Candi di Tatar Sunda keberadaanya tidak sebanyak candi di daerah Jawa Timur, Jawa Tengah, maupun D.I.Y. Padahal Tanah Sunda juga pernah terdapat kerajaan besar yang bercorak Hindu-Budha. Apa yang menyebabkan terjadinya kelangkaan candi di tatar Sunda tersebut ? 

Ciri-ciri Orang Sunda

Bagi sebagian orang dari masyarakat Sunda, mungkin akan bertanya-tanya, mengapa di daerah Jawa Barat jarang sekali ditemukan rumah ibadah berbentuk candi. Padahal di Jawa Barat sendiri, dalam sejarahnya pernah berdiri sebuah kerajaan besar bercorak Hindu-Budha yaitu Galuh Pakuan yang berkembang sekitar abad ke 8M hingga 16M. Namun pada kenyataannya, hanya sedikit ditemukan bangunan peribadatan berupa candi. Jawaban dari pertanyaan tersebut yang sudah mengemuka selama ini ada dua. Yang pertama alasan sosiologis-agrikultural yaitu mata pencaharian utama penduduk Sunda yang ngahuma (berladang), kemudian bersawah.

Ciri dari masyarakat ladang adalah mereka memiliki kebiasaan berpindah-pindah atau nomaden. Alasan mereka berpindah-pindah adalah untuk mencari lahan yang subur. Kebiasaan ini berpengaruh pada tempat tinggal orang Sunda yang tidak memerlukan bangunan permanen yang kokoh seperti candi. Kedua alasan Islamisasi. Islamisasi di Sunda cenderung lebih intens dibanding dengan di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dengan intens nya proses Islamisasi maka masyarakat Sunda yang sudah masuk Islam diduga “menghancurkan” bangunan candi-candi sebagai peninggalan agama Hindu-Budha dan tempat pemujaan yang bertentangan dengan agama Islam (Utomo, 2004: 70).

Pengaruh Kepercayaan terhadap Kelangkaan Candi di Tatar Sunda

Orang Sunda pada masa-masa kerajaan memang sudah menganut Monoteisme (memiliki satu Tuhan). Dalam konsepsi teologis orang Sunda pra Hindu, hyang (sanghyang, sangiang) adalah Sang Pencipta (Sanghyang Keresa) dan Yang Esa (Batara Tunggal) yang menguasai segala macam kekuatan, kekuatan baik maupun kekuatan jahat yang dapat mempengaruhi roh-roh halus yang sering menetap di hutan, sungai, pohon, batu, atau di tempat-tempat lainnya. Pada masa masuknya pengaruh Hindu, konsep ke-esa-an Hyang terpelihara karena semua dewa Hindu tunduk pada Hyang ini.

Dengan kata lain, orang Sunda pra-Hindu-Budha sudah menganut faham monoteistis, yang dimana Hyang dihayati sebagai maha pencipta dan penguasa tunggal. Konsepsi ini kemudian sesuai dengan masuknya proses Islamisasi yang mengajarkan monoteisme. Tradisi sesembahan orang Sunda pra Hindu-Budha tidak terpusat di candi, melainkan adalah menyembah Hyang di Kahiyangan. Konsep Kahiyangan sangat abstrak, alias tidak mengacu pada tempat fisik dan bangunan. Kahiyangan merupakan tempat para dewa bersemayam. Tradisi orang Sunda menyembah Hyang adalah salah satu alasan yang menjelaskan kelangkaan candi di Tatar Sunda. Kuatnya kepercayaan orang Sunda terhadap Hyang, tidak menjadikan orang Sunda lantas membangun candi sebagai pusat peribadatan sebagaimana di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Candi-candi kecil yang ditemukan di Jawa Barat dibangun hanya sebagai symbol kekuasaan bahwa disana sempat ada penguasa beserta keturunannya dari Kerajaan Sunda (Maulana, 1995: 75-79).

