Hallo Kawantur, kali ini Mintur mau bahas soal penanganan penyakit cacar ala Orang Sunda, mau tau apa aja yang menarik dari cara mereka menangani cacar? langsung aja simak artikel Bertutur yang satu ini
Daftar Isi
ToggleSejarah Cacar: Masuknya Penyakit Cacar di Indonesia
Menurut Boomgaard (2003), cacar sudah melanda Indonesia bahkan sebelum orang-orang Eropa datang, khususnya Portugis pada abad ke-16. Begitu juga seperti yang dikatakan Glynn & Glynn (2005) yang menyatakan bahwa cacar mulai masuk ke Nusantara dari Tiongkok sebelum Portugis tiba. Namun, Boomgaard juga menyatakan pendapat bahwa, Orang Eropa bisa jadi yang mempercepat penyebaran cacar ke Nusantara melalui kegiatan perniagaan antar pulau.. Salah satu sumber penyebabnya adalah para budak yang diperjualbelikan di Asia Selatan dan Tenggara Yang diadopsi oleh orang Eropa.
Catatan tertua yang ditemukan Boomgaard menyatakan bahwa cacar telah menyerang Ternate di Maluku Utara pada 1558, Ambon di Maluku Tengah pada 1564, dan pada abad ke-19 (sekitar tahun 1820-an) cacar sudah menjadi endemik di pulau Jawa.
Perkenalan Tatar Sunda dengan Penyakit Cacar
Di Pulau Jawa, penyakit cacar sudah dinyatakan endemik pada abad ke-19. Hal ini dikarenakan penyakit cacar sudah hadir di Pulau jawa sejak abad ke-17. Maka dari itu, Tatar Sunda yang merupakan bagian dari Pulau jawa merupakan daerah yang sudah terpapar cacar sejak awal.
Akibat dari pertemuan Orang Sunda dengan penyakit cacar ini sudah terjadi cukup lama, menyebabkan Orang Sunda sudah mengenal urutan-urutan penyakit cacar beserta cara pencegahan, penanganan dan pengobatannya. Hal yang menarik di sini adalah upaya Orang Sunda dalam penanganan cacar, atau dalam menangkal datangnya penyakit ini yaitu melalui pengetahuan tradisionalnya seperti, jimat, mantra, dan lain sejenisnya. Jika membaca sumber-sumber terkait cacar di Tatar Sunda, pengetahuan tradisional ini bertahan hingga terbasminya cacar di Tanah Air.
Mantra, Ritual, dan Jimat Orang Sunda dalam Menghadapi Cacar
Pembahasan ini kita mulai dari kesaksian Albers (1870) dia menyaksikan seorang haji yang menggantungkan ekor harimau saat cacar sedang melanda, haji ini meyakini bahwa yang ia lakukan bisa menghindarkannya dari jurig kuris (hantu cacar). Lalu, Djajadiningrat (1936) mengutarakan jimat dan tanaman yang dapat menolak cacar:
“Dari Halim sahabat saya adalah saya menerima azimat, tertulis di atas kertas, yang mesti saya lekatkan di atas pintu di dalam rumah saya. Azimat, penolak cacar itu digambarkan sebagai bintang, namanya “ Wafaq Suleiman”. Suleiman, Muhammad, Umat, Usman, Ali, Abubakar. Gambar bintang itu, menurut keterangan Halim ialah cap Nabi Suleiman. Orang kebanyakan yang tidak beruang pembeli Wafaq Suleiman, meletakkan seranting “apa” di atas pintunya. “Apa” menurut orang Bantam Utara adalah sebangsa tanaman, sedangkan Orang Sunda menamai tanaman itu “kihapa”. Daun-daunnya serupa buah-buahan yang hampa, rupanya itulah sebabnya maka dinamai “kihapa”. “hapa” artinya “hampa” bisa jadi Orang Bantam Utara mengambil kata “apa” itu dari Orang Sunda, karena orang Jawa tidak menggunakan huruf “h” pada pangkal-pangkal perkataannya.
Penanganan dan Pengobatan Cacar di Priangan
Menurut Ossenbruggen, di Priangan anak penderita penyakit cacar tidak diperbolehkan makan makanan yang berlemak, orang tidak menghitung uang di rumah, tidak banyak berkata-kata, dan rumah harus selalu terang. Orang yang sedang terserang penyakit ini harus dimandikan dengan air yang sudah di jampi-jampi (panimbulan), dengan harapan bintil-bintil cacarnya muncul putik putih (beneur) tidak kempis hampa (hapa). Jika sudah kering, harus segera diserahkan kepada ibu atau yang mengurusnya. Setelah ini dilanjutkan dengan memanggil dukun untuk meramalkan mantra cacar (jampe kuris), dan melaksanakan ngalungsur, yaitu mencampurkan tepung beras dengan cikur (kencur) dan garam dengan air. Lalu sore harinya harus dilaksanakan ngarawun atau membakar bahan apapun yang berbau, lalu asapnya diarahkan ke dalam rumah, karena dianggap dapat menyingkirkan hantu cacar,
Lalu, orang yang sedang menjaga si sakit cacar (biasanya satu atau dua orang tua), menjaga si cacar dengan bersenjatakan lima atau tujuh pelepah aren, yang jika si sakit mengeluh atau menjerit, pelepah tersebut dipukul-pukulkan ke udara. Setiap satu / dua jam harus ada yang berjalan mengelilingi rumah, dan memukulkan pelepah-pelepah aren tersebut. Langit-langit rumah, sudut-sudut rumah, dan di samping jendela haruslah dipasangi daun nanas, kapur putih, jukut palias (sejenis rerumputan), dan bawang.
