Peristiwa Talangsari Lampung 1989: Konflik Jemaah Warsidi dengan Aparat Keamanan

peristiwa talangsari lampung 1989

Peristiwa Talangsari Lampung 1989 merupakan konflik antara jemaah pengajian yang dipimpin oleh Warsidi dengan Aparat Keamanan di Dusun Talangsari III, Desa Rajabasa Lama, Kecamatan Way Jepara Lampung Timur. 

Konflik ini bermula dari Anwar Warsidi yang merantau ke Lampung dan mendirikan sebuah pondok Pesantren. 

Kegiatan jemaah Pesantren yang di kemudian hari meresahkan banyak masyarakat setempat ini berujung pada peristiwa yang menyebabkan 27 orang meninggal versi Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI / kurang lebih 130 orang meninggal versi Komnas Ham, penangkapan terhadap 227 orang, serta kerusuhan luar biasa antara para jamaah Warsidi dan anggota ABRI.

Sejarah Singkat Mengenai Dusun Talangsari

Pada mulanya, Talangsari merupakan sebuah dusun dengan luas wilayah yang cukup luas. Karena wilayah yang luas ini Talangsari kemudian dibagi menjadi tiga bagian, Talangsari I, II, dan III. Talangsari I dipecah menjadi dua desa, Subing Puspa Barat dan Timur. Talangsari II diubah menjadi Mega Kencana, dan Talang Sari III menjadi Subing Putera III.

Dusun Talangsari III ini masyarakatnya mayoritas memeluk agama muslim, dan bahasa sehari-hari yang digunakannya adalah Bahasa Jawa, karena penduduknya 100% Orang Jawa. Dusun Talangsari III yang terletak di Desa Rajabasa Lama, Kecamatan Labuhan Ratu, Lampung Timur ini memiliki luas wilayah sekitar 248Ha.

Dari Jawa Tengah Menuju Lampung

Warsidi kecil lahir disebuah desa kecil bernama Sebrang Rowo, kawasan Candi Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah pada 1939. Sejak kecil, Warsidi dikenal sebagai anak yang rajin dan pekerja keras. Pendidikan formal Warsidi hanya sampai tingkat Sekolah Dasar saja, selanjutnya ia mengaji kepada seorang ustad desa bernama Kiai Sirot. Warsidi kemudia memutuskan untuk pergi ke Lampung, menyusul kedua kakaknya yang telah lebih dulu menjadi transmigran di Lampung sejak 1939.

Pada kisaran tahun 1965, di sebuah masijid yang berlokasi di Bandarjaya, Batanghari, Lampung, Warsidi bertemu seseorang bernama Anwaruddin. Seusai Sholat, Warsidi menghampiri Anwaruddin yang dalam penglihatannya orang itu begitu khusyuk dalam sholatnya. Warsidi kemudian memperkenalkan diri kepada Anwaruddin, dan perbincangan pun terjadi diantara mereka. Dalam perbincangan itu, Anwaruddin bercerita mengenai kisah hidupnya. Tanpa butuh waktu banyak, Warsidi memutuskan untuk menjadi murid dari Kiai yang baru dikenalnya tersebut.

Cerita dari Anwaruddin rupanya menjadi pedoman agama bagi Warsidi. Dalam ceritanya itu Anwaruddin pernah membunuh seorang kafir, yang menurutnya itu bukan suatu dosa, bahkan memerangi orang kafir menurutnya merupakan suatu bentuk jihad. Anwaruddin juga memandang bahwa pemerintah juga merupakan golongan orang-orang kafir yang harus diperangi dan diganti dengan pemerintah Islam. Bagi siapapun yang tidak sama dengan dia dan tidak menjalankan syariat Islam dengan baik, adalah kafir.

Kegiatan Jemaah Warsidi               

Setiap harinya, jemaah Warsidi disibukkan dengan aktivitas-aktivitas keagamaan seperti pondok pengajian pada umumnya. Kesibukkan beribadah ini ternyata membuat pergaulan mereka dengan masyarakat sangat terbatas. Jemaah Warsidi selalu menolak undangan tradisi Kenduri (tradisi masyarakat Jawa untuk bersyukur atas segala nikmat yang telah tuhan berikan, serta untuk saling berbagi dan bersilaturahmi) dari masyarakat. Mereka beralasan bahwa dalam Islam tidak dikenal apa yang dinamakan kenduri.

