Gerakan 30 September merupakan salah satu peristiwa berdarah yang pernah terjadi di Indonesia. Tentu bukan berita baru bahwa peristiwa setelah terjadinya pembunuhan terhadap 9 petinggi ABRI ditambah satu ajudannya, menelan banyak korban warga sipil yang berada di kota maupun desa-desa. Mereka menjadi target ‘pembersihan’ oleh kaum anti komunis yang ‘didukung’ oleh pihak ABRI saat itu. Informasi maupun pemberitaan mengenai hal tersebut, sangatlah sulit untuk diperoleh.
Apalagi jalur komunikasi seperti telepon, radio, maupun telegram sangat diawasi, bahkan terputus oleh pihak-pihak tertentu yang tidak menginginkan berita atau informasi tersebut tersebar keluar dari Indonesia. Negara-negara lain pun ikut menyoroti peristiwa yang menimpa masyarakat Indonesia ini, salah satunya negara Jepang. Maka, marilah melihat bagaimana negara lain dalam konteks ini, yaitu Jepang bersikap atas terjadinya peristiwa Gerakan 30 September 1965.
Dalang di Balik Peristiwa Gerakan 30 September (G30S)
Sebelum melihat bagaimana sikap pemerintah Jepang atas peristwa G30S 1965, akan terasa kurang lengkap jika memahami peristiwa tersebut tanpa melihat dari sudut pandang pemerintah Indonesia sendiri yang lebih dikenal dengan sebutan Orde Baru.
Sumber sejarah dari peristiwa G30S 1965 berasal dari dua sumber yaitu Soeharto yang merupakan pelaku sejarah sekaligus mengikuti pembasmian G30S 1965, serta ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) yang merupakan intitusi keamanan yang juga terlibat langsung dalam kegiatan tersebut. Perlu digaris bawahi, bahwa mereka berdua sepakat PKI merupakan dalang dari gerakan 30 September 1965. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia melabeli gerakan tersebut dengan nama G30S/PKI 1965.
Perbedaan dari