Kisah mengenai penyerangan Ka’bah yang dilakukan oleh seseorang bernama Abrahah dengan pasukan gajahnya, bertujuan untuk menghancurkan Ka’bah berakhir dengan kekalahan akibat lemparan batu yang dibawa oleh segerombolan hewan yang dikenal dengan sebutan burung ababil. Tentu, cerita tersebut merupakan gambaran dalam Al-Qur’an, bagaimana kebesaran Allah S.W.T kepada manusia-manusia yang berani menentang-Nya.
Namun, peristiwa tersebut pernah terulang kembali dalam kurun periode modern, lebih tepatnya pada tahun 1979. Penyerangan yang tidak mendapat perlawanan berarti dan pendudukan tempat suci bagi kaum Muslimin selama 3 hari, merupakan pengalaman yang tidak akan terlupakan bagi Jema’ah yang sedang melakukan Rukun Islam ke-5 dan juga bagi Kerajaan Arab Saudi.
Ketidakpuasan terhadap Dunia Barat
Penemuan sumber minyak atas kerja sama antara Kerajaan Arab Saudi dengan Amerika Serikat pada tahun 1938, menjadi titik awal negara tersebut mengubah pandangan orang lain terhadap wilayah tersebut sebagai padang pasir tandus biasa menjadi sumber kolam minyak.
Perjanjian antara kedua negara tersebut, secara garis besar menjelaskan bahwa Kerajaan Arab Saudi mendapat perlindungan dari ‘Paman Sam’ dengan timbal balik bahwa Perusahaan Minyak Amerika-Arab (the Arabian-American Oil Company) menjadi sepenuhnya milik Amerika. Dengan kata lain, Amerika ingin mengamankan pasokan minyak bagi kebutuhan dalam negeri mereka.
Tentu, orang-orang Amerika yang ahli dalam bidang tersebut pun berdatangan. Demi memudahkan hidup mereka di kerajaan, didatangkan para insinyur terbaik mereka, dan tak kalah pentingnya pihak militer mendirikan markasnya.
Datangnya para ekspat, tidak serta merta penduduk setempat menerima dengan tangan terbuka, apalagi para pendatang lebih memilih memisahkan diri daripada berbaur dengan warga lokal. Laki-laki bernama Abdul Aziz Ibn Baz yang merupakan seorang ulama yang juga memiliki gelar sarjana, paling vokal menentang orang-orang Barat datang di Arab Saudi.
Pendapat Ibn Baz
Dalam tulisannya, ia menjelaskan bahwa haram hukumnya untuk memberi pekerjaan bagi orang-orang non-Muslim, baik itu pria ataupun wanita. Karena mereka dapat memberikan pengaruh buruk bagi penduduk Muslim lainnya dalam segi kepercayaan, moral, hingga pendidikan terhadap anak-anak.
Tentu, penguasa Saudi saat itu, Raja Abdul Aziz, tidak tinggal diam. Ia memerintahkan untuk menangkap dan menjebloskan Ibn Baz ke dalam penjara akibat melawan kebijakan kerajaan. Momentum tersebut tidak serta merta menjadi angin lalu, kerajaan lalu ‘menghimbau’ kepada para ulama jika adanya perbedaan pendapat terhadap kerajaan serta dipublikasikan, maka akan menjadi peluang masuknya paham komunisme dan sekularisme untuk merusak tatanan negara Kerajaan Arab Saudi.
Kemajuan Menjadi Sumber Bencana
Dibawah penguasa Kerajaan Arab Saudi selanjutnya yaitu Raja Faisal, Arab mengalami kemajuan begitu cepat. Pertama yang ia lakukan adalah merenovasi dan membangun akses-akses yang dibutuhkan di sekitaran Masjid al-Haram pada tahun 1956 hingga 1970-an.
Alasan dibalik pembangunan tersebut, untuk mengakomidir para jema’ah yang bertambah akibat adanya penerbangan komersil dengan akhir tujuan Arab Saudi. Selain itu, Raja Faisal turut mengundang para pendatang baru yang ingin menjadikan mereka sebagai ‘tameng’ dari ideologi-ideologi yang sedang berkembang di sepanjang Jazirah Arab. Mereka dikenal sebagai Ikhwanul Muslimin.
