Masa kejayaan Majapahit, dialami saat kerajaan ini dipimpin oleh Raja Hayam Wuruk, dan Patih Gajah Mada. Hal ini tidak hanya ditandai dengan luasnya wilayah kekuasaan dan juga struktur pemerintahan yang baik, tetapi mencakup juga banyak aspek. Diantaranya adalah menjalin hubungan baik dengan daerah, pembangunan fisik sarana dan prasarana, dan membuat sistem undang-undang.
Daftar Isi
TogglePeran Hayam Wuruk dalam Kakawin Nagarakertagama
Kakawin Nagarakertagama dengan panjang lebar telah menguraikan peran Hayam Wuruk dalam menjalin hubungan baik dengan daerah-daerah bawahannya, hal ini menjadi salah satu langkah yang dilakukan Hayam Wuruk sehingga bisa mencapai masa kejayaan Majapahit. Dalam pupuh XVII, diuraikan sebagai berikut:
- Setiap bulan setelah musim hujan, Hayam Wuruk sering berkeliling Desa Sima di sebelah selatan Jalagiri, di sebelah timur Pura Ramai tak ada hentinya selama pertemuan dan Upacara Girang melancong mengunjungi Wewe Pikatan setempat dengan Candi Lima.
- Hayam Wuruk pergi bersembah bakti ke hadapan Hyang Acelapati. Setelah itu, menuju Blitar dan Jimur untuk mengunjungi gunung-gunung permai. Di Daha terutama ke Polaman, Hayam Wuruk pergi ke Kuwu dan Lingga hingga Desa Bangin. Jika sampai Jenggala, singgah di Surabaya kemudian menuju Buwun.
- Tahun Aksatisurya (1275 masehi) sang prabu menuju Pajang membawa banyak pengiring. Tahun Saka angga-naga-aryama (1276 masehi) pergi ke Lasem, melintasi Pantai Samudra. Tahun Saka pintu-gunung-mendengar-indu ke laut selatan menembus hutan. Lega menikmati pemandangan alam indah Lodaya.
- Tahun Saka seekor-naga-menelan bulan (1281 masehi) di Badrapada. Sri Nata pesiar keliling seluruh negara menuju Kota Lumajang. Naik kereta diiringi semua Raja Jawa serta permaisuri dan abdi. Menteri, tanda, pendeta, pujangga, semua para pembesar ikut serta.
Beberapa perjalanan Hayam Wuruk ke beberapa daerah tersebut selain untuk mendekatkan diri atau menjalin hubungan baik dengan daerah-daerah bawahan, tetapi juga untuk melihat dari dekat kehidupan rakyatnya, atau dengan kata lain “blusukan” kepada rakyat-rakyat kecil. Melihat kemajuan yang telah dilakukan oleh rakyatnya, baik yang ada di pedesaan maupun di perkotaan. Artinya, Hayam Wuruk adalah tipe raja yang ingin selalu dekat dengan rakyatnya. Selain menjalin hubungan baik dengan daerah-daerah bawahan, Hayam Wuruk juga memperhatikan pembangunan jalan, jembatan, tempat ibadah, dan lain sebagainya. Pembangunan sarana dan prasarana ini bertujuan untuk memajukan dan melancarkan perekonomian Majapahit.
Sumber Pemasukan Majapahit
Mayoritas penduduk Majapahit adalah petani. Hal ini dibuktikan dengan adanya prasasti dan tanggul-tanggul sungai dan waduk peninggalan Majapahit. Dimana semua itu berfungsi untuk meningkatkan hasil pertanian dan juga untuk mengurangi terjadinya banjir. Meskipun demikian, perekonomian Majapahit bukan hanya dari sektor pertanian saja, tetapi juga dari sektor perdagangan, baik perdagangan antar pulau di wilayah Majapahit maupun internasional. Oleh karena itu, keberadaan pelabuhan merupakan sarana yang penting. Bukti-bukti prasasti menunjukkan adanya tempat-tempat penyebrangan dan kota pelabuhan di tepi Sungai Brantas dan Sungai Solo (Kartodirjo, 1992: 158).
