Sejarah kemunculan kerajaan Majapahit tidak terlepas dari perjalanan panjang kerajaan Singasari. Bagaimana pun juga, para pendiri Majapahit merupakan orang-orang yang sebelumnya menempati posisi penting di Singasari.
Majapahit Perkembangan dari Singasari
Kerajaan Majapahit didirikan oleh Raden Wijaya, seorang menantu Kertanegara raja terakhir dari Singasari (1268-1292) yang mengemban tugas sebagai salah satu senopati atau panglima perang di Kerajaan Singasari (Nurkancana, 1998). Pendirian Majapahit bisa terbilang sebagai perkembangan utuh atas kerajaan Singasari. Dengan kata lain Majapahit adalah puncak dari keberhasilan yang dirintis oleh Nararya Sminingrat (Wisnuwarddhana) kakek mertua dari Raden Wijaya.
Bersama Mahisa Cempaka, Wisnuwarddhana adalah tokoh peletak dasar utama Kerajaan Singasari (dinasti baru). Dalam kitab Pararaton, dua tokoh ini digambarkan layaknya dua naga dalam satu lubang, sebagai pemersatu keturunan (Tunggul Ametung – Ken Dedes), dan (Ken Arok – Ken Dedes).
Faktor Kerajaan Lain ingin Menduduki Jawa
Pulau Jawa terkenal dengan tanahnya yang subur dan kaya. Faktor ini membuat negeri-negeri lain berambisi untuk menaklukan kerajaan-kerajaan yang ada di Jawa. Kala itu negeri Cina sedang berupaya melebarkan kekuasaannya keseluruh daratan Asia. Menurut Kertanegara yang pada saat itu menjadi raja Singasari, hal tersebut bisa menjadi ancaman karena tanah Jawa kemungkinan besar akan menjadi sasaran perluasan yang dilakukan oleh Khubilai Khan dari Cina. Ancaman ini mendorong Kertanegara untuk memperluas kekuasaanya, yang rencananya ingin menyatukan kekuasaan sampai di luar Jawa.
Untuk mengantisipasi berbagai ancaman dari luar negeri, Kertanegara memutuskan untuk menerapkan kebijakan baru, yaitu politik persatuan Nusantara. Kata Nusantara disini merujuk pada pulau lain di luar pulau Jawa (Mulyana, 1983: 92). Sebagai realisasi dari kebijakan ini, pada tahun 1275 Kertanegara mengirimkan ekspedisi ke Melayu (Pamalayu). Tujuannya agar Melayu tunduk terhadap Singasari.
Pada tahun 1280 dan 1281 Khubilai Khan mulai mengirim utusan mereka ke Singasari untuk menuntut supaya Singasari mengirimkan seorang Pangeran ke Cina sebagai tanda takluk terhadap kekaisaran Yuan (Poesponegoro dan Notosusanto, 1990:414). Adanya ancaman dari Khubilai Khan ini, membuat Kertanegara semakin yakin untuk meluaskan wilayah-wilayahnya sampai ke luar Pulau Jawa.
Keruntuhan Kerajaan Singasari
Paham politik baru yang dianut oleh Kertanegara ternyata mendapat halangan dari pihak yang masih menganut paham lama, yang berorientasi pada daerah Jawa saja. Pertentangan ini membawa polemik di kerajaan Singasari. Demi kelancaran rencananya, Kertanegara tidak segan-segan untuk menyingkirkan para pembesar kerajaan yang bertentangan dengan dirinya. Tindakan ini memunculkan dendam dari orang-orang yang disingkirkan, termasuk Arya Wiraraja yang kedudukannya diturunkan dari semulanya demung menjadi adipati dan dipindahkan ke Sumenep (Mulyana, 1983:107).
Dendam Wirajaja dilampiaskan melalui Sri Jayakatwang yang mengincar tahta kerajaan Singasasi. Jayakatwang merupakan keturunan dari Raja Kertajaya yang memerintah di Gelang-gelang (Poesponegoro dan Notosusanto, 1990:417). Pada 1292 M, Jayakatwang yang ingin menghidupkan kembali kejayaan Kediri, mengadakan penyerangan ke Singasari. Dalam kitab Pararaton dikisahkan, Jayakatwang mengirim pasukan Jaran Guyang untuk menyerang Singhasari dari arah utara.
Raja Kertanegara yang mengetahui akan diserang oleh Jayakatwang, lalu mengirimkan Raden Wijaya untuk menghadapi pasukan Jaran Guyang. Dalam tugasnya, Raden Wijaya berhasil mengalahkan pasukan tersebut. Namun Jaran Guyang ternyata hanya pasukan kecil yang dikirim sebagai pengalihan agar pertahanan ibu Kota Singasari (yang kini berada di sekitaran Malang) melemah. Siasat Jayakatwang berhasil, sebelum
pasukan Raden Wijaya kembali, Jayakatwang mengirim pasukan dengan jumlah yang besar untuk menyerang ibu kota Singasari. Jayakatwang akhirnya berhasil menduduki ibu kota Singasari dan Kertanegara terbunuh dalam peristiwa tersebut.
Runtuhnya Singasari yang ditandai dengan gugurnya Kertanegara, membuat Dyah Sanggramawijaya (Raden Wijaya) melarikan diri meninggalkan Singasari yang telah jatuh ke tangan Jayakatwang. Dalam pelariannya, Raden Wijaya sampai ke Desa Kudadu. Berkat bantuan lurah desa tersebut, Raden Wijaya lalu melakukan penyebrangan menuju Madura. Sesampainya di Madura, Raden Wijaya bersama pasukannya meneruskan tujuannya ke Sumenep (Madura Timur) untuk menemui Arya Wiraraja (Mangkudimedja, 1980: 3-4).
Kemunculan Nama Majapahit
Raden Wijaya meminta bantuan Arya Wiraraja untuk bisa menguasai kembali tanah Jawa dengan imbalan berupa membagi tanah Jawa ke wirajaja (Mangkudimedja, 1980:66). Raden Wijaya ingin melanjutkan kejayaan Singasari dengan membangun sebuah negara baru. Strategi yang digunakan oleh Arya Wiraraja adalah menyarankan agar Raden Wijaya berpura-pura takluk kepada Jayakatwang (Krom, 1956: 198). Atas bantuan dari Arya Wiraraja, Raden Wijaya akhirnya diterima oleh Jayakatwang. Raden Wijaya setelah dapat mengabdi kepada Jayakatwang, atas pendapat Arya Wirajaja meminta kepada Jayakatwang untuk membuka hutan Tarik (Mulyana, 1983:117).
Raden Wijaya memilih daerah Tarik Karena dianggap strategis untuk pertahanan namun kurang mendapat perhatian karena tandus. Hutan Tarik dibuka dengan bantuan orang-orang Madura kiriman dari Arya Wiraraja. Daerah tersebut akhirnya dinamai Majapahit, karena sekitaran daerah tersebut banyak pohon maja yang rasanya memang pahit. Selain faktor tersebut, sepanjang sungai Berantas itu banyak ditemukan desa-desa yang menggunakan nama maja seperti, Majasari, Majawarna, dan Majaagung (Mulyana, 1953:118).
Kemunculan Kerajaan Majapahit
Raden Wijaya akhirnya menetap di Majapahit dan merancang sebuah pemberontakam terhadap Jayakatwang. Seiring dengan keinginan Raden Wijaya untuk menggulingkan Jayakatwang, pada tahun 1293 datang pula tentara Khubilai Khan yang sebenarnya datang untuk menyerang Singasari yang telah menyerang utusannya Meng-Ch’in (Poesponegoro dan Notosusanto, 1990:425). Selain untuk menyerang Kertanegara, pasukan Khubilai Khan datang untuk menyerang Daha atas permintaan Arya Wiraraja kepada Raja Tartar, dengan memberi imbalan dua putri tahanan yang cantik (Mangkudimedja, 1980:92).
Raden Wijaya memanfaatkan pasukan Khubilai Khan yang ingin menyerang Kertanegara untuk menggulingkan kekuasaan Jayakatwang. Raden Wijaya memulai siasatnya. Atas nasihat Arya Wiraraja, Raden Wijaya berpura-pura menyerah kepada panglima tentara Tiongkok. Ia juga meberitahu bahwa Kertanegara sudah meninggal, dan penggantinya adalah Jayakatwang dari Kediri.
Siasatnya berjalan mulus, Raden wijaya berhasil masuk ke pasukan Cina dan kemudian mengalahkan Jayakatwang. Setelah berhasil meggempur Jayakatwang, Raden Wijaya kembali menggunakan siasatnya untuk bisa mengalahkan para pasukan Cina. Raden Wijaya meminta izin kembali ke Majapahit dengan dalih menyiapkan upeti untuk kaisar (Krom, 1956:203). Kesempatan ini digunakan oleh Raden Wijaya untuk balik menyerang tentara Khubilai Khan, dan menghabisi mereka. Tentara Khubilai Khan yang masih tersisa terpaksa lari meninggalkan Pulau Jawa.
Dengan kedatangan tentara Khubilai Khan tersebut, tercapailah keinginan Raden Wijaya untuk menyingkirkan kekuasaan Jayakatwang. Setelah berhasil mengalahkan Jayakatwang dan mengusir para tentara Cina, Raden Wijaya menobatkan dirinya menjadi raja di Majapahit dengan mengambil nama Abhiseka atau gelar Kertarajasa Jayawardhana. Diangkatnya Raden Wijaya sebagai raja Majapahit, membuat Majapahit yang semula hanya desa di hutan Tarik resmi menjadi sebuah kerajaan pada akhir tahun 1293 (Suryandari, Desember: 1997).
Sumber
- Buku
- Krom, N.J. 1956. Zaman Hindu. Jakarta: PT Pembangunan.
- Mangkudimedja, R.M dan R.Hardjana HFC. 1980. Serat Pararaton Ken Arok III. Jakarta: Depdikbud.
- Mulyana Slamet. 1953. Nagarakertagama. Jakarta: Siliwangi N.V
- Nurkancana Wayan. 1998. Menguak Tabir Perkembangan Hindu. Denpasar: BP.
- Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. 1990. Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta: Balai Pustaka.
- Skripsi
- Suryandari Enny. 1997. Berdirinya Kerajaan Majapahit. Jember: Universitas Jember.