Secara singkat, Ikhwanul Muslimin merupakan sekelompok orang yang berpegang teguh pada ajaran Islam yang mereka anut. Selain ajaran mereka, hal-hal yang berbeda dengan kebiasaannya, mereka menggagap hal itu patut untuk dilawan keberadaannya.
Perlindungan Kerajaan Arab Saudi
Dibawah perlindungan Kerajaan Arab Saudi, Ikhwanul Muslimin dengan aman dapat menyebarkan ajarannya, sedangkan bagi pihak kerajaan, peristiwa tersebut digunakan untuk mengobarkan semangat ideologi yang berbeda dari ideologi populer di sekitar kerajaan. Pan-Islamisme menjadi ideologi yang dipegang oleh Kerajaan Arab Saudi, sehingga mereka memproklamirkan bahwa Kerajaan Arab Saudi hadir untuk melindungi kota Mekkah dan Madinah.
Namun, dukungan tersebut tidak sejalan dengan kebijakan yang diambil oleh pihak kerajaan. Raja Faisal banyak sekali mengenalkan program-program yang akan menjadi terobosan baru di Arab Saudi. Kesempatan mengenyam pendidikan bagi perempuan serta membuat televisi nasional pada tahun 1965, merupakan hasil dari kebijakan Raja Faisal yang mendapatkan protes keras oleh kaum konservatif Islam di Riyadh.
Pada bulan Maret 1975, Kematian Raja Faisal oleh laki-laki yang masih memiliki hubungan darah merupakan puncak kekecewaan terhadap keputusan yang diambil. Akibat peristiwa tersebut, sang pelaku lalu ditangkap dan dihukum mati dengan cara dipenggal. Namun, peristiwa-peristiwa selanjutnya akan lebih mengejutkan bagi warga internasional terutama kaum Muslim, khususnya Kerajaan Arab Saudi.
Penyerangan Kabah: Hari yang Tidak Terlupakan
Protes keras terhadap kebijakan dengan membiarkan budaya dunia barat memasuki, dan memengaruhi kehidupan sosial kerajaan, berujung peristiwa penyekapan jema’ah Muslim yang sedang melakukan kegiatan Rukun Islam ke-5 pada tanggal 20 November 1979.
Gerombolan tersebut memasuki kawasan Masijd Al-Haram pada waktu shalat Subuh sedang dilaksanakan. Mereka dengan cepat merebut mic yang sedang digunakan oleh imam, lalu meneriakkan seruan Allahu Akbar dan dengan cepat menutup semua akses pintu masjid.
Pemimpin dari gerombolan tersebut bernama Juhayman al-Otaybi. Dia merupakan mantan anggota dari pasukan Garda Nasional Kerajaan Arab yang bertugas untuk melindungi keluarga kerajaan dari intervensi yang ada di dalam maupun luar negeri.
Penyerangan Kabah
Awal
mula Juhayman memiliki pemikiran dan berani mengeksekusi rencana untuk
menyerang Ka’bah, berawal saat ia mendengar ceramah Ibn Baz mengenai kegagalan
keluarga kerajaan dalam melindungi umat Muslim di Arab Saudi terhadap
budaya-budaya barat. Namun, Juhayman pun mempertanyakan mengapa Ibn Baz tidak
sevokal dulu mengkritik keluarga kerajaan seperti yang pernah dilakukan
sebelumnya.
Ibn Baz belajar dari
peristiwa yang pernah ia lakukan saat pimpinan Raja Abdul Aziz, dan
menyimpulkan bahwa menyuarakan ketidaksukaan terhadap kebijakan yang diambil
oleh pihak kerajaan, tidak harus menjadi pihak oposisi. Sehingga, pada saat
peristiwa penyerangan terjadi, Ibn Baz memegang jabatan sebagai ketua Departemen
Penelitian dan Pengarahan Ilmu Pengetahuan di Ibu Kota Riyadh. Juhayman
menyimpulkan bahwa dia yang harus melakukan gerakan bukan para ulama.
Penyerangan Kabah oleh Juhayman dan Rekan-rekannya
Alasan tersebut yang membawa Juhayman beserta rekan-rekannya melakukan penyerangan dan penyanderaan di Masjid al-Haram. Mereka bersenjatakan lengkap dengan senapan otomatis yang diselundupkan sebelumnya, bahkan para penembak jitu disiapkan dan ditempatkan di menara-menara untuk melawan pihak keamanan jikalau mereka berani untuk memasuki kawasan masjid.
Tentu, pihak keamanan beserta keluarga Kerajaan Arab Saudi merasakan dilema yang sangat berat. Karena, termasuk tindakan yang haram jika melakukan aksi tembak menembak di dalam masjid, apalagi ini Masjid al-Haram. Namun disisi lain, jika mereka tidak cepat melakukan penyelamatan terhadap orang-orang di dalamnya, maka ini menjadi bukti bahwa Kerajaan Arab Saudi tidak kompeten menjadi penjaga kawasan suci bagi umat muslim yaitu kota Mekkah dan Madinah.
Cara “Membersihkan” Aksi Penyerangan Kabah
Satu-satunya cara agar pihak kerajaan bisa melakukan serangan adalah dikeluarkannya fatwa oleh ulama-ulama agar boleh memasuki kawasan Masjid al-Haram. Kesempatan tersebut, digunakan oleh Ibn Baz dengan para ulama. Mereka menyetujui untuk mengeluarkan fatwa tersebut, dengan syarat Raja Khaled harus mengubah kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan semasa pimpinan Raja Faisal, terutama mengenai pendidikan terhadap perempuan.
Raja Khaled menyetujui hal tersebut. Sehingga, pada hari ke-4 sejak tanggal 20 November dilakukan penyerangan skala besar terhadap gerombolan Juhayman oleh pasukan kerajaan dengan bantuan 3 komando pasukan special Perancis GIGN (Groupe d’Intervention de la Gendarmerie Nationale). Dengan penggunaan gas air mata beserta granat, terbukti ampuh dalam menghabiskan para gerombolan Juhayman, namun hal yang tidak bisa dihindari adalah, adanya korban dari pihak jema’ah yang disandera.
Butuh waktu 2 minggu untuk ‘membersihkan’ Ka’bah dari para gerombolan Juhayman, diantara mereka yang tewas akibat baku tembak, sebagian ada yang menyerah, terluka, dan akhirnya ditangkap oleh otoritas kerajaan, termasuk pimpinan gerombolan tersebut, Juhayman al-Otaybi.
Korban pun berjatuhan dari kedua sisi, Kerajaan Arab Saudi melaporkan bahwa korban yang mereka catat dari pihak mereka setidaknya 127 pria tewas dan 461 luka-luka. Ribuan jema’ah yang menjadi sandera pun menambah angka kematian bersama 117 gerombolan Juhayman. Walaupun dari catatan anonim menyebutkan angka korban tewas bahkan mencapai 4.000 orang. Akhir dari cerita Juhayman beserta rekan-rekannya yang tertangkap diputuskan mendapat hukuman mati dengan cara dipenggal di 8 kota yang berbeda. Peristiwa tersebut menjadi catatan hitam lainnya dalam dunia Islam modern dan Kerajaan Arab Saudi, bagaimana penyanderaan serta penyerangan di Masjid al-Haram yang dilakukan oleh orang Muslim.
Sumber
- Buku
- Trofimov, Yaroslav. 2011. Kudeta Mekkah Sejarah Yang Tak Terkuak. Jakarta: Pustaka Alvabet
- Wright, Lawrence. 2006. The Looming Tower Al-Qaeda and The Road To 9/11. New York: Alfred A. Knopf.
- Internet
- Maradita, Anjas. (Producer). (2021). Capitalism and Wahhabism Terror in Mecca [Video, 17:05 mins]. Hipotesa. https://www.youtube.com/watch?v=M7UFtsbjue4&t=831s