Masuknya Tentara Jepang ke Indonesia

masuknya tentara jepang ke indonesia


Masuknya tentara Jepang ke Indonesia, merupakan rangkaian upaya Jepang dalam memenuhi ambisinya untuk menguasai wilayah negara lain pada saat Perang Dunia II. Dalam upaya untuk membangun suatu imperium di Asia, Jepang telah meletuskan suatu perang di Pasifik. Armada Amerika terkuat di Pasifik, yang berpangkalan di Pearl Harbour, Hawaii, merupakan penghalang besar bagi Jepang yang berambisi memiliki bahan industri di negara-negara Selatan. Oleh karena itu, untuk menghancurkan Armada Amerika, Jepang menyusun rencana serangan rahasia, yang dipimpin oleh Laksamana Isoroku Yamamoto pada bulan September 1941.

Pada bulan berikutnya, tanggal 26 November 1941, Armada Laksamana Noichi Nagumo yang diangkat sebagai panglima operasi, bergerak dari kepulauan Kuril. Dengan kekuatan puluhan kapal perang, yang terdiri dari kapal induk, kapal selam, dan tanker. Armada Nagumo berlayar ke arah timur, menyeberangi lautan Pasifik melalui jalur pelayaran yang tidak biasa dilayari kapal-kapal. Setelah berlayar kira-kira satu minggu, mereka tiba di suatu tempat, kira-kira tujuh ratus mil di sebelah utara Pulau Oahu, Hawaii. Pada 2 Desember 1941, ketika masih dalam pelayaran, Laksamana Nagumo menerima telegram sandi dari Yamamoto agar ia melaksanakan serangan. Hari H ditetapkan tanggal 7 Desember (Bijkerk, 1988: 134-135).

Serangan Jepang terhadap Pearl Harbour, Amerika

Gerakan Armada Nagumo itu baru diketahui Amerika pada saat-saat terakhir sebelum serangan. Serangan udara Jepang dimulai pada hari Minggu pagi, pada saat pasukan Amerika tidak siap menghadapinya. Pada saat itu, di Pearl Harbour terdapat 96 kapal dari berbagai jenis yang merupakan inti kekuatan Armada Pasifik Amerika, di bawah pimpinan Laksamana H. E. Kimmel. Selain armada, terdapat dua divisi infantry, dan di lapangan terbang Hickam serta Wheeler berderet 390 pesawat terbang dari berbagai jenis (Arief, 1971: 196).

Jepang melancarkan serangan udara gelombang pertama pada pukul 07. 45, dengan mengerahkan 183 pesawat pengebom yang didatangkan dari kapal induk. Satu jam kemudian berlangsung serangan udara kedua. Sebanyak 170 pesawat pengebom dan pesawat tempur Jepang menyerang Pearl Harbour. Di samping pengeboman pesawat-pesawat, Jepang juga melakukan straffing (menembaki dengan kuantitas tinggi) dari udara. Sasarannya adalah kapal-kapal perang dan pesawat-pesawat terbang Amerika serta instalasi militer seperti gudang-gudang perbekalan dan bahan bakar (Bijkerk, 1988: 144).

Serangan berakhir kira-kira pukul 10.00. Dalam waktu singkat, Amerika mengalami kerugian besar dengan hancurnya 86 pesawat terbang Angkatan Darat, dan 97 pesawat terbang Angkatan Laut di lapangan terbang Hickam dan Wheeler. Dari 86 kapal perang yang berlabuh di Pearl Harbour, 19 tenggelam dan rusak. Korban jiwa di pihak Angkatan Laut 2.117 tewas, 876 luka-luka, dan 960 orang hilang. Sedangkan di pihak Angkatan Darat, 49 orang tewas, 396 luka-luka. Di pihak sipil sebanyak 49 orang tewas dan 83 orang luka-luka. Berbeda dengan Jepang, yang hanya kehilangan 29 pesawat terbang dari 353 pesawat dan 55 pilot serta 6 kapal selam mini (Bijkerk, 1988: 144).

Serangan Jepang terhadap Indonesia

Sesuai dengan rencana, dalam gerakannya ke selatan, Jepang menyerbu pula ke Indonesia, yang diawali dengan serangan udara, kemudian diikuti oleh pendaratan pasukan. Serangan udara dilancarkan Jepang dari pangkalan Davao (Filipina) dan kapal-kapal induk dari Laut Cina Selatan. Tujuh ratus dari 1.500 pesawat berbagai jenis termasuk pesawat tempur yang terkenal “Zeke” dikerahkan Jepang untuk melakukan serangan udara ke Malaya dan Hindia Belanda (Indonesia). Kekuatan udara ini yang merupakan bagian dari Angkatan Darat dan Angkatan Laut, memiliki 4000 orang penerbang yang berpengalaman terbang di atas 500 jam. Menjelang penyerbuan Jepang, Belanda hanya memiliki 132 pesawat yang terdiri dari 66 pesawat Glen Martin, 48 pesawat pemburu, dan 10 pesawat pengintai taktis, sedangkan pesawat cadangan penerbang terdiri dari 14 Glen Martin dan 60 pemburu (Makmun, 1971: 125).

