Munculnya Geisha: Dunia Hiburan Malam, Hingga Panggung Politik

munculnya geisha dunia hiburan malam hingga panggung politik

Munculnya Geisha

Profesi Geisha muncul dari keterpaksaan akibat kehidupan ekomomi yang sulit. Kondisi ini menyebabkan banyak keluarga miskin, yang disebut eta/hinin dan menjual anak gadisnya yang masih berumur antara 9-12 tahun kepada pemilik-pemilik Okiya (rumah yang menampung Geisha) sebagai Shikomi (pembantu rumah tangga). Setelah menjadi Shikomi, gadis-gadis kecil ini harus menghapus seluruh identitasnya karena mereka berasal dari golongan eta/hinin, yang tidak masuk pada struktur masyarakat formal dan sangat dijauhi oleh masyarakat Jepang. Rahasia yang melingkupi Geisha ditampilkan dalam riasan wajah yang tebal yang seolah ingin menyembunyikan wajah asli Geisha (Golden, Arthur, 2002: 11-12).

Geisha muncul di sekitar pertengahan zaman Edo (1600-1868). Geisha pertama adalah seorang laki-laki yang disebut sebagai Hokan atau Taiko-mochi, sedangkan wanita pertama yang menjadi geisha disebut onna geisha. Secara berangsur-angsur, jenis hiburan ini menjadi pekerjaan wanita dimana sebutan geisha kemudian digunakan untuk menyebut geisha wanita. Pemakaian istilah geisha pertama kali digunakan pada tahun 1751 di Kyoto dan tahun 1762 di Edo (Suriasumantri, 2000: 261).

Kemunculan Geisha Pria

Kemunculan geisha pria yang pertama kali sekitaran tahun 1600-an juga. Mereka memasuki pesta-pesta yang diadakan oleh yujo (pelacur) dan tamu-tamunya. Mereka memiliki tugas untuk menghibur di sana. Geisha pria inilah yang sebenarnya pertama kali disebut dengan geisha. Mereka juga disebut dengan (Hokan) atau pembawa gendang kecil tradisional Jepang (taiko-mochi). Dengan lincah dan bersemangat mereka membuat para yujo dan tamu-tamunya tertawa dengan melontarkan lelucon-lelucon yang berbau porno. Selain bertindak sebagai pelawak dan musisi, para geisha pria ini menjadi teman meghibur yang baik dan serba bisa dalam pesta-pesta.

Pada tahun 1751, para pelanggan di tempat pelacuran Shimabara dikejutkan oleh penampilan seorang wanita pembawa gendang (onna taiko-mochi) yang muncul di pesta mereka. Wanita-wanita ini dikenal dengan geiko, istilah ini masih digunakan di Kyoto sebagai ganti geisha. Beberapa tahun kemudian di Edo, penghibur wanita yang mirip dengan itu bermunculan. Mereka disebut dengan onna geisha, atau geisha wanita. Pada tahun 1780, geisha wanita telah melebihi jumlah geisha pria, orang-orang kemudian menyebut otoko geisha, untuk menyebut geisha pria. Barulah pada tahun 1800, penyebutan geisha pastilah merujuk pada seorang wanita (Kondansha Encyclopedia, 2000 : 292).

Hubungan Geisha dengan Pelacuran

Pada tahun 1700-an profesi geisha dihubungkan dengan tempat-tempat pelacuran yang mendapat izin dari pemerintah atau yukaku. Ada berbagai jenis dari pelacur (yuujo) di tempat ini, tetapi geisha adalah sebuah kelompok yang terpisah, Mereka dipanggil untuk menghibur pelacur dan tamu-tamunya dengan menyanyi dan menari. Dengan tegas dikatan, bahwa geisha tidak diperbolehkan untuk bersaing dengan pelacur yang menyediakan pelayanan seksual, walaupun perbedaan keduanya semakin lama semakin tidak jelas. Pemerintah juga berusaha untuk membatasi kemewahan pakaian geisha, dan dengan sengaja seringkali yang direkrut adalah wanita-wanita sederhana atau lebih tua (Benedict, 1982: 193).

Hubungan Geisha dengan Politik

Mulai dari akhir Zaman Edo, geisha telah mempunyai hubungan yang erat dengan dunia politik. Para samurai dari luar propinsi yang merupakan pendukung Restorasi Meiji pada tahun 1868 menemukan bahwa rumah-rumah minum teh di Kyoto merupakan tempat yang sangat mendukung bagi pertemuan-pertemuan mereka. Di sana mereka dapat membicarakan rencana-rencana politik yang disamarkan dalam  kegiatan pesta-pesta, hal ini memiliki tujuan untuk memperkecil kecurigaan pemerintah ke-shogunan terhadap kegiatan mereka. Bersama dengan berdirinya pemerintahan Meiji di Tokyo, beberapa dari pemimpin-pemimpin baru ini tetap berhubungan dengan para geisha, baik yang berasal dari Yoshiwara ataupun dari tempat lain, bahkan ada yang kemudian menikahi geisha yang setia kepada mereka (Rosidi, 1981: 77).

Sejak itu, akhirnya geisha di Tokyo lah yang kemudian paling banyak terlibat dengan politisi, dikarenakan pusat pemerintahan yang baru telah dipindahkan dari Kyoto ke Tokyo, sebagai pusat pemerintahan Meiji. Setiap golongan dari pemerintahan mempunyai distrik yang digemarinya, yang seringkali dilatarbelakangi dengan acara minum-minum sake dan suasana yang santai, namun menjadi cara penyelesaian negosiasi politik yang baik. Jatuh bangunnya kesuksesan sebuah distrik atau kawasan geisha (hanamachi) terkadang tergantung dari golongan politik berkuasa mana yang melindunginya. Demi kelangsungan profesinya, para geisha merasa berkewajiban untuk merahasiakan pembicaraan yang didengarnya selama pertemuan politik tersebut. Hal ini bertujuan agar  rahasia-rahasia politik para tamu tidak sampai bocor kepada lawan politiknya. Kerahasiaan dari informasi tersebut bertambah kuat karena para lawan politik mereka tidak menggunakan geisha yang sama (Cobb, 1997: 102).

Daftar Sumber

  • Buku
  1. Benedict, Ruth. 1982. Pedang Samurai dan Bunga Seruni : Pola-pola Kebudayaan Jepang. Jakarta: Sinar Harapan.
  2. Cobb, Jodi. 1997. Geisha: The Life, The Voices. The Art. New York: Alfred Aknopf.
  3. Golden, Arthur, 2002. Memoar Seorang Geisha (Alih Bahasa: Listiana Srisanti. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
  4. Kondansha Encyclopedia of Japan. 2000. Kondansha Ltd: Japan.
  5. Rosidi, Ajip. 1981. Mengenal Jepang. Jakarta: The Japan Foundation.
  6. Suriasumantri, Jujun. S. 2000. Masalah Sosial Budaya. Yogyakarta: Tiara Wacana.
0 0 votes
Beri Kami Nilai
Subscribe
Notify of
guest

2 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
trackback
1 year ago

[…] Baca Juga […]

trackback
10 months ago

[…] Baca Juga […]