Di samping pria hebat, ada wanita tangguh yang mengiringinya. Satu ungkapan kalimat yang penulis rasa sangat cocok untuk memulai tulisan mengenai sosok Nyi Hajar Dewantara. Siapa itu Nyi Hajar Dewantara?
Nyi Hajar Dewantara memiliki nama asli Raden Ajeng Sutartinah, merupakan salah satu sosok wanita hebat yang pernah lahir di Bumi Sang Garuda. Ia memang tidak sepopuler suaminya Ki Hajar Dewantara, namun peranannya dalam dunia pendidikan tak kalah besarnya. Dedikasinya untuk memperjuangkan pendidikan memang layak mengantarkan Nyi Hajar Dewantara (Raden Ajeng Sutartinah) menyandang status sebagai Pahlawan Pergerakan Kebangsaan dan Kemerdekaan Republik Indonesia (keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia No. Pal 52/61/PK/ tertanggal 16 April 1971)
Daftar Isi
ToggleLatar Belakang Nyi hajar Dewantara
Nyi Hajar Dewantara lahir di Yogyakarta, 14 September 1890 dengan nama Raden Ajeng Sutartinah. Ia merupakan putri keenam dari pasangan Kanjeng Pangeran Haryo (KPH) Sosroningrat dengan R.A.Y Mutmainah. Ayahnya ini merupakan putra dari K.P.A.A Paku Alam III sedangkan ibunya adalah putri dari K.R.T Mertonegoro II.
Terlahir sebagai keturunan ningrat, membuat Raden Ajeng Sutartinah mendapatkan kesempatan untuk mengenyam pendidikan yang baik pada masa itu. Pada 1904, Sutartinah berhasil menyelesaikan pendidikannya di Europense Lagere School (ELS), lalu ia melanjutkan jenjang pendidikannya ke sekolah guru. Seusai itu, Sutartinah kemudian menjadi seorang guru bantu di sekolah milik Priyo Gondoatmodjo. Setelah 3 tahun menjadi guru, pada 4 November 1907 Raden Ajeng Sutartinah dipertunangkan dengan Raden Mas Soewardi Soerjaningrat (Ki Hajar Dewantara).
Pada September 1913, Sutartinah mendampingi Ki Hajar Dewantara yang diasingkan ke Belanda. Pemerintah Hindia-Belanda pada saat itu menganggap Soewardi dan dua temanya Douwes Dekker, dan Tjipto Mangunkusumo (tiga serangkai) telah mengganggu ketertiban umum karena menulis Als Ik een Nederlander (Seandainya Aku Seorang Belanda). Di Belanda, Sutartinah bekerja di Probe School (taman kanak-kanak) yang terletak di Weimaar Den Haag untuk membantu perekonomian Soewardi dan kedua kawannya.
Sutartinah dan Soewardi lalu memutuskan untuk mendirikan Indonesische Pers Party yang kegiatannya memberi masukan berita kepada surat kabar di Belanda mengenai berbagai peristiwa yang terjadi di tanah jajahan Hindia-Belanda. Indonesische Pers Party juga rutin menerbitkan brosur-brosur dan tulisan mengenai Budi Oetomo, sarekat Islam, Indische Partij, dan lain-lain.
Usaha ini ternyata sukses membuka cara pandang dan pikiran orang-orang Belanda mengenai Hindia-belanda dan kaum pejuang (Rakyat Pribumi) di daerah jajahan itu. Hal ini berujung pada pengecaman dari golongan demokrat dan progresif terhadap kebijakan pemerintah Hindia-Belanda yang eksploitatif dan menyengsarakan kaum inlander.
Perjuangan Nyi hajar Dewantara
Nyi Hajar Dewantara dan Ki hajar Dewantara akhirnya diperbolehkan untuk kembali ke tanah air. mereka pun berlabuh di jakarta pada akhir 1919. Setibanya di Jakarta, perjuangan Ki Hajar Dewantara dan Nyi Hajar Dewantara terus berlanjut. Perkembangan politik pada saat itu, tidak memungkinkan untuk tiga serangkai (Indische Partij) melaksanakan perjuangan bersama, akhirnya mereka pun melanjutkan perjuangannya masing-masing.
Nyi Hajar Dewantara yang pada dasarnya adalah seorang pengajar, berusaha mengalihkan perjuangannya ke bidang pendidikan. Berkaca pada pandangan mereka sewaktu di Eropa, melihat dampak dari reformasi pendidikan yang dapat mengguncangkan dunia. Dengan bantuan K.H Ahmad Dahlan, Surtatinah berhasil merujuk Soewandi untuk mengalihkan perjuanganya ke bidang pendidikan.
Kemudian berdirilah Taman Siswa pada 1922, dan Nyi Hajar Dewantara juga membentuk Wanita Taman Siswa, yang mulanya berada di Yogyakarta pada 3 Juli 1922. Nyi Hajar Dewantara mendirikan organisasi Wanita Taman Siswa dibantu oleh ibu-ibu lainnya seperti, Ibu Rumsiah, Ibu Jumilah, Ibu Siti Marsidah, dan Ibu Sutatmo. Wanita Tamansiswa menjelma menjadi kelompok yang dalam pengabdiannya semakin menyemarakkan dunia pendidikan. Seiring dengan perkembangan zaman, Sutartinah berusaha agar Wanita Taman Siswa tidak ketinggalan langkah dengan Taman Siswa. Di bawah kepemimpinan Raden Ajeng Sutartinah, organisasi Wanita Tamansiswa semakin meningkatkan kegiatannya, khususnya dalam upaya memajukan kaum perempuan.
Sutartinah juga aktif dalam menulis, ia mengirimkan artikel-artikel keperempuanan di beberapa majalah. Kemampuan Sutartinah dalam membuat artikel ini tidak luput dari pengaruh dari sosok suaminya Suwardi Suryaningrat yang memang seorang jurnalis.
Tidak hanya sampai disitu, Raden Ajeng Sutartinah juga rajin dalam mengadakan siaran-siaran di radio Mavro Yogyakarta. Radio swasta ini didirikan pada zaman kolonial yang digunakan sebagai alat perjuangan, yang dalam salah satu rubriknya gencar membicarakan soal budaya. Radio ini melakukan siarannya di Pendopo Dewantara dengan sebutan gelombangnya radio Wasita. Dalam siaran radio ini, Sutartinah sering memberikan ceramah mengenai kesusilaan, keperempuanan, kebudayaan, dan kesusastraan Jawa.
Raden Ajeng Sutartinah dalam Kongres Perempuan Indonesia Pertama
Salah satu perjuangan dari R.A Sutartinah yang luar biasa adalah keterlibatan dirinya sebagai pemrakarsa diadakannya Kongres Perempuan Indonesia pertama yang berhasil diadakan pada 22-25 Desember 1928. Pada mulanya, R.A Sutartinah yang menemukan kecocokan jiwa dan pikiran dengan Ibu Soekanto (Wanita Oetama) dan Nona Soejatin (Putri Indonesia) bersepakat untuk menyatukan seluruh gerakan perempuan Indonesia yang saat itu gerakan-gerakan ini hanya sebatas gerakan kedaerahan.
Kongres Perempuan Indonesia pertama ini menjadi momentum sejarah yang begitu penting untuk dapat meningkatkan kualitas perempuan yang pada saat itu dinilai masih kurang baik dalam hal apapun. Pada kongres Perempuan Indonesia pertama ini, R.A Sutartinah menyampaikan sebuah pidato yang ia balut dalam judul “Adab Perempuan”. Keadaban ini menurut Sutartinah adalah tingkah laku utama, adab yang halus, tertib, selaras, dan tingkah laku lahir itu sungguh berhubungan dengan batin seseorang. Keadaban ini juga merupakan sebuah alat untuk saling menghargai.
Poin selanjutnya yang ia sampaikan adalah bahwasanya perempuan di dunia ini merupakan pemangku keturunan, yang dimaksudkan adalah perempuan itu adalah seseorang yang memiliki peranan besar dalam perkembangan manusia dilahirkannya, baik secara fisik maupun mental. Karena itulah, seorang perempuan harus memiliki pedoman dan pegangan hidup yang kuat untuk mencapai keselamatan , salah satunya dengan adab yang baik.
Keberhasilan R.A Sutartinah sebagai salah satu pemrakarsa lahirnya Kongres Perempuan Pertama Indonesia pada 22-25 Desember 1928 di Mataram, Yogyakarta ini, merupakan sebuah pijakan untuk memajukan kaum perempuan dalam berbagai aspek kehidupan seperti mendapatkan hak untuk pendidikan, hak demokrasi, dan jaminan hidup.
Raden Ajeng Sutartinah dalam Perjuangan Melawan “Ordonansi Sekolah Liar” Pemerintah Hindia-Belanda 1932.
Perkembangan Taman Siswa yang begitu cepat dan pesat, menimbulkan kecemasan bagi pemerintah Hindia-Belanda. Untuk menjegal langkah dari Taman Siswa ini, pemerintah Hindia-Belanda mengadakan sebuah peraturan yang tertuang dalam undang-undang. Peraturan ini dinamakan Wilde Scholen Ordonantie (Ordonansi Sekolah Liar) dibuat pada 17 September 1932 dan tertulis dalam Staatsblad nomor 494 tahun 1932 dan mulai berlaku pada 1 Oktober 1932.
Peraturan ini dimaksudkan untuk memberi kuasa kepada pemerintah dalam mengurus wujud dan isi nya sekolah-sekolah partikelir yang tidak dibiayai negara (sekolah swasta). Dalam peraturan ini, sekolah partikelir harus meminta izin terlebih dahulu, bahkan guru-gurunya pun harus mempunyai izin untuk memberikan pelajaran. Pelajaran yang diberikan pun harus selaras dan tidak melanggar peraturan negeri sesuai dengan sekolah negeri. Undang-undang yang muncul tiba-tiba ini membuat Taman Siswa tidak sempat untuk mengadakan kongres untuk membahas masalah ini,Ki Hajar Dewantara selaku pimpinan pun memutuskan untuk melawan undang-undang tersebut.
Ordonansi Sekolah Liar ini telah menghambat perjuangan bangsa Indonesia dan merampas kemerdekaan baik Taman siswa maupun Wanita Taman Siswa sebagai lembaga pendidikan dan kebudayaan nasional. Hal ini dipandang sebuah hinaan bagi bangsa Indonesia yang seolah tidak mampu menyelenggarakan sekolah-sekolah yang baik untuk mendidik anak bangsanya sendiri.
Ki Hajar Dewantara menyatakan tekadnya untuk melawan kebijakan ini dengan cara Satyagraha atau perlawanan dengan tenaga diam sampai titik darah penghabisan. Ki Hajar Dewantara pun mengirimkan maklumat kepada segenap pimpinan pergerakan rakyat mengenai bahaya dari undang-undang Ordonansi Sekolah Liar ini, dan menyatakan sikap yang dipilih baik oleh Taman Siswa maupun oleh Wanita Taman Siswa yang diketuai oleh R,A Sutartinah.
Pernyataan tekad yang menentang dari Organisasi Wanita Taman Siswa melalui Sutartinah itu membuat pemerintahan Hindia-Belanda mengambil sikap tegas dengan menutup dan menyegel Taman Siswa. Disegelnya Taman SIswa, tidak lantas membuat perjuangan R.A Sutartinah berhenti sampai di sini. Tak kehabisan akal dalam menyikapi keadaan ini, R.A Sutartinah bersama pemimpin-pemimpin Tamansiswa lainnya mengadakan “gerilya pendidikan” dengan semboyan “patah tumbuh hilang berganti, mati satu tumbuh seribu.
Gerilya pendidikan ini adalah sebuah usaha melaksanakan pendidikan secara sembunyi-sembunyi, misalnya dengan cara melaksanakan pendidikan di rumah guru, atau rumah sukarelawan dan sukarelawati guru. R. A Sutartinah memberikan arahan kepada para guru-guru taman siswa untuk mendatangi setiap rumah penduduk untuk mengajar di rumah masing-masing murid. Apabila pada pelaksanaanya ada seorang guru yang ketika sedang mengajar ditangkap, dan dipenjarakan dengan dalih melawan Ordonansi Sekolah Liar, tugas guru yang ditangkap dan dipenjarakan itu akan digantikan oleh guru lainnya, sehingga murid-murid dapat terus belajar, walaupun pemerintah Hindia-belanda terus melakukan penekanan.
Aksi ini menuai banyak perhatian dari para pejuang lainnya, berpuluh-puluh bahkan ratusan pejuang mencatatkan dirinya untuk menjadi sukarelawan dan sukarelawati Taman SIswa untuk menggantikan guru yang ditangkap dan dipenjarakan itu dengan konsekuensi siap pula untuk ditangkap.
Adanya Ordonansi Sekolah Liar yang direspon dengan Gerilya Pendidikan di bawah arahan R.A Sutartinah, secara tidak langsung telah menyatukan pergerakan kebangsaan Indonesia. Perlawanan yang masif dari Taman Siswa, Wanita Taman Siswa, dan organisasi lainnya yang tergabung ini membuat posisi pemerintah Hindia Belanda tersudutkan. Oleh karena itu, pemerintah Hindia-Belanda terpaksa mencabut kembali Ordonansi Sekolah Liar itu dengan surat Keputusan Gubernur Jenderal tanggal 13 Februari 1933 no. 18, dan berlaku mulai 21 Februari 1933.
Kegigihan yang dilakukan R.A Sutartinah dalam perlawanan terhadap Ordonansi Sekolah Liar pemerintah Hindia-Belanda ini menjadi satu bukti bahwa kaum laki-laki dan kaum perempuan adalah mitra sejajar yang dapat saling membantu dalam menghadapi berbagai masalah.
Pencapaian R.A Sutartinah dalam Perjuangan Hak Pendidikan Perempuan
Perjuangan hebat dari R.A Sutartinah telah membawa berbagai hasil positif bagi kaum perempuan di Indonesia secara umumnya, dan bagi Wanita Taman Siswa secara khususnya. Keberhasilan sebagai pelopor dari Pergerakan Perempuan dalam memperjuangkan hak-hak pendidikan untuk perempuan di Indonesia diantaranya yaitu:
- Keberhasilan mendirikan Study Fonds atau beasiswa yang bertujuan membantu para gadis yang tidak mampu membayar sekolah untuk tetap bisa bersekolah. Beasiswa ini diberi nama “Seri Dama” dan berbentuk yayasan.
- Memperbaiki nasib kaum buruh Perempuan Indonesia melalui pendidikan
- Membuka yayasan Taman Pendidikan Dewanti yang bernaung di bawah badan Pusat Wanita Tamansiswa. Yayasan ini berhasil membuat Taman Balita, dan rutin mengadakan penyuluhan mengenai pentingnya pendidikan untuk perempuan sejak dini.
Perjuangan R.A Sutartinah dalam menaikan hak derajat perempuan sudah sepatutnya dikenang dan diteruskan oleh generasi-generasi selanjutnya. Bagi R.A Sutartinah, Bangsa Indonesia khususnya kaum perempuan harus terus berjuang untuk mencapai tujuan hidupnya, yaitu menjadi istri, ibu, dan pendidik bagi generasi penerus bangsa.
Sumber:
- Blackburn, S. 2007. Kongres Perempuan Pertama Tinjauan Ulang. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
- Bratasiswara, H. 1997. Dr. Ki Hadjar Dewantara, Pejuang, pendidikan, Budayawan, dan Pahlawan Nasional. Surakarta: Resko Pustoko.
- Dewantara, B.S. 1984. Nyi Hajar Dewantara dalam Kisah dan Data. Jakarta: PT Agung Gunung.
- Fauziah, N. 2010. Peranan R.A Soetartinah pada Perkembangan Tamansiswa di Yogyakarta Tahun 1992-1971. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ekonomi Universitas Negeri Yogyakarta.
- Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa. 1952. Riwayat Perjuangan Tamansiswa 30 Tahun: 1922-1952. Yogyakarta: Percetakan Tamansiswa.
- Anwar, Ridha L. I, dan Leli Yulifar. Peranan Raden Ajeng Sutartinah dalam Memperjuangkan Hak Pendidikan untuk Perempuan Melalui Organisasi Wanita Taman Siswa Tahun 1922-1971. dalam Factum Volume 8 no.2 Oktober 2019 dalam e-journal Upi Edu
Its like you read my mind You appear to know so much about this like you wrote the book in it or something I think that you can do with a few pics to drive the message home a little bit but instead of that this is excellent blog A fantastic read Ill certainly be back
thanks a lot was invited this site, enjoy.