Sehari setelah Jepang menyatakan perang terhadap Belanda, dari Davao dilancarkan penyerangan pertama pada 10 Januari 1942. Dalam usahanya untuk menguasai instalasi minyak. Pada 11 Januari 1942, Jepang mendaratkan pasukannya di Tarakan, Kalimantan Timur. Dan keesokan harinya, komandan Belanda di pulau itu menyerah pada 12 Januari 1942. Setelah Tarakan dikuasai Jepang, 200 orang anggota pasukan Meriam Belanda dibunuh dengan alasan melanggar persetujuan tembak-menembak. Lalu Jepang menyerang Balikpapan, pada 24 Januari 1942 Balikpapan sudah berhasil dikuasai Jepang. Setelah itu, pada 29 Januari 1942, Pontianak berhasil diduduki Jepang, lalu menyusul juga Samarinda yang berhasil dikuasai pada 3 Februari 1942. Serangan udara Jepang berikutnya adalah kota-kota lain di Indonesia bagian timur. Jepang melakukan pengeboman terhadap lapangan terbang Kendari, hubungan udara antara Indonesia dan Australia terputus, dan pertahanan Belanda di Makassar menjadi terancam. Dengan didahului oleh serangan udara, Jepang dengan mudah mendarat di kota ini (Makmun, 1971: 127).

Pembentukan ABDACOM oleh sekutu

Dari pangkalannya di Laut Cina Selatan, pasukan Jepang melancarkan serangan ke Sumatra. Sehari setelah menduduki Singapura pada 16 Februari 1942, Palembang dan sekitarnya berhasil diduduki. Dengan jatuhnya Palembang sebagai sumber minyak, terbukalah Pulau Jawa bagi tentara Jepang. Dalam upaya menghadapi ofensif Jepang, sekutu membentuk suatu komando gabungan yang diberi nama American British Dutch Australian Command (ABDACOM) pada 15 Januari 1942, di bawah pimpinan Marsekal Sir Archibald Wavell (Inggris), dengan markas besarnya di Lembang.

Untuk mempertahankan kekuasaan Hindia Belanda di Pulau Jawa, ABDACOM membentuk formasi pertahanan laut yang dipusatkan kepada kesatuan pemukul, di bawah pimpinan Laksamana Muda Karel Doorman yang berada di kapal penjelajah De Ruyter. Dalam pertempuran Laut Jawa, sekitar pukul 16.00, kapal-kapal Jepang yang dilengkapi dengan torpedo memulai serangan terhadap kapal-kapal sekutu. Dalam waktu sekitar 2 jam, Jepang berhasil membuat Karel Doorman kehilangan dua kapal perusaknya melalui serangan tembakan torpedo. Dalam pertempuran tersebut, Jepang hanya kehilangan beberapa kapal transport. Kerugian sekutu meliputi lima kapal penjelajah, tujuh kapal perusak, dan satu kapal tanker (Makmun, 1971: 137).

Pendaratan Pasukan Tentara Jepang di Jawa

Kemenangan Jepang, memudahkan pasukannya untuk mendarat di Pulau Jawa. Jepang mendaratkan Divisi ke-2 di Jawa Barat, dan Divisi ke-48 di Jawa Tengah, dekat perbatasan Jawa Timur. Komando Tentara ke-16 (Osamu Butai), merupakan pasukan khusus dari Jepang yang bertugas untuk merebut Pulau Jawa. Pasukan ini dipimpin oleh Letnan Jendral Hitoshi Imamura. Kekuatan invasi Jepang di Jawa itu menunjukkan jumlah yang lebih besar daripada kekuatan pihak sekutu. Selain itu, pihak Jepang memiliki bantuan udara taktis. Sebaliknya, pihak Belanda tidak memilikinya karena kekuatan udaranya sudah hancur pada pertempuran-pertempuran pertama di bagian-bagian lain Indonesia maupun Malaya (Nugroho, 1979: 36).

