Daftar Isi
ToggleKarakteristik Masyarakat Indonesia
Indonesia memiliki struktur masyarakat yang majemuk. Karakteristik masyarakat Indonesia yang majemuk itu ditandai dengan adanya keberagaman etnik, agama, budaya, dan adat-istiadat. Keberagaman ini tercipta karena keadaan geografis Indonesia, serta proses sejarah yang sangat panjang dari nenek moyang bangsa Indonesia. Indonesia kurang lebihnya mempunyai sekitar 3.000 pulau yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Keadaan geografis tersebut membuat nenek moyang bangsa Indonesia terisolasi di tiap daerah yang ditempatinya dan lambat laun menghasilkan kesatuan etnik tersendiri (Nasikun, 2018).
Bukan sekadar majemuk, Indonesia merupakan negara yang sangat kaya akan etnik. Berdasarkan data sensus penduduk tahun 2010, kategori suku di Indonesia berjumlah 1331. Etnik Jawa menempati posisi sebagai etnik terbesar dengan 40,05 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Data tersebut menjadikan etnik Jawa sebagai wajah Indonesia (Badan Pusat Statistik, 2015).
Persebaran Orang Jawa
Orang-orang Jawa tidak hanya mendiami Pulau Jawa. Mereka menyebar ke seluruh Nusantara. Bahkan, sejak zaman penjajahan Belanda melalui program transmigrasi pada abad ke 18, mereka berdiaspora ke beberapa tempat seperti Suriname, Afrika Selatan dan Haiti. Penamaan Pulau Jawa sendiri tidak diketahui pasti. Dulunya, Pulau Jawa dikenal dengan nama Nusa Kendang yang artinya “pulau yang masih liar atau bertepian perbukitan”. Hanya saja, terdapat sebuah kisah yang beredar mengenai para pendatang, misalnya dari India yang menemukan biji-bijian baru yang dinamakan jawawut. Orang-orang Eropa mengenalnya Jawa atau Jawa Besar, sedangkan masyarakatnya disebut Tana (Tanah) Jawa (Jaquene, 2019), (Raffles, 2014).
Orang Jawa dari Mata Mochtar Lubis
Etnik Jawa sebagai etnik terbesar, tidak lepas dari pandangan negatif. Mochtar Lubis, dalam bukunya yang berjudul Manusia Indonesia, pernah mengkritik sifat-sifat orang Indonesia yang menurutnya munafik, tidak mau bertanggung jawab, feodal, percaya takhayul, berbakat seni, dan lemah wataknya. Dalam buku tersebut, dituliskan juga bahwa orang Jawa Kecil cenderung mudah marah, sombong, harga dirinya tinggi karena lebih memilih kehilangan uang dan pekerjaan jika tidak diperlakukan sesuai dengan kedudukannya. Dalam buku tersebut, memang tidak dinyatakan secara konkret orang Indonesia yang mana, atau dari mana asal etniknya, mengingat struktur masyarakat Indonesia yang majemuk (Lubis, 2019).
Perbedaan Pandangan Orang Belanda dan Inggris terhadap Orang Jawa
Inggris dan Belanda menajadi dua negara yang pernah tinggal di Jawa. Orang Belanda dan Inggris memandang orang jawa dengan persepsi yang berbeda. Menurut orang-orang Belanda, watak orang-orang Jawa sebagai “Pendendam, bengis, tidak taat pada atasan, meremehkan dan despotik terhadap di bawahnya, …cenderung merampok dan membunuh ketimbang bekerja, serta licik dalam melakukan perbuatan tak terpuji.” Padahal menurut Raffles, persepsi orang-orang Belanda itu sangat jauh dari kenyataan yang selama ini dia alami waktu menjadi gubernur jenderal di Hindia Belanda (1811-1816) (Raffles, 2014).
Watak orang Jawa, dituliskan dalam karyanya yang berjudul The History of Java, yang terbit pada 1817. Berbeda dengan persepsi orang-orang Belanda, justru Raffles sangat memuji watak orang-orang Jawa yang menurutnya “Bangsa petani yang terikat dengan tanah mereka, mempunyai tingkah laku yang lebih tenang dan sopan, jarang berinteraksi dan kurang tertarik dengan pelayaran dan perdagangan asing.”
Orang-orang Belanda kerapkali memandang orang-orang Jawa khususnya kelas bawah sebagai pemalas. Namun, dalam bukunya, Raffles secara tegas menyangkal pandangan itu dengan mengungkapkan bahwa orang-orang Jawa merupakan orang-orang yang rajin dan suka bekerja, seperti halnya orang-orang lainnya yang dapat diharapkan. Dia meluruskan karakter orang Jawa yang rajin dan senang berkerja dengan peningkatan hasil panen pada masa pemerintahannya. Menurutnya, orang-orang Jawa mempunyai reputasi umum yang penuh kepuasan dan bijaksana, serta jauh dari kenyataan apa yang dianggap orang-orang Belanda, pemalas (Raffles, 2014).
Karyanya ini berusaha membuktikkan watak orang Jawa yang sesungguhnya, berlawanan dengan apa yang dicirikan oleh orang-orang Belanda. Inggris melihat mereka “Cenderung tidak melakukan usaha ke luar daerahnya, dan tidak mudah terpancing untuk melakukan kekerasan atau pertumpahan darah“.
Amuk dalam Masyarakat Jawa
Raffles berasumsi orang-orang Jawa tidak akan menyulitkan penguasa kolonial Inggris. Tetapi, Raffles juga tidak menampik terjadinya amuk (kekacauan, perbanditan, atau kekerasan) di Jawa. Namun, amuk hanya terjadi secara terbatas saja. Orang-orang Jawa diakuinya tidak mempunyai sifat amuk seperti yang dikabarkan oleh orang-orang Belanda, melainkan terjadi karena “Kehidupan di bawah pemerintahan, di mana keadilan jarang ditegakkan dengan sebenarnya tanpa pandang bulu“. Menurutnya, orang-orang Belanda yang telah menyebabkan banyaknya penderitaan dan perusakan terhadap masyarakat Jawa (Raffles, 2014).
Peningkatan kejahatan justru sering terjadi saat pemerintah Belanda berkuasa, awalnya dipicu karena ketidakadilan dalam mempraktikkan hukum kepada para budak. Misalnnya, cuma kesalahan sepele saja, seorang budak akan mendapat hukuman yang sama mengerikannya dengan hukuman mati. Seolah menyindir orang-orang Belanda, dalam bukunya Raffles menyatakan, pemerintahan Inggris tidak pernah memasang palang dan gredel untuk rumah pribumi Jawa, atau membawa dan menggunakan senjata untuk keperluan yang sebenarnya tidak diperlukan seperti yang pernah dilakukan orang-orang Belanda terhadap pribumi Jawa (Raffles, 2014).
Akhir Masa Thomas Stamford Raffles di Jawa
Thomas Stamford Raffles, dengan karya masterpiece-nya bukan hanya menuliskan pengalamannya di Pulau Jawa sebagai pemerintah kolonial. Ia juga menunjukkan pengabdiannya sebagai ilmuwan yang terbukti dalam waktu singkat saja telah banyak mendokumentasikan kekayaan alam flora dan fauna Nusantara, serta kecintaannya terhadap sastra dan kebudayaan Jawa. Watak orang-orang Jawa yang dimuat dalam bukunya memperlihatkan rasa simpatiknya terhadap masyarakat Jawa yang dikaguminya (Raffles, 2014).
Raffles kembali ke London tahun 1815, akibat menderita penyakit tropis yang cukup parah. Inggris menyerahkan kekuasaannya di Hindia Timur kepada pemerintah Belanda melalui Konvensi London tahun 1814-1816. Dalam kurun waktu 1850-1942, Jawa kembali marak dengan perbanditan yang banyak terjadi di pedesaan. Kejahatan seperti kecu, koyok, atau perampokan sebagian terjadi bukan murni kriminalitas, melainkan aksi Robin Hood ala pribumi Jawa yang memprotes sistem perkebunan Belanda. Pada 1819, Raffles seakan membuktikkan sumpahnya dengan mendirikan Pulau Singapura, walaupun kecil akan sangat maju dari Tanah Jawa.
Daftar Sumber
- Buku
- El-Jaquene, Fery Taufiq. 2019. Asal Usul Orang Jawa: Menelusuri Jejak-jejak Genealogis dan Historis Orang Jawa. Yogyakarta: Araska.
- Lubis, Mochtar. 2019. Manusia Indonesia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
- Nasikun. 2018. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.
- Raffles, Thomas Stamford. 2014. The History of Java. Yogyakarta: Narasi.
- Internet
- Badan Pusat Statistik. 2015. “Mengulik Data Suku Indonesia” dalam https://www.bps.go.id/news/2015/11/18/127/mengulik-data-suku-di-indonesia.html. Diakses pada …….. ?
[…] Baca Juga […]