Bahasa dalam Tatar Sunda

Pengaruh ajaran Hindu-Budha yang masuk ke pulau Jawa nampaknya kurang begitu memiliki dampak signifikan pada masyarakat Sunda. Corak kebudayaan yang berkembang pada masyarakat Sunda adalah posisi keraton yang tidak terlalu menentukan stratifikasi kelas sosial. Kebudayaan yang berkembang pada masyarakat Sunda didominasi oleh kebudayaan agraris. Bila kebudayaan Jawa adalah kebudayaan feodal yang hirarkis, kebudayaan Sunda adalah kebudayaan rakyat egaliter yang mencerminkan kebersamaan derajat antar manusia. Salah satu buktinya adalah bahasa Sunda Buhun yang demokratis, contohnya seperti Ngaing, sia, dewek, dia, kula dsb.

Contoh tersebut adalah bahasa komunikasi egaliter sehari-hari antara kelas-kelas yang berbeda dalam masyarakat Sunda Buhun (lama). Dengan kata lain, masyarakat Sunda pada zaman dahulu tidak menggunakan undak-usuk basa, mereka menyamakan penggunaan bahasa untuk semua kalangan, baik lebih tua atau lebih muda. Sunda baru mengenal feodalisme setelah masuknya pengaruh Kerajaan Mataram selama tiga abad yang diantara peninggalannya adalah tata cara berbahasa atau undak-usuk basa Sunda (Saringendyanti, 1996: 89). 

Fungsi Candi

Fungsi candi di Nusantara bukan hanya sebagai tempat beribadah para raja semata, namun sebagai monumen sebuah kerajaan yang berkuasa. Pertarungan politik dan adu gengsi kekuatan antar kerajaan telah melahirkan candi-candi yang megah di sekitar Jawa Tengah dan Jawa Timur. Contoh-contohnya adalah Wangsa Syailendra dengan Candi Borobudur-nya dan Wangsa Sanjaya dengan Candi Prambanan-nya. Pergantian kekuasaan kerajaan baik secara formal maupun melalui perebutan kekuasaan selalu diikuti dengan pembangunan candi megah sebagai monumen kekuasaannya (Soeroso, 1995: 51).

Fungsi candi sebagai monumen kekuasaan raja seperti di Jawa Tengah dan Jawa Timur, juga tidak ditemukan di Tatar Sunda. Faktornya adalah karena di Tatar Sunda hanya ada satu kerajaan yang berkuasa yaitu Kerajaan Sunda, hanya saja pusat pemerintahannya selalu berpindah-pindah. Pusat pemerintahan Kerajaan Sunda dimulai dari Galuh (Ciamis), pindah ke Pakuan Padjadjaran (Bogor), lalu ke Kawali (Ciamis) dan kemudian kembali lagi ke Pakuan. Candi yang sudah ditemukan pun, seperti Candi Cangkuang di Garut, Candi Batujaya di Karawang, dan Candi Bojongmende di Rancaekek, selain tafsirnya belum bisa dipastikan, juga belum merepresentasikan sebagai bekas peninggalan kekuasaan Kerajaan Sunda (Soeroso, 1995: 80).

Daftar Sumber

  1. Maulana, Ratnaesih 1995. Rekonstruksi Keagamaan di Jawa Barat Masa Hindu Budha. Jakarta: PT. Intermasa.
  2. Utomo, Bambang Budi. 2004. Arsitektur Bangunan Suci Masa Hindu-Budha di Jawa Barat. Jakarta: Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata Proyek Penelitian dan Pengembangan Arkeologi.
  1. Saringendyanti, Etty. 1996. Penempatan Situs Upacara Masa Hindu Budha: Sebuah Kajian Lingkungan Fisik Kabuyutan di Jawa Barat. Tesis Magister Humaniora Program Studi Arkeologi. Jakarta: PPS UI.
  2. Soeroso. 1995. Pola Persebaran Situs Bangunan Masa Hindu Budha di Pesisir Utara Wilayah Batujaya dan Cibuaya, Jawa Barat. Tinjauan Ekologi Tesis Magister Humaniora Program Studi Arkeologi. Jakarta: PPS UI.