Daftar Isi
ToggleVersi Peristiwa 27 Juli 1996
Peristiwa 27 Juli 1996 yang dikenal dengan peristiwa Kudatuli, atau juga disebut sebagai peristiwa Sabtu Kelabu, merupakan salah satu sejarah kelam yang terjadi pada masa Orde Baru. Simpang siur terhadap peristiwa ini masih belum terpecahkan hingga saat ini. Layaknya peristiwa G30S yang menuai banyak versi, peristiwa 27 Juli 1996 ini juga memiliki beberapa versi yang berkaitan dengan mengapa peristiwa ini bisa terjadi.
Menurut versi ABRI kala itu, ABRI sudah memastikan bahwa Peristiwa Kudatuli ini bisa terjadi karena ditunggangi oleh organisasi yang bernama Partai Rakyat Demokratik. Jenderal Feisal Tanjung yang menjabat sebagai Panglima ABRI (Pangab) pada saat itu, membuat pernyataan sehari setelah peristiwa 27 Juli 1996. Ia menyatakan bahwa kemelut yang menyangkut PDI ditunggangi oleh oknum, golongan, kelompok, yang tidak bertanggung jawab dengan melakukan tindakan anarkis. Feisal Tanjung juga menyanggah pernyataan yang menyebutkan bahwa kemelut yang terjadi ini dikarenakan oleh kelompok PDI Soerjadi (apa hubungannya? Di bawah nanti akan dijabarkan)
Hal ini sangat berbeda dengan yang diutarakan Menurut versi Komnas HAM. Dalam laporan temuannya, Komnas HAM sama sekali tidak menemukan bukti bahwa PRD lah yang menjadi dalang dari kerusuhan kudatuli. Menurut Komnas HAM setidaknya ada 3 penyebab kerusuhan ini, (1) unsur pendukung PDi Soerjadi dengan PDI Megawati, (2) unsur pemerintah/aparat keamanan. (3) unsur masyarakat.
Bagi masyarakat, meski tidak secara gamblang dikatakan, sesungguhnya mereka sudah paham, bahwa penyerbuan markas PDI yang dikomandoi aparatlah yang menyulut tragedi Sabtu Kelabu atau Kudatuli itu terjadi.
Latar Belakang Terjadinya Peristiwa Kudatuli
Tidak bisa dipungkiri bahwa peristiwa 27 Juli 1996 ini erat kaitannya dengan dualisme yang terjadi dalam tubuh Partai Demokrasi Indonesia (PDI) ~PDIP baru muncul setelah peristiwa ini~. Sebelum peristiwa terjadi, sudah hampir satu dekade lamanya PDI mengalami konflik internal. Konflik ini bermula dari, ajakan Soerjadi (Ketua Umum DPP PDI saat itu) agar Megawati bergabung bersama PDI yang sedang bersiap-siap menghadapi Pemilu 1987 (pemilu keempat Indonesia).
Kala itu, keluarga Soekarno menjadi korban ambisi Soeharto. Upaya de-Soekarno-isasi dilakukan dengan membatasi pergerakan putra-putri Soekarno terutama dalam bidang politik. Akibat hal-hal ini, keluarga Soekarno pada saat itu tidak ingin terlibat politik praktisi. Namun, pada akhirnya Soerjadi berhasil menarik Megawati dan Guruh masuk ke dalam PDI tahun 1987.
Sejak Pemilu 1997, PDI selalu memperoleh nomor buncit dengan suara tak lebih dari 10%. Suara yang diperoleh partai hasil fusi empat partai golongan demokrasi pembangunan (PNI, IPKI, Parkindo, Murba, dan Partai Katolik ini) hanya 8,05% (29 kursi) pada pemilu 1977, dan 6,66% (24 kursi) pada pemilu 1982. Soerjadi menilai bahwa Megawati bisa menjadi pembawa suara (vote getter). Hal ini beralasan karena Megawati merupakan garis keturunan Soekarno, masyarakat yang merindukan sosok Soekarno kemungkinan akan tertarik suaranya.
Strategi Soerjadi ini ternyata berhasil. Megawati efektif menarik pemilih di Jawa Tengah. Setiap kali Perempuan yang memiliki nama lengkap Dyah Permata Megawati Setyawati Soekarnoputri itu tampil dalam panggung kampanye, massa PDI selalu melimpah. Alhasil, suara yang diperoleh PDI dalam pemilu pun meningkat. Pada pemilu 1987, PDI meraih 10% (40 kursi), dan 14 persen (56 kursi) pada Pemilu 1992.
Meningkatnya popularitas dari Megawati ternyata menuai ketidaksukaan dari pihak pemerintah. Pada saat itu, Jenderal Hartono dan para petinggi ABRI sedang mendongkrak popularitas Siti Hardiyanti Rukmana atau biasa dipanggil Tutut (anak sulung Soeharto) sebagai Putri Mahkota Golongan Karya. Soerjono pun malah memandang popularitas Megawati dengan negatif, lantaran takut pamor atas dirinya tersaingi. Puncaknya pada 1992, ketokohan Megawati yang menjadi sebab meningkatnya suara dari PDI, membuat pemerintah Orde Baru menjadi khawatir.
Campur Tangan Pemerintah Orba terhadap PDI
Pada 21 Juli 1993, PDI menyelenggarakan kongres IV di Medan untuk memilih ketua umum. Pada kongres tersebut Soerjadi terpilih menjadi Ketua Umum PDI. Namun Panglima ABRI Feisal Tanjung menyatakan Soerjadi tidak sah sebagai Ketua Umum PDI karena terlibat kasus penculikan dan penganiayaan kader PDI, Edi Sukirman dan Agung Imam Sumanto. Sejak dituding terlibat kasus penculikan kader dan menyuaranya kampanye ABS “Asal Bukan Soerjadi”, membuat ia dalam posisi yang lemah. Hal ini ditanggapi oleh Soerjadi dalam Forum Keadilan, 9 Juli 2020 “Pemerintah dan ABRI melakukan langkah-langkah untuk menghambat pencalonan saya menjadi ketua umum kembali”. Kemudian pemerintah menunjuk pengurus sementara yang bertugas mengurusi PDI dipimpin oleh Latief Pudjosakti.
Pada Agustus 1993, Menkopolhukam Soesilo Sudarman menegaskan bahwa Kongres Medan tidak sah, dan akan digelar kembali KLB (kongres luar biasa) PDI di Surabaya.
Pada 2-6 Desember 1993, KLB Surabaya akhirnya digelar. dalam pemilihan ketua umum di sini ada 2 calon yang bersaing, Budi Hardjono (anggota Caretaker yang didukung pemerintah) melawan Megawati Soekarnoputri. Dari kongres ini, 256 dari 305 Dewan Pimpinan Cabang PDI mendukung Megawati. Hasil ini seharusnya membawa Megawati menduduki kursi Ketua Umum PDI, namun Caretaker yang kabur tanpa menetapkan ketua umum PDI, membuat KLB Surabaya ini lagi-lagi berujung deadlock.
Dalam situasi yang sengaja dibuat mengambang ini, Megawati tetap menyatakan diri sebagai Ketua Umum PDI secara de facto. Alhasil, pada 22 Desember 1993 PDI menggelar musyawarah nasional (Munas) di Kemang, Jakarta Selatan. Munas yang telah selesai tidak serta merta membuat perseturuan ini selesai, Soerjadi menuntut selepas Munas harus dilaksanakan Kongres untuk memilih pengurus, namun Megawati menganggap kepengurusan dia sudah sah sampai periode 1999.
Pada 1996, pemimpin PDI menerima laporan bahwa jajaran Departemen Dalam Negeri dan Perwira ABRI menekan jajaran PDI di tingkat daerah untuk menandatangani persetujuan digelar KLB PDI pada 1996 yang rencananya digelar di Medan. Berita KLB Medan yang telah berhembus ini membuat para simpatisan Megawati mengambil sikap oposisi radikal terhadap pemerintahan Soeharto. Banyak partai, organisasi, dan para aktivis yang turun ke jalan, mereka berunjuk rasa di berbagai kota untuk menyerukan “Megawati! Reformasi!.
Banyak upaya yang sudah dilakukan pemerintahan Orba untuk menghalangi langkah Megawati menuju panggung politik nasional, namun nampaknya usaha menyingkirkan Megawati itu gagal. Dukungan terhadap Megawati semakin tak terbendung dari banyak kalangan masyarakat. Mereka menganggap bahwa Megawati adalah simbol perlawanan rakyat, simbol pemersatu rakyat, untuk melawan rezim yang otoriter.
Demonstrasi ini memuncak pada 26 Juni 1996. Ada sebanyak 30 lembaga swadaya masyarakat (LSM) mengumumkan berkoalisi dan membentuk organisasi payung bernama Majelis Rakyat Indonesia (MARI). Banyaknya huru hara yang terjadi akibat diumumkannya KLB Medan 1996 ternyata tidak membuat KLB ini gagal digelar. Pada 20-23 Juni 1996 setahun sebelum Pemilu 1997. KLB ini resmi digelar. Soerjadi yang dijadikan alat untuk menghambat laju Megawati ini dinyatakan terpilih menjadi Ketua Umum PDI dalam Kongres ini, dan disetujui oleh Menteri Dalam Negeri pada saat itu Yogie S Memed, dan Pangab Jenderal Feisal Tanjung. Padahal Megawati beserta para pendukungnya tidak menghadiri kongres tersebut.
Aksi Protes Kubu Pendukung Megawati
Hasil KLB Medan tersebut menuai respon dari Kubu Megawati. Pangdam Jaya Mayor Jenderal Sutiyono sejak pertengahan Juli 1996 memperbolehkan Megawati menempati kantor DPP PDI dengan syarat tidak mengundang mobilisasi aksi turun ke jalan. Di halaman DPP PDI tersebut, setiap harinya Megawati menyelenggarakan Mimbar Demokrasi. Kegiatan tersebut diisi oleh orasi-orasi protes dan biasanya dihadiri banyak orang. Mimbar Demokrasi ini tidak hanya berbicara mengenai intervensi pemerintah terhadap PDI, tetapi para orator juga melakukan kritik terhadap Soeharto, Dwifungsi ABRI, dan pilar-pilar sistem politik Orba lainnya. Tidak terduga ternyata penjegalan terhadap Megawati ini berhasil membentuk koalisi besar kekuatan pro demokrasi yang sepertinya siap untuk menentang rezim Orde Baru. Pemerintah ternyata cepat mencium bahaya ini, Feisal Tanjung langsung menilai Mimbar Demokrasi ini sebagai perbuatan makar dan memperingatkan gerakan tersebut sebagai “lagu lama PKI”. Kapolda Metro Jaya pun kemudian melarang Mimbar Demokrasi tersebut.
Kejadian-kejadian ini ternyata memicu pertemuan antara Soeharto dan Soejadi. Dalam pertemuan itu, Soeharto mengatakan pada Soerjadi ada “setan gondrong” (istilah yang diciptakan Orba untuk mengganti kata PKI) yang dimaksudkan pada gerakan pro demokrasi di bawah payung Majelis Rakyat Indonesia (MARI). Tiga hari setelah pertemuan antara Soeharto dan Soerjadi ini, peristiwa 27 Juli 1996 pun terjadi
Jalannya Peristiwa 27 Juli 1996
Beberapa hari sebelum 27 Juli 1996, terdengar desas-desus jika kubu Soerjadi hendak mengambil alih kantor Pusat PDI yang berada di Jalan Diponegoro, Jakarta. Dari kabar yang beredar itu, setiap harinya kantor pusat PDI ini dijaga oleh sekitar 200 orang lebih. Pada 27 Juli 1996 Pukul 05.00 pagi hari, pendukung Soerjadi yang diisikan dalam 5 truk dan berjumlah sekitar 200 orang mulai berdatangan ke kantor Pusat PDI yang dipimpin oleh Buttu Hutapea dan memakai baju bertuliskan “pro kongres”. Awalnya kedua belah pihak mengirimkan perwakilannya untuk berdiskusi, namun sulitnya kata sepakat yang terjadi, pecahlah bentrokan antara kedua pendukung ini.
Pada pukul 08.00, aparat sudah menguasai dan mengambil alih sepenuhnya kantor pusat PDI. Massa pendukung Megawati terjebak di dalam kantor. kedua belah pihak melakukan aksi saling lempar batu. memasuki pukul 09.00 massa pendukung Soerjadi berhasil memasuki halaman gedung. Pendukung Megawati semakin terdesak, dan puluhan korban berjatuhan. Pendukung Megawati yang terkonsentrasi di depan gedung bioskop Megaria, mencoba menembus barikade aparat. Massa kemudian mundur ke arah Cikini, Salemba, dan Jalan Proklamasi.
Massa pendukung Megawati yang mundur ke arah Salemba dan Matraman membakar berbagai simbol kekuasaan politis. Mereka merusak dan membakar Kantor Persit (Chandra Kirana), gedung Departemen Pertanian beserta mobil di dalamnya. Mereka juga membakar gedung Darmek, Bank Kesawan, dan Bank Swarsarindo. Sebagian massa juga melempari kantor Polsek Matraman. Massa yang bergerak ke arah Kramat Raya membakar showroom Toyota Auto 2000, merusak gedung Bank Bumi Daya, dan Bank Dagang Negara. Massa yang bergerak ke sekitar Jalan Proklamasi merusak gedung Telkom, Jalan Penataran, membakar 23 mobil, dan dua ruko di Jalan Proklamasi juga ikut terbakar. Massa yang mundur lewat CIkini merusak gedung Bank BHS.
Akibat peristiwa ini, 240 orang ditangkap oleh pemerintah dan 120 orang dinyatakan sebagai tersangka. Beberapa orang tokoh ditahan oleh Kejaksaan Agung, antara lain Mochtar Pakpahan pimpinan Serikat Buruh Indonesia (SBS), tokoh-tokoh Partai Rakyat Demokratik (PRD), tokoh Majelis Rakyat Indonesia (MARI), Ridwan Saidi, Permadi, Budiman Sujatmiko, dan Petrus Haryanto. Berdasarkan penelitian Komnas Ham, peristiwa ini juga mengakibatkan 70 orang hilang, 149 orang luka-luka, dan 5 orang meninggal dunia,
Peristiwa Kudatuli Menjadi Benih Reformasi.
Peristiwa Kudatuli ini menjadi awal resistensi masyarakat terhadap pemerintah yang telah sewenang-wenang dalam menggunakan jabatannya. Pemerintah selalu berusaha dengan cara apapun demi kepentingan sang pemimpin, hingga membatasi panggung perpolitikan. Dari peristiwa ini juga lahirlah sejumlah peristiwa lainnya yang berjuang dalam ruang demokrasi, seperti peristiwa Trisakti, hingga akhirnya berujung pada peristiwa Reformasi 1998 yang berhasil menggulingkan rezim Orde Barunya Soeharto.
Sumber .
- Poeponegoro, Marwati Djoened, dan Nugroho Notosusanto. 2008. Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta: Balai Pustaka.
- Eklof, Stefan. 2003. Power Political Culture in Soeharto’s Indonesia. London: Routledge.
- Megawati Simbol Perlawanan Rakyat, Media Indonesia 10 Desember 1993.
- Abdulsalam, Husein. 27 Juli 2019. Sejarah Kerusuhan 27 Juli 1996: Soeharto Gembosi Megawati. dalam https://tirto.id/sejarah-kerusuhan-27-juli-1996-soeharto-gembosi-megawati-ee7a diakses pada 29 Maret 2024, pukul 21.30.