang didalamnya memuat cerpen karya Kipanjikusmin (nama samaran) yang dianggap menistakan agama islam. Ini adalah peristiwa pertama kalinya sebuah karya sastra harus masuk ke ranah pengadilan.
Daftar Isi
TogglePermasalahan Cerpen Langit Makin Mendung
Cerita pendek Langit Makin Mendung karya Kipanjikusmin ini dimuat dalam majalah Sastra No.8 Th. VI, Agustus 1968, halaman 3-8. Cerita pendek ini lah yang menimbulkan pro dan kontra yang akhirnya menimbulkan peristiwa Heboh Sastra. Cerita pendek ini menimbulkan kemarahan dari para ulama karena dianggap menggambarkan penghinaan terhadap abstraksi dari ke-Tuhanan serta kemuliaan Nabi Muhammad. Singkatnya para ulama mempermasalahkan mengenai “Tuhan yang dipersonifikasikan, dan anggapan penghinaan terhadap Nabi Muhammad, juga Agama Islam. Mulanya, gelombang protes lahir di Medan 12 Oktober 1968 dengan dorongan para mahasiswa-mahasiswa Islam di sana. Akibat dari desakan protes tersebut, majalah Sastra Agustus 1968 akhirnya dilarang beredar oleh Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Medan) di daerah hukumnya. Setelah Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara di Medan itu menyita Majalah Sastra, kantor Majalah Sastra di Jakarta pun didemonstrasi oleh beberapa kelompok massa Islam.
Cerita Pendek Langit Makin Mendung (LMM) ini sebenarnya merupakan bagian pertama dari serangkaian cerita panjang namun, karena timbulnya kehebohan ini bagian keduanya tidak dimuat majalah Sastra. Kipanjikusmin secara terbuka pada 22 Oktober 1968, menyatakan mencabut cerpen LMM dan menganggapnya tidak ada. Walaupun Kipanjikusmin sudah mencabut cerpennya, namun majalah Sastra harus tetap berurusan dengan pengadilan untuk mempertanggung jawabkan kehebohan ini.
Sepenggal Isi dari Cerpen Langit Makin Mendung
Sebagai gambaran tentang kasus ini, di sini penulis akan mengutip beberapa bagian dari isi cerita pendek Langit Makin Mendung yang kiranya dipermasalahkan oleh si pemrotes.
- Lama-lama mereka bosan djuga dengan status pensiunan nabi di sorgaloka. Petisi dibikin, mohon (dan bukan menuntut) agar pensiunan-pensiunan diberi tjuti bergilir turba ke bumi, yang konon makin ramai sadja
- Refreshing sangat perlu. Kebahagiaan berlebihan djustru siksaan bagi manusia jang biasa berdjuang. Kami bukan malaikat atau burung perkutut. Bibir-bibir kami sudah pegal-pegal kedjang memudji kebesaranMu beratus tahun tanpa henti
- Membatja petisi para nabi, Tuhan terpaksa meng-geleng2kan kepala, tak habis pikir pada ketidakpuasan dibenak manusia….. Dipanggilah penanda tangan pertama: Muhammad dari Medinah, Arabia. Orang bumi bias memanggilnja Muhammad S.A.W.
- ‘“Daulat ja Tuhan”
- “Apalagi jang kurang disorgaku ini? Bidadari djelita berdjuta, sungai susu, danau madu. Buah apel emas, pohon limau perak. Kidjang-kidjang platina, burung-burung berbulu intan baiduri. Semua adalah milikmu bersama, sama rasa sama rata!
- Sesungguhnja bahagia lebih dari tjukup, bahkan tumpah ruah melimpah-limpah
- “Tengok permadani sutera jang kau indjak. Djubah dan sorban cashmillon jang kau pakai. Sepatu Aladin jang bisa terbang. Telah kuhadiahkan segala jang indah-indah!”
- Muhammad merunduk, terasa betapa hidup manusia hanja djalinan-djalinan penjadong sedekah dari Tuhan. Alangkah nista pihak jang selalu mengharap belas kasihan. Ia ingat, waktu sowan kesorga dulu, dirinja hanja sekeping djiwa telandjang.
- “Apa sebarnja kautjari di bumi? Kemesuman, kemunafikan, kelaparan, tangis, dan kebentjian sedang berketjamuk hebat sekali.
- “Apa dosa mereka gerangan? Betapa malang nasib umat hamba, ja Tuhan!”
- “ Djiwa-djiwa mereka kabarnja mambu Nasakom. Keratjunan Nasakom!
Tanggapan H.B Jassin Selaku Pimpinan Majalah Sastra
Sebagai bentuk tanggapan dari masalah ini, H.B Jassin selaku pimpinan majalah Sastra membuat sebuah buku yang berjudul Heboh Sastra 1968 – Suatu Pertanggung Jawaban, salah satu yang tertuang dalam buku ini adalah mengenai kebebasan berkarya yang menurut H.B Jassin pengarang seharusnya diberikan kebebasan mencipta yang mutlak, dengan catatan bahwa si pengarang tidak menyalahgunakan kebebasan itu. Pengarang dan seniman merupakan hati nurani masyarakat dan bangsanya. Apa yang dirasakan, dipikirkan, diharapkan, dihasratkan oleh bangsanya, turut bergetar dalam jiwanya. Demikian juga apa yang dikuatirkan, disedihkan oleh bangsanya, mendatangkan pula kekuatiran, kesedihan, kekecewaan padanya. Pedomannya adalah hati nuraninya, kejuruan, kebenaran, keadilan. Seniman berkarya menurut imajinasinya yang bebas, sekalipun kadang-kadang tidak cocok dengan aqidah, namun itikadnya baik.
Pengarang dan seninam sejak dahulu kala selalu menegakkan keadilan dan kebenaran. Musuh mereka ialah kebohongan, kepalsuan, kekerasan, kebatilan, karena itu mereka disamping menjadi sahabat-sahabat yang baik dari masyarakat, juga kadang-kadang menjadi musuh penguasa-penguasa yang angkara murka. Sudah bukan masanya lagi untuk melirik dengan curiga kepada seniman dan hasil karyanya.
Tanggapan-tanggapan Lainnya
Sejak Heboh Sastra ini menjalar, muncullah berbagai macam tanggapan diantaranya datang dari Jusuf Abdullah Puar dalam Operasi Minggu yang kiranya ia beranggapan seperti ini
“Saya sendiri tidak jadi yakin dengan sekedar singkatan dan cuplikan sana-sini itu, bahwa telah terjadi penghinaan, karena saya tidak melihat maksud-maksud jahat dari si pengharang sebagaimana hendak dikesankan oleh si pembahas. Bahwa kejadian-kejadian yang diceritakan bukan kejadian-kejadian yang historis, anak kecil pun tahu. Saya merasa hanya berhadapan dengan suatu hasil imajinasi seorang pengarang yang melihat hal-hal lain dari yang dilihat oleh pembahas. Penerapan kutipan ayat 41 Al-Furqon saya rasa tidak kena”
Tanggapan juga hadir dari pengarang Bur Rusanto, ia membandingkan Langit Makin Mendung ini dengan Robohnya Surau Kami, karangan Navis. Ia berpendapat bahwa Langit Makin Mendung tidak mengandung penghinaan terhadap Tuhan dan Nabi. Tulisan itu tidak menghina, tapi mengkritik, katanya.
“Dan ia bukan mengkritik Islam, Tuhan, atau Nabi Muhammad, ia mengkritik orang-orang yang katanya penganut-penganut Islam dan ia mengkritik Indonesia, mengkritik berbagai kejadian blunder di tanah air ini, ia mengkritik sebagaimana juga semua kita mengkritik berbagai hal yang kita rasakan tidak wajar”
Baca Juga: Lokananta: Perusahaan Musik Pertama Indonesia, Pembendung Musik Imperial Ala Soekarno
Taufiq Ismail seorang penyair terkenal Indonesia ikut memberi tanggapannya, bahwa cerita Langit Makin Mendung tidak bermaksud menghina, hanya ditinjau dari sudut aqidah, ada hal-hal yang tidak sesuai dengan agama. Bahkan tanggapan pun hadir dari Dr. Abu Hanifah, seorang Islam intelek dari angkatan 28, memberi tanggapannya di hadapan para seniman ibukota, pengarang dan penyair. Ia beranggapan bahwa karangan Kipandjikusmin itu tidak akan menimbulkan reaksi apa-apa dalam masyarakat liberal dan stabil. Reaksi timbul karena keadaan masyarakat sensitif, karena banyak hal-hal yang tidak memuaskan.
Pro dan kontra sepertinya sudah menjadi sebuah ketetapan untuk bersatu, begitu juga dalam kasus ini, banyak pihak yang memposisikan diri dalam kelompok pro Langit Makin Mendung, namun ada juga yang kontra, misalnya Ajip Rosidi, menurutnya kebebasan mencipta menggunakan imajinasi mempunyai batasan-batasan dan tidak sepenuhnya bebas. Buya Hamka pun menegaskan bahwa dalam ajaran Islam, tidak boleh menggambarkan sosok tuhan.
Langit Makin Mendung Bukanlah Karya Sastra Satu-satunya yang Menggambarkan Tuhan
Cerita pendek Langit Makin Mendung menghebohkan banyak pihak karena didalamnya ada gambaran mengenai Tuhan dan Nabi Muhammad S.A.W, namun ternyata ini bukanlah karya sastra pertama yang mengandung hal-hal tersebut. Pada 1948, pernah terjadi protes besar-besaran karena sebuah sandiwara radio Bahrum Rangkuti yang berjudul Sinar Memancar dari Jabal An-Nur. Sandiwara ini menampilkan sebuah scene Nabi Muhammad yang ditampilkan berbicara di depan mikrofon. Namun, saat karya itu ditampilkan dalam sebuah majalah kebudayaan, orang-orang tidak memberikan reaksi apa-apa. Hal serupa juga terjadi 4 tahun sebelum sandiwara itu, pada 1944, dalam drama El Hakim (Pseudonim Abu Hanifah) yang berjudul Taufan Di Atas Asia, Tuhan dipentaskan di atas panggung (yang kemudian juga dibukukan oleh Balai Pustaka pada 1949). Dalam prolog dan epilog diperdengarkan suara Tuhan dari belakang layar, namun tak ada orang yang protes.
A.A Navis dalam cerita pendeknya “Robohnja Surau Kami” (Kisah, 1995) mempertemukan orang-orang yang bersalah dengan Tuhan, dan sempat menjadi pembicaraan ramai dikalangan agama. Dalam cerita tersebut terdapat percakapan antara Tuhan dan seorang haji bernama Saleh. Dalam Sebuah Wawantjara (Sastra, 1963) Navis menampilkan pula seorang wartawan bernama Wahidin yang mewawancarai Nabi Adam, Nabi Nuh, Nabi Musa, dan Nabi Muhammad, namun cerita ini juga tidak mendapatkan reaksi apa-apa dari umat Islam.
Selanjutnya ada Bastari Asnin yang berdasarkan cerita Robohnja Surau Kami membuat komedi sebabak berjudul Komidi Alam Baka, dalam komedi ini ditampilkan Malaikat dan roh-roh di alam barzah, serta Tuhan dalam bentuk suara yang kedengaran dari belakang layar. Drama yang mendapatkan protes dari para kiai ini kenyataanya tetap dipentaskan berkali-kali di Jogja dan Semarang pada 1962, antara lain oleh HSBI di Kudus.
Dengan kasus-kasus yang sudah dijabarkan di atas, timbullah pertanyaan dari H.B Jassin “Salah satu tuduhan orang terhadap pengarang Kipandjikusmin ialah bahwa ia telah menghina Tuhan dan Nabi-nabi, karena telah mempersonifikasikan mereka, mengapakah orang tidak melontarkan tuduhan yang sama kepada Navis karena hal yang sama?”
Jalannya Persidangan
Pada 22 Oktober 1968, Kipanjikusmin secara terbuka memang sudah menyatakan untuk mencabut cerpen Langit Makin Mendung dan menganggapnya tidak ada. Namun ternyata pernyataan itu tetap tidak berpengaruh. Beberapa organisasi pemuda Islam di Jakarta, 24 Oktober 1968, membuat sebuah deklarasi yang isinya mendukung gugatan umat Islam Medan bahwa cerpen itu memang menghina Islam, menghina Tuhan, dan menghina Nabi Muhammad SAW.
Polemik yang terjadi makin rumit, kala H.B Jassin bersikeras untuk merahasiakan nama, identitas, dan alamat penulisnya. Jika kemudian ia harus berhadapan dengan pengadilan, itu merupakan sebuah tanggung jawab yang diambil oleh H.B Jassin selaku redaktur yang bertanggung jawab atas dimuatnya cerpen tersebut dalam majalah Sastra. Proses pengadilan atas kasus ini berlangsung antara 1969 – 1970. Dalam sejarah Sastra Indonesia, bahkan dalam sejarah peradilan Indonesia, kasus cerita pendek Langit Makin Mendung ini menjadi kerjadia pertama sebuah karya sastra yang diperkarakan di depan pengadilan. Hal yang menarik lainnya dalam kasus ini adalah, tampilnya H.B Jassin sebagai terdakwa, sementara pengarangnya tidak diketahui keberadaannya. Walaupun demikian, H.B Jassin tetap bersikukuh dengan pendiriannya untuk tetap merahasiakan siapa orang yang berada di balik nama Kipanjikusmin tersebut. Akhirnya, pada 28 Oktober 1970, hakim akhirnya memvonis H.B Jassin dengan hukuman satu tahun penjara dengan masa percobaan selama dua tahun.
Sumber
- Jassin, Hans Bague. 1970. Heboh Sastra 1968: Suatu Pertanggung Jawab. Jakarta: PT Gunung Agung.
- Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. 2008. Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI. Jakarta: Balai Pustaka.
- Ensiklopedia Sastra Indonesia. Heboh Sastra 1968 dalam https://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Heboh_Sastra_1968 diakses pada 13 April 2024 pukul 12.04.