Pada 28 Februari, malam menjelang tanggal 1 Maret 1942, Tentara ke-16 Jepang berhasil mendarat di tiga tempat sekaligus, yakni di Teluk Banten, Eretan (Jawa Barat), dan di Kragan (Jawa Tengah). Setelah pendaratan, tepatnya pada 5 Maret 1942, Batavia (Jakarta) diumumkan sebagai “kota terbuka” yang berarti bahwa kota itu tidak akan  dipertahankan oleh pihak Belanda. Setelah jatuhnya Batavia, pasukan Jepang langsung bergerak ke selatan dan berhasil menduduki Buitenzorg (Bogor). Dalam rangka usahanya untuk menyerbu Kota Bandung, pada 1 Maret, Jepang telah mendaratkan satu detasemen yang dipimpin oleh Kolonel Toshinori Shoji dengan kekuatan 5.000 orang di Eretan, sebelah barat Cirebon.

Pada hari yang sama, Kolonel Shoji telah berhasil menduduki Subang. Momentum itu mereka manfaatkan dengan terus menerobos lapangan terbang Kalijati, hanya 40 KM dari Bandung. Keesokan harinya, tentara Hindia Belanda berusaha merebut Subang kembali, tetapi mereka tidak berhasil. Pada 5 Maret 1942, tentara Jepang bergerak dari Kalijati menuju Bandung dari arah utara.

Mula-mula, mereka menggempur pertahanan di Ciater. Setelah pertahanannya ditembus Jepang, tentara Hindia Belanda mundur ke Lembang dan menjadikan kota tersebut sebagai pertahanan yang terakhir. Namun, tempat ini pun tidak berhasil dipertahankan sehingga, pada 7 Maret 1942 Lembang berhasil dikuasai oleh tentara Jepang. Tidak lama sesudah berhasil menduduki Lembang, pada 7 Maret 1942 petang harinya, pasukan-pasukan Belanda di sekitar Bandung meminta penyerahan lokal. Kolonel Shoji menyampaikan usul penyerahan lokal dari pihak Belanda ini kepada Jenderal Imamura, tetapi tuntutan Imamura adalah penyerahan total semua pasukan sekutu di Jawa. Jika pihak Belanda tidak mengindahkan ultimatum Jepang itu, maka kota Bandung akan dibom dari udara. Akhirnya pihak Belanda memenuhi tuntutan Jepang keesokan harinya, baik Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh maupun Panglima Tentara Hindia Belanda serta beberapa pejabat tinggi militer, dan seorang penerjemah pergi ke Kalijati (Bijkerk, 1988: 311-333).

Pada pukul 13.20, Letnan Jenderal Ter Poorten dan Letnan Jenderal Imamura menandatangani dokumen penyerahan tanpa syarat yang disusun dalam bahasa Jepang dan bahasa Belanda. Kedua panglima itu juga menandatangani dokumen penyerahan daftar kekuatan yang menyangkut jumlah, pasukan, kendaraan, dan senjata. Namun, setelah kapitulasi Kalijati, pasukan Belanda di Sumatera pimpinan dari Mayor Jenderal Overaker masih membangun pertahanan di Kutacane, Aceh Selatan. Akan tetapi, pasukan gerilya Belanda mengundurkan diri karena tekanan secara terus-menerus dari tentara Jepang. Pada 13 Mei 1942, Kota Medan pun jatuh. Dalam gerakannya ke pedalaman, kota-kota penting lainnya di Sumatra, seperti Padang dan Bukittinggi, dikuasai pula oleh pasukan Jepang. Pertahanan Belanda di Kutacane yang tidak bisa diandalkan lagi, jatuh pada akhir bulan Maret 1942 (Bijkerk, 1988: 331).

Daftar Sumber

  • Buku
  1. Arief, Iskandar. 1971. Sedjarah Perkembangan Perang Dari Zaman Klasik-Modern. Jakarta: Pusat Sedjarah ABRI, Departemen Pertahanan-Keamanan.
  2. J. C. Bijkerk. 1988. Selamat Berpisah, Sampai Berjumpa di Saat yang Lebih Baik. Jakarta: Penerbit Djambatan.
  3. Makmun Salim. 1971. Ichtisar Sedjarah Perang Dunia II. Jakarta: Pusat Sedjarah ABRI, Departemen Pertahanan-Keamanan.
  4. Nugroho Notosusanto. 1979. Tentara Peta Pada Jaman Pendudukan Jepang di Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia.
0 0 votes
Beri Kami Nilai
Subscribe
Notify of
guest

3 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Arik
Arik
1 year ago

Banzaiiiii!

admin
Admin
1 year ago

URAAAA!!!

trackback
1 year ago

[…] Baca Juga […]