Jemaah Warsidi ini memang pada dasarnya menutup diri kepada mereka-mereka yang bukan berasal dari golongan pesantren Warsidi. Pada saat itu, Kepala Dusun Talangsari III yaitu Sudiki, pernah mengajak para santri di Pondok Warsidi untuk bergotong royong bersama masyarakat sekitar untuk mengeraskan jalan desa, namun mereka menolak ajakan tersebut. Para santri Pondok Warsidi juga menolak saat mereka diajak untuk melaksanakan ronda malam di areal dusun. Mereka juga tidak mau melakukan sholat berjamaah dengan orang yang tidak ikut dalam pengajian mereka. Sikap tertutup ini menyebabkan hubungan jemaah Warsidi dengan masyarakat, dan pemerintah desa menjadi kurang baik.

Hubungan yang sudah tidak harmonis itu diperparah dengan aktivitas Jemaah Warsidi yang mulai membuat gusar warga. Jemaah Warsidi yang berasal dari Jakarta mulai banyak berdatangan ke Cihideung, banyak dari mereka yang kemudian belajar mengenai ilmu bela diri, membuat panah, belajar perang, dan latihan merakit bom. Aktivitas ini dinilai tidak wajar dari sebuah pondok pesantren. Setibanya jemaah yang berasal dari Jakarta, sikap jemaah Warsidi ini semakin mengganggu masyarakat. Karena jumlah orang yang semakin banyak ini, dan kebutuhan logistik tidak terpenuhi mereka mulai menjarahi kebun-kebun warga, menurut mereka hal ini juga tidak salah, karena mereka beranggapan “di bumi allah, siapapun berhak menikmati apa yang ada di atasnya”. Masyarakat yang melihat kejadian itu tidak berani menegur, apalagi melarangnya.

Pandangan Jemaah Warsidi

Dekedensi moral (merosotnya nilai-nilai keagamaan, nasionalisme, nilai sosial budaya bangsa dan perkembangan moralitas individu), maksiat, dan kemiskinan menurut mereka adalah kesalahan pemerintah RI yang tidak mengamalkan hukum-hukum al-qur’an dan hadis. Maka dari itu, pengikut jemaah ini dibuat wajib patuh dan taat kepada pemimpinnya. Umat Islam bahkan seorang ulama yang tidak bergabung dalam jemaahnya tergolong kafir dan darahnya halal. Jemaahnya dilarang membayar pajak, iuran desa, dan menolak Kartu Tanda Penduduk (KTP) sebagai penyataan melawan pemerintah. Para pendatang yang disebut “muhajirin” tidak usah mengikuti aturan administrasi yang dibuat oleh pemerintah kafir. 

Pada Januari 1989, Nurhidayat berkunjung ke Cihideung dan ia menyarankan agar jamaah mempersiapkan diri membentuk pasukan khusus yang dipimpin oleh Riyanto dan Fadillah, dengan latihan fisik, latihan bela diri, memanah, membuat anak panah beracun, dan membuat bom-bom molotov sebagai alat perjuangan untuk menegakkan kebenaran. Aktivitas Kelompok Warsidi ini dilaporkan oleh pemerintahan setempat pada Rabu 11 Januari 1989. Kepala Desa Rajabasa, Amir Puspa Mega mendapat laporan dari Sukidi dan pamong desa setempat. Berdasarkan laporan itu, Amir puspa lalu meneruskan laporannya kepada Camat Way Jepara, Zulkifli Maliki. Pada hari itu juga, Zulkifli memanggil Amir untuk segera menghadapnya bersama Jayus, Warsidi, Sukidi, dan Mansyur. Surat itu kemudian disampaikan oleh SUkidi kepada Warsidi. Namun Warsidi ternyata menolak panggilan tersebut, ia berdalih dalam surat balasannya bahwa sebaik-baiknya umaro (pejabat) adalah yang mendatangi ulama, dan seburuk-buruknya ulama adalah yang mendatangi umaro.

Pecahnya Peristiwa Talangsari Lampung 1989

 Hampir dua bulan lamanya masyarakat mengalami ketakutan, banyak pengikut Warsidi yang membawa golok dan mengayun-ngayunkannya di jalanan tanpa sebab. Terlebih saat kelompok Warsidi menyerukan agar warga tidak melakukan ronda malam dan membawa senter, yang berujung pada diambil alihnya pos-pos ronda oleh mereka.

Hari Jumat, 3 Februari 1989, Sukidi melaporkan peristiwa ini kepada pemerintahan desa, yang diteruskan ke Kecamatan. Malam harinya, perwakilan dari kecamatan berjumlah dua orang (Babinsa, dan Kaur Pemerintahan) datang ke lokasi untuk berdialog dengan pimpinan pesantren, Warsidi. Mereka malah diancam dengan golok, sabit, dan celurit oleh anak buah Warsidi. Perwakilan kecamatan itu pun merasa ketakutan dan meninggalkan tempat.     