Selanjutnya, di depan rumah harus juga diberi tanda silang (cakra) menggunakan kapur. Selama berlangsungnya wabah, disarankan untuk tidak berjalan dalam gelap, dan membiarkan pintu terbuka, karena jurig kuris dipercaya bisa muncul dengan berwujudkan seekor anjing hitam. Dalam upaya untuk mengusir jurig kuris, orang kauman ( kalangan agama islam) akan berkeliling rumah penderita, desa, atau kota dengan membaca ayat-ayat Al-Qur’an, dan biasanya diawali dengan suku kata qul, la, yu, qi, ba, na, sehingga sering dikenal dengan kulayu.
Penanganan dan Pengobatan Cacar di Banten
Salah satu yang menarik dari penanganan cacar di Banten adalah, mereka memiliki mantra dengan menyebutkan nama-nama si hantu cacar, agar hantu cacar ini tidak mengganggu umat manusia, begini mantranya:
“Ki tumenggung langkung gunung, ki demang langkung pasir, ki lebe karahaan, sang kulincir putih, si toong, si depong, si colek, si letek, si uwek-uwek, ulah barangirah sinigawe sia ka urang manus! Aing geus nyaho di ngaran sia! Los ka ditu ka tegal papak ka pamahpalan badak, istan,istan,istan!”
Konon seseorang hanya bisa melihat jurig kuris saat ia bertelanjang. Lalu masih dalam kepercayaan mereka menangkal jurig kuris, mereka mengikat panglay dengan benang hitam dan dipasangkan di leher, perut, serta gelang penangkal. Dukun terus memperhatikan si sakit hingga cacarnya muncul (midang), pecah, dan dipepes. Dukun lalu menyemburkan kunyahan daun combrang, atau di tempat lain dengan mindi atau kanderi. Siang malam harus ada yang menjaga si sakit, dan malam hari arus tetap terang benderang. di balai-balai yang didiami si sakit dipasangi obor menyala. Para penjaga tidak boleh meninggalkan rumah. Dirumah pun ada beberapa larangan seperti, tidak boleh memepes apapun, berkata keras, menenun. Kerabatnya tidak boleh minggat, payah, menikam, memukul, atau memotong. Ayahnya tidak boleh memotong apapun kecuali mengajak si sakit dengan kata-kata potong tersebut, bila tidak hal ini akan menyebabkan tangan si sakit bengkok.
Saat malam tiba, orang harus meludah-ludahkan kunyahan panglay (ngabura) di pintu., jendela, dan lain-lain. lalu harus ada yang mengelilingi rumah dengan membawa obor dari daun kelapa yang dibakar. Saat cacar menjadi-jadi, si sakit badannya lalu digosokkan oleh daun sirih (etek) dan ujung rahab, lalu saat cacar pecah, tubuh penderita dibaluri campuran ketela, pisang, dan air, lalu digosokkan dengan cikur beas (beras kencur).
Penanganan dan Pengobatan Cacar di Banten Selatan
Penanganan di Banten Selatan diawali dengan si cacar dimandikan dengan air batang honje. setelah bintil cacarnya pecah, dimandikan lagi dengan air bercampur remasan halus daun lampeni. Mereka meyakini bahwa jurig kurisnya terlihat sebagai api yang berwarna hijau atau merah, atau mirip manusia dengan kepalanya yang menyerupai aseupan (kukusan).. Bapak yang anaknya sakit harus mengelilingi rumah setelah maghrib dengan bersenjatakan golok. Dan si anak harus diberikan apapun yang diinginkannya. Sesuatu yang dibeli untuk si anak dinamakan ngabaguskeun, dan meneteskan bintil cacar (ngabeneurkeun). Tugas ibu lain lagi, ibu harus nyileungleum layaknya induk ayam yang sedang mengerangi telurnya.
Mantra-mantra lainnya untuk Mengusir Jurig Kuris (Cacar)
Pada saat itu cacar merupakan penyakit yang sangat ditakuti. Untuk menanganinya beberapa Dukun akan menyiapkan satu kendi air mentah, kemenyan, dan panglay. Sebelum kegiatan berlanjut, dukun akan meminta izin terlebih dahulu kepada makhluk-makhluk halus baik yang berada di air maupun daratan. Dibacakanlah mantra:
“Pun sampun ka luhur ka Guru Putra Hiang Bayu, ka handap ka sinugrahan ka Batara Nagaraja, ka Batari anu pasti, panuhun jisim abdi aya nu ti cai, ti geusam mandi, ti darat, ti pasampangan”
Setelah ini, dukun kemudian membacakan mantra lanjutannya agar dapat sembuh seperti sedia kala:
“Ulah cicing dina sumsum, ulah cicing dina lamad, nya cicing dina buku, ulang cicing dina bulu liang, tiiis tali purna, hurip waras!”
Setelah membacakan mantra, dukun kemudian memberikan rapalan-rapalan kepada si sakit. Penderita kemudian dimandikan dengan air kendi lalu, dukun membakar kemenyan sambil mengelilingi tubuh si sakit sebanyak tiga kali. Panglay dikunyahnya saat malam tiba, dan disemburkan ke pintu depan dan halaman. Setelah tiga hari dimandikan, bintil-bintil akan muncul. Proses pengobatan ini tidak boleh dilakukan dengan berganti-ganti dukun.
Si sakit haruslah dijaga dengan berbagai cara, biasanya di tengah rumah, atau di depan pintu dipasangi kemenyan yang dibakar, lalu mantra-mantra pun diucapkan kembali
“Sang Ratu Depong, Sang Ratoe Tempo, Sang Ratu Gerendel herang, Sang Ratu Paksa, Sang Ratu Upas Barabay, Ulah raksa gawe ka urang manusa, nyaho aing Ratu sia, ratu Turug anu calik di Gunung Agung anu ngageugeuh Panday Domas, diilang ku Banteng Suria Kencana, dipangngilangankeun ku Banteng Suria Kencana, istan ora layana, istan ora bayana”
Pada saat keadaan ini, anggota keluarga harus tetap melek hingga menjelang hari baru. Sambil terus membaca mantra, ada yang harus mengelilingi rumah dengan anjuran telanjang dan membawa tiga batang sapu lidi yang dipiukul-pukul ke sana ke mari.
Tahapan Mandi dalam Penyembuhan Jurig Kuris (cacar)
Ada berapa opsi penanganan penyakit ini melalui mandi tergantung tingkat perkembangan penyakit itu sendiri. Mandi di sini tidak mandi secara harfiah, mungkin hanya dengan menyiram atau cukup dengan membasahi.
Ada tujuh tahapan mandi dalam mengobati penyakit cacar ini yaitu, sebelum bintil muncul (nangen). mempercepat kemunculan ruam (ngabijilkeun), agar bintil-bintil mengeras (ngabeuneurkeun), untuk mengeringkan bintil atau nyerinya berkurang (mepes), untuk menghilangkan kuman atau basil dari tubuh (ngalungsurkeun), memurnikan atau menyucikan tubuh dari kuman, dan agar penyakit seluruhnya hilang (ngalemkeun).
Bagi tahapan mandi ke lima dan ke tujuh, harus dipersiapkan obat-obatan seperti beras putih, lima hingga tujuh lembar daun mangandeuh, hunir putih, sedikit kapur, kemenyan. Semuanya dicampurkan, ditumbuk, dengan sedikit air, sehingga menjadi semacam ramuan yang dapat dibalurkan ke seluruh tubuh. Proses ini secara keseluruhan membutuhkan waktu sekitar 9 – 15 hari hingga keadaan si sakit membaik.
Penutupan
Walaupun upaya vaksinasi cacar sudah diperkenalkan sejak awal abad ke-19, Sejak paruh ke-2 abad ke 19 hingga perempat ke-2 abad ke-20, umumnya Orang Sunda masih menangani masalah cacar ini dengan pengetahuan tradisionalnya berdasarkan tradisi lisan (folklor lisan). Orang Sunda masih menganggap cacar sebagai representasi makhluk halus.
Hal ini mungkin saja terjadi karena STOVIA yang didirikan pada saat itu untuk menangani masalah cacar hanya menyasar kalangan Eropa dan jumlah lulusan STOVIA pun masih sangat sedikit sehingga tidak seimbang dengan orang yang harus ditanganinya.
Sumber
- Achmad Djajadiningrat, Pangeran Aria. 1936. Kenang-kenangan Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat. Batavia: Balai Pustaka.
- Boomgard, P. 2003. “Smallpox, Vaccination, and the Pax Neerlandica, Indonesia 1550 – 1930”. Dalam: Bijdragen tot de Taal-, Land-en, Volkenkunde 159, no:4, Leiden, 590 – 617.
- Kurnia, Atep. 2021. Vaksinasi Cacar di Tanah Sunda, 1779 – 1948. Panti baca Ceria: Kabupaten Sumedang.
- Glynn, Ian, and Glynn, Jenifer. 2005. The Life and Death of Smallpox. London. Profile
- Ossenbruggen, F.D.E. van. 1911. “Eigenaardige gebruiken bij pokken-epidemieenin de indischen Archipel”.Dalam Bijdragen tot de Taal-. Land-en. Volkenkunde 65.