Berdasarkan berita dari Cina, di bidang perdagangan, Majapahit banyak memperdagangkan garam, beras, lada, intan, cengkeh, pala, kayu cendana, dan gading. Untuk mendukung kegiatan perdagangan tersebut, pemerintah Majapahit menjalin hubungan baik dengan beberapa kerajaan, seperti Kerajaan Cina, Kerajaan Ayodya (Thailand), Kerajaan Champa, dan Kerajaan Kamboja. Hal ini terbukti dengan adanya utusan persahabatan ke Cina, sekitar tahun 1370-1381 M (Machi, 1993: 582-590).
Selain dari dua sektor tersebut, Majapahit juga berusaha meningkatkan pendapatan kerajaan dari sektor pajak, upeti, dan juga denda. Pada masa Majapahit, baik sebelum dan sesudah pemerintahan Hayam Wuruk, pajak yang dipungut antara lain pajak usaha, pajak tanah, pajak profesi, pajak orang asing, dan pajak atas eksploitasi sumber daya alam (Adji, 2014: 97).
Pemungutan pajak dilaksanakan oleh dua kelompok yaitu, Sang Menak Kartini dan Sang Mangilala Drabya Haji. Kelompok Sang Menak Kartini terdiri dari tiga pejabat penting yaitu, Pangkur, Tawar, dan Tirip. Sedangkan kelompok Sang Mangilala Drabya Haji jumlah pejabatnya lebih banyak. Adanya aktifitas perdagangan dan pemungutan pajak ini juga berpengaruh terhadap perkembangan alat tukar barang (alat pembayaran). Dimana pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, baik dalam aktifitas perdagangan maupun pajak, mata uang emas dan perak sudah jarang digunakan. Mata uang Majapahit pada masa pemerintahan Hayam Wuruk terbuat dari campuran perak, timah putih, timah hitam, dan tembaga yang disebut gobog (Djoko, 1992: 217-234).
Penggunaan Uang dalam Masa Pemerintahan Hayam Wuruk
Uang gobog ini bisa dikatakan sebagai tiruan dari uang kepeng Cina. Hal ini karena adanya kemiripan, baik dari segi bentuk maupun hiasannya, meskipun dalam uang gobog motif yang digunakan berciri lokal. Penggunaan uang gobog atau kepeng ini umumnya mengacu pada jumlah atau kuantitas. Jumlah uang gobog ini antara lain, santak (200 keping), satak sawe (250 keping), samas (400 keping), rong tali (2000 keping), patang tali (4000 keping), salaksa (10.000 keping), saketi (100.000 keping), saketi rong laksa (120.000 keping), saketi nem laksa (160.000 keping), dan rong keti (200.000 keping). Dari sinilah kita bisa menyimpulkan bahwa sistem perekonomian pada masa Kerajaan Majapahit sudah sangat maju (Delano, 2012: 23-24).
Hayam Wuruk pun membentuk suatu undang-undang atau hukum di dalam masa pemerintahannya. Hukum tersebut dibagi menjadi dua macam, perdata dan pidana. Hukum pidana memiliki tingkatannya sendiri, seperti hukuman mati, potong anggota tubuh, dan membayar denda. Sedangkan hukum perdata meliputi hukum piutang, jual beli, dan gadai. Dalam menetapkan suatu hukuman, sang raja harus hati-hati dan tidak boleh berpihak. Karena dengan keadilan, kesejahteraan akan tercapai (Purwadi, 2004: 15).
Sumber
- Buku
- Adji, Krisna Bayu. 2014. Sejarah Runtuhnya Kerajaan-Kerajaan di Nusantara. Yogyakarta: Araska.
- Delano, Teddy. 2012. Akutansi Pada Era Keemasan Kerajaan Majapahit (Berdasarkan Kajian Paradigma Foucoldian). Salatiga: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Kristen Satya Wacana.
- Purwadi. 2004. Jejak Nasionalisme Gajah Mada: Refleksi Perpolitikan dan Kenegaraan Majapahit untuk Masa Depan Indonesia Baru. Yogyakarta: Diva Press.
- Sartono Kartodirjo. 1992. 700 Tahun Majapahit. Surabaya: Dirparda Prop.
- Suhadi, Machi. 1993. Tanah Sima dalam Masyarakat Majapahit. Jakarta: Disertasi, Universitas Indonesia, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
- Suryo, Djoko. 1992. Kisah Senapati-Ki Ageng Mangir dalam Historiografi Babad, dari Babad dan Hikayat Sampai Sejarah Kritis, ed, T. Ibrahim Alfian. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.