Minggu, 5 Februari 1989, utusan dari Way Jepara datang lagi. Sukidi bersama Baheram, serta RT dan RW menemani mereka memantau lokasi. Pukul 11 malam mereka berangkat secara diam-diam. Pada malam itu, ada sekitar 10 orang anak buah Warsidi yang menguasai pos jaga. Dari 10 orang tersebut, 6 orang berhasil ditangkap beserta dengan pedang, golok, celurit, bom molotov, dan sekarung anak panah. Kejadian ini membuat Warsidi marah, ia memerintahkan “pasukan khusus” dibawah pimpinan Riyanto untuk membebaskan anak buahnya yang ditangkap itu. 

Pembangkangan Anwar Warsidi ini dilaporkan kepada Korem (Danrem) 043/Garuda Hitam, Kolonel Hendropriyono. Danrem menginstruksikan agar dilakukan pendekatan secara persuasif terhadap Anwar Warsidi dan para jemaahnya. Senini, 6 Februari 1989 sekitar jam 8 Kasdim Mayor E.O Sinaga bersama rombongannya datang ke Cihideung. Rombongan tersebut berjumlah 20 orang. Mereka juga mengajak Sukidi untuk masuk ke pesantren dengan maksud untuk berdialog. Rombongan tersebut dipimpin oleh Komandan Ramil Militer (Danramil) Way Jepara Kapten Soetiman. Soetiman berada paling depan rombongan menggunakan sepeda motor. Sebelum masuk lokasi, ternyata Soetiman telah dihadang terlebih dahulu oleh para pengikut Warsidi. Kapten Soetiman kemudian diserbu menggunakan panah dari semak-semak dan pos jaga, seraya mengucapkan Allahu Akbar. Akhirnya Soetiman meninggal dunia terkena bacokan golok dan anak panah. Karena jumlah yang tidak sebanding, Mayor Oloan Sinaga memerintahkan untuk mundur dan melaporkan kejadian ini kepada Danrem.

Tewasnya Kapten Soetiman, membuat Danrem 043 Garuda Hitam Lampung Kol AM Hendropriyono mengambil tindakan tegas terhadap kelompok Warsidi. Pada 7 Februari 198, sekitar pukul 03.00 dini hari, 40an anggota Polri dan Brimob, dibantu tiga pleton pasukan dari Korem 043 Garuda Hitam Lampung bergerak menuju Dusun Cihideung, Talangsari. Penduduk kampung yang sudah lama menyimpan antipati terhadap kelompok ini pun ikut mengawal peristiwa,        

Pada saat itu, berulang kali petugas memperingati Warsidi dan jemaahnya melalui pengeras suara untuk menyerahkan diri dan menyerahkan jenazah Kapten Soetiman yang mereka bunuh. Namun himbauan ini tidak dipedulikan oleh mereka. Sebaliknya, mereka malah berhamburan keluar seraya membawa golok dan panah untuk menyerang petugas. Penyerangan ini dilakukan setelah ada komando seruan Jihad dari salah satu pengikut Warsidi. Dalam kondisi ini, akhirnya peperangan terjadi antara jemaah Warsidi dan rombongan Hendropriyono. 

Pasukan Hendropriyono berhasil mengepung dari tiga arah, Pakuan Aji (Utara), Kelahang (Selatan), dan dari pusat desa Rajabasa Lama.Sekitar pukul tujuh, serangan dari Timur datang, disusul dari Utara, yang akhirnya berhasil menguasai Mushola. Pasukan Warsidi kebanyakan sudah gugur, Warsidi akhirnya ditembak di depan pondok saat menyelamatkan anak angkatnya (Abbas). Aparat memerintahkan kaum perempuan dan anak-anak yang berada di dalam untuk keluar pondok.

Namun dari sejumlah orang yang tewas dalam peperangan itu, ada dari kaum wanita dan anak-anak yang tewas akibat terbakar bersama dengan terbakarnya pondok-pondok yang mereka tinggali. Belum diketahui secara pasti siapa dan dari pihak mana yang membakar pondok-pondok ini, namun ada saksi mata yang menyebutkan bahwa yang membakar adalah dari golongan Warsidi sendiri dengan alasan mati syahid (Faradia, DKK)

Sumber.          

  1. Indratni, Faradia DKK. 2015. Peristiwa Talangsari di Way Jepara Lampung Timur Tahun 1989. dalam Jurnal FKIP Unila Vol 3, no 4 Universitas Lampung.
  2. Fadilasari. 2007. Talangsari 1989:Kesaksian Korban Pelanggaran HAM Peristiwa Lampung. Jakarta: Lembaga Studi Pers dan Pembangunan.
  3. Poeponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. 2008. Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta: Balai Pustaka
  4. Wasis, Widjiono. 2001. Geger Talangsari. Jakarta: Balai Pustaka
0 0 votes
Beri Kami Nilai
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments