Pertemuan Orang Prancis dengan Hindia Timur pada awalnya berkaitan erat dengan pencarian kepulauan rempah-rempah. Pada 15 Juni 1526, dua kapal di bawah pimpinan Verrazane meninggalkan Pelabuhan Honfleur yang terletak di Normandi, Prancis, dengan tujuan mencapai kepulauan rempah-rempah tersebut. Mereka berlayar dengan menempuh jalur Samudera Pasifik yang baru ditemukan pada 1519-1520 oleh Magellan. Setelah gagal mencapai Tanjung Magellan, Verrazane memutuskan untuk meneruskan perjalanan dan menyeberangi bagian selatan Samudera Atlantik barat, lalu memasuki Samudera Hindia, dengan mengikuti tiupan angin timur.
Perjalanan ini akhirnya gagal, karena para awak kapal yang sudah kelelahan dan tidak mendapatkan bayaran dalam perjalanan yang sia-sia itu memutuskan untuk memberontak. Mereka menuntut agar paling tidak satu di antara dua kapal itu tidak melanjutkan perjalanan lebih jauh lagi. Akibatnya, kapal kedua yang dipimpin oleh Pierre Caunay berangkat sendiri, memasuki Samudera Hindia dengan menyusuri garis Pantai Madagascar sampai jauh. Akhirnya pada musim panas 152, awak kapal itu melihat garis pantai Sumatera. Pelayaran tersebut dilakukan dua tahun sebelum pelayaran Parmentier bersaudara yang diakui sebagai orang Prancis pertama yang berhasil mencapai Hindia Timur (Barasin, 1964: 89).
Daftar Isi
TogglePertemuan Orang Prancis dengan Aceh
Ketika menginjakkan kakinya di Aceh, para pelaut Prancis itu disambut dingin. Sejumlah awak kapal termasuk kapten kapal terbunuh dalam pertempuran melawan orang-orang pribumi. Tewasnya orang penting yang dapat memimpin perjalanan kapal dengan baik merupakan pertanda buruk bagi perjalanan pulang mereka. Oleh karena itu, mereka memutuskan untuk tidak melanjutkan perjalanan hingga Kepulauan Maluku yang mahsyur dan kembali ke Prancis dengan mengambil jalan barat yang lebih singkat. Kapal berhasil melewati Kepulauan Maladewa.
Akhirnya orang-orang Prancis tersebut menjadi orang pertama yang sampai di pulau besar Madagaskar. Sayangnya, saat itu mereka memutuskan untuk meneruskan perjalanan. Pada akhir tahun 1527, kapal mereka terdampar di pasir pantai dan tidak mungkin lagi dipindahkan.
Pelaut yang Terdampar
Sebanyak dua belas pelaut yang terdampar membangun rakit darurat dari reruntuhan kapal dengan putus asa. Mereka terseret arus kearah pantai Mozambik. Pada 18 Juli 1528, para pelaut yang telah kehabisan tenaga itu tiba di sana dengan pakaian compang-camping, dan hanya memiliki persediaan makanan sisa yang kurang layak (Barasin, 1964: 93).
Orang-orang Prancis itu ditangkap oleh orang-orang Portugis. Setelah itu, tidak terdapat informasi lain mengenai jejak mereka. Namun demikian, Verrazane yang berhasil kembali ke Prancis menyewa kapal lain bernama La Marie du Bon Secours di bawah Kapten Jean Breuihly de Fumay dan dibantu oleh seorang mualim Portugis. Kapal tersebut dikirim ke tempat orang-orang terdampar untuk menemukan mereka yang selamat. Ia berhasil mencapai Tanjung Harapan, kemudian pulau Zanzibar. Kemudian kapal tertangkap oleh pihak berwenang Portugis pada saat mencapai pantai India. Awak dan harta yang diangkutnya hilang (Du Bois, 1763: 37).
Perjalanan Orang Prancis Masih Berlanjut
Belum jera dengan kegagalan perjalanan tersebut, pada tahun 1529 juragan kapal besar Jean Ango memutus untuk sekali lagi membiayai perjalanan berikutnya. Perjalanan Jean dan Raoul Parmentier juga dibiayai oleh Jean Ango yang tetap bersikeras ingin menjalin hubungan dagang langsung dengan kepulauan rempah-rempah Hindia-Timur. Dua bersaudara itu berangkat dari Dieppe dengan dua kapal, La Pensee yang berukuran dua ratus tonneau (1 tonneau = 2,83 metrik ton) dan La Sacre yang ukurannya lebih kecil, 120 tonneau. Bagaimanapun juga, kedua kapal tersebut lebih besar dari kapal yang disewa sebelumnya oleh Verrazane.
Pada 2 April 1529, kedua kapal meninggalkan Dieppe dan tiba di Madagaskar pada 26 Juli, mengangkut kelompok orang Prancis kedua yang tidak hanya berhasil mencapai pantai barat Sumatera pada 2 Oktober 1529, tapi juga pulang dalam keadaan selamat ke Prancis. Pelayaran itu dianggap perjalanan kilat pada masa itu, yaitu kurang dari 27 bulan, karena kapal hanya berhenti sebentar untuk alasan teknis di beberapa Pelabuhan, padahal biasanya singgah lebih lama agar para awaknya dapat beristirahat. Tentu saja para awak kapal itu menanggung akibatnya. Mereka terserang skorbut dan demam tifus.
Pertemuan dengan Pulau Tiku
Persinggahan di Pulau Tiku Orang-orang Prancis mengunjungi pulau Pini yang kemudian berganti nama menjadi “Pulau Parmentier”, sedangkan pulau-pulau di Kepulauan Batu satu demi satu diberi nama “Pulau Louise” dan “Pulau Margueritte” untuk menghormati Louise de Savoise dan Margueritte d’Angouleme, ibu serta adik perempuan Raja Francois I. Parmentier bersaudara singgah pula di pulau Tiku yang terletak di sebelah utara kota Padang sekarang, sebelum kemudian mengangkut merica yang dipandang sangat berharga. Kontak pertama dengan orang-orang pribumi kelihatannya memberi harapan, diawali dengan tradisi bertukar hadiah. Dalam hal ini, seorang anak kapal sangat membantu karena ia mengenal sedikit bahasa Melayu. Orang-orang Prancis bahkan diundang makan malam. Pada saat itulah mereka mengenal kebiasaan aneh makan sirih dan juga menghisap ganja (Favier, 1987: 67).
Keadaan di Pulau Tiku
Keadaan tidaklah begitu mengembirakan saat kesadaran mereka pulih. Perundingan dengan raja setempat yang bernama Meligica-Saga dan syah bandarnya agaknya tidak membuahkan hasil. Tiku memang tidak tampak sebagai pusat perniagaan penting dan lebih cocok disebut desa nelayan miskin dengan gubuk-gubuk buruk dari bambu yang dilapisi daun kering dan beratapkan daun kelapa. Rumah-rumah tersebut kosong melompong dan hanya diisi dengan beberapa peti kayu serta mangkuk-mangkuk besi yang kasar. Beberapa rumah diperlengkapi dengan cerobong asap sederhana dari batu. Menurut salah seorang pendatang Prancis, penduduk daerah tersebut berkulit hitam. Tubuh mereka cukup tinggi dan ramping, namun dengan air muka yang mencemaskan. Logat berbicara mereka sangat keras dan suaranya tidak enak didengar. Mereka semua bertelanjang kaki, mengenakan kemeja dan kain dari katun yang amat sederhana berwarna merah, coklat, atau biru tua. Selain mengenakan pakaian yang umum begitu, kepala desa menyampirkan sarung di bahunya, memakai gelang emas yang berat, dan membawa kris bertatahkan emas. Mereka mengenakan ikat kepala atau topi Jerami sederhana. Meskipun orang-orang Prancis tersebut tidak dapat dikatakan bersih, mereka berpendapat bahwa penduduk Tiku tampak kotor dan menjijikan. Pakaian mereka kelihatannya tidak pernah dicuci, kecuali baju kepala desa. selain bersenjatakan kris, beberapa penduduk memiliki busur dan panah serta tombak juga sumpit yang digunakan untuk meniupkan panah-panah kecil beracun. Persenjataan mereka dilengkapi dengan tameng tebal dari kulit gajah atau kulit banteng, diperkuat atau dihiasi dengan kulit ular dan ikan (Morineau, 1944: 20).
Perjalanan Orang Prancis Meninggalkan Pulau Tiku
Akhirnya orang-orang Prancis memutuskan untuk meninggalkan tiku dan melanjutkan perjalanan lebih jauh ke selatan, menuju Indrapura. Tapi secara berturut-turut Parmentier bersaudara meninggal karena sakit tifus. Jean meninggal pada 3 Desember 1529 sedangkan Raoul menyusul lima hari kemudian. Kematian mereka disusul dengan kematian setengah jumlah awak kapal. Para pelaut yang dapat bertahan mengangkut sedikit dagangan yang terdiri dari paling banter 30 baril merica dan berhasil kembali ke Dieppe pada bulan Juli 1530, setelah sebelumnya singgah di pulau Sainte-Helene. Pelayaran yang sia-sia tersebut sekali lagi benar-benar membawa kerugian besar bagi pemilik armada Jean Ango (Morineau, 1944: 25).
Daftar Sumber
- Buku
- Barasin, Jean. 1964. “Compagnies de navigation et expeditions Francaises dans I’ocean indien au XVe siècle”. Dalam Ocean indien et Mediterranee.
- Du Bois, J. P. I. 1763. Vies des governeurs generaux avec I’abrege de I’histoire des Etablissements hollandois Indes Orientales. La Haye.
- Favier, Jean. 1987. De I’or et des epices. Naissance de I’homme d’affaire au Moyen-age. Paris:Fayard.
- Howe, Sonia E. 1994. Sur la route des epices, Bibliotheque oceane. Rennes: Terre de Brume.
- Morineau, Michel. 1994. Que sais-je?-Les grandes compagnies des Indes orientales. Paris: Presse Universitaire de France.
[…] Baca Juga […]