Lahirnya Industri Kretek Kudus

lahirnya industri kretek kudus

Cengkeh Sebagai Obat

Lahirnya industri kretek di Kudus tidak bisa dipisahkan dari Haji Jamhari, seorang penduduk di Kudus. Pada suatu hari, Haji Jamhari menderita penyakit dada. Penyakit ini telah lama dialami olehnya. Dia benar-benar sangat menderita setiap kali sesak napasnya datang. Untuk mengobati penyakitnya itu, ia mencoba memakai minyak cengkeh, lalu ia gosokan ke bagian dada dan punggung. Ternyata ia merasa keadaanya membaik, walaupun belum benar-benar sembuh. Selanjutnya ia mencoba mengunyah cengkeh, hasilnya jauh lebih baik, sehingga kemudian terlintas olehnya untuk memakai rempah-rempah ini sebagai obat. Adapun caranya sangat sederhana. Cengkeh ini dirajang halus-halus, kemudian dicampurkan pada tembakau yang dipakainya untuk merokok. Dengan cara ini dia bisa mengisap asapnya sampai masuk ke dalam paru-parunya (Charles A Coppel: 1994: 39).

Hasilnya benar-benar diluar dugaan, penyakit dadanya menjadi sembuh. Cara penyembuhan ini dengan cepat menyebar di seluruh daerah sekitar tempat tinggalnya. Teman-teman dan kerabatnya beramai-ramai meminta rokok mujarab yang dipakainya. Mereka ternyata merasakan suatu kenikmatan yang luar biasa. Karena banyaknya permintaan, Haji Jamhari terpaksa membuatnya dalam jumlah yang banyak (Charles A Coppel, 1994: 39).

Lahirnya Kretek di Kudus

Demikianlah, suatu barang yang semula dipakai sebagai obat, dalam waktu yang singkat telah menjadi sumber manfaat dan kenikmatan, sehingga suatu perusahaan kecil harus didirikan oleh Jamhari. Akibat lainnya adalah, banyak orang kemudian berusaha mengikuti jejaknya, dengan begitu maka lahirlah industri kretek di Kudus.

Pada mulanya, penduduk Kudus menyebut rokok hasil penemuan Haji Jamhari sebagai rokok cengkeh. Namun, karena saat diisap rokok ini menghasilkan bunyi “kretek-kretek” seperti suara daun dibakar, sebagai akibat pemakaian rajangan cengkeh untuk campuran tembakau. Jenis rokok ini kemudian disebut sebagai rokok kretek. Haji Jamhari meninggal pada 1890. Dengan demikian bisa diperkirakan lahirnya industri kretek di Kudus terjadi antara 1870 dan 1880 (Lance Castle, 1982: 88).

Pada tahun-tahun pertama kelahirannya, perdagangan kretek hanya terbatas di Kudus dan daerah sekitarnya. Namun dalam waktu singkat, ternyata kretek juga disenangi di daerah-daerah lain. Karena itu, sedikit demi sedikit omset pemasarannya meluas hingga menjangkau berbagai daerah di Pulau Jawa. Bahkan beberapa waktu kemudian, kretek berhasil dikirim ke berbagai daerah di luar Pulau Jawa. Pada awal mulanya seluruh perusahaan kretek di Kudus berada di tangan kaum pribumi. Namun, setelah para pengusaha ini berhasil mencapai banyak kemajuan dalam waktu relatif cepat, para pengusaha Tionghoa beramai-ramai mengikuti jejak mereka. Di antara kedua pihak itu, kemudian memunculkan persaingan ketat. Pada 1918 persaingan itu mencapai puncaknya hingga menjadi salah satu sebab meletusnya kerusuhan hebat di Kudus pada 31 Oktober (Marcel Bonneff, 1983: 242).

Perkembangan Industri Kretek di Kudus

Hanya lima tahun setelah kerusuhan Kudus berlalu, industri keretek di Kudus menunjukan perkembangan yang cukup pesat, sehingga sejak 1924 kita bisa membedakan perusahaan kretek dalam tiga golongan, yakni perusahaan besar, menengah, dan kecil. Perusahaan yang besar adalah perusahaan yang jumlah produksinya setiap tahun lebih dari 50 juta batang. Perusahaan menengah dengan jumlah produksi setiap tahun 10-50 juta barang, sedangkan perusahaan kretek kecil hanya mempunyai produksi setiap tahun di bawah 10 juta batang. Ketiga jenis perusahaan kretek ini dijumpai baik di kalangan pengusaha pribumi maupun Tionghoa. Pada 1928, semua perusahaan kretek di Kudus hanya berkedudukan di ibukota Kabupaten Kudus, sedangkan di distrik Kudus, Tenggeles, dan Cendono, hanya dijumpai usaha rumah tangga yang membuat kretek demi kepentingan para abon.

Para abon ini menerima jatah tembakau dan cengkeh dari para produsen. Bahan ini kemudian mereka bagikan kepada anak buah mereka yang mengerjakannya hingga menjadi kretek. Pada tahun-tahun pertama dari masa kelahirannya, industri kretek di Kudus, mendapatkan para pelinting kretek dari kota mereka sendiri. Untuk mencapai tingkat produksi yang diinginkan, para pengusaha kemudian mengambil pekerja baru dari desa-desa di sekitar kota Kudus (Solichin Salam, 1983: 33).

Setelah tahun 1928, terjadilah perubahan penting dalam industri kretek di Kudus. Kalau pada 1928 semua perusahaan kretek hanya berkedudukan di kota Kudus, Namun, tahun-tahun setelah itu meluas ke distrik Kudus, Tenggeles, dan Cendono, yang sebelumnya hanya merupakan tempat para abon. Di samping itu, kita juga melihat munculnya papiersigaretten (sigaret kretek), yakni kretek yang dibuat dengan menggunakan alat pelinting dan bahan pembungkus dari kertas. Perusahaan rokok pertama di Indonesia yang memproduksi jenis kretek yang baru ini adalah perusahaan kretek di Marikangen yang bertempat di Sala, kemudian disusul oleh perusahaan kretek Sampoerna di Surabaya dan banyak perusahaan kretek lainnya di beberapa daerah, salah satunya Kudus (Solichin Salam, 1983: 34).

Daftar Sumber

  1. Buku
  • Bonneff, Marcel. 1983. Islam di Jawa dilihat dari Kudus. Jakarta.
  • Castle, Lance. 1982. Tingkah Laku Agama, Politik, dan Ekonomi di Jawa: Industri Rokok Kudus. Jakarta: Sinar Harapan.
  • Charles A Coppel. 1994. Tionghoa Indonesia Dalam Krisis. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
  • Solichin Salam. 1983. Kudus dan Sejarah Rokok Kretek. Kudus: PPRK.
0 0 votes
Beri Kami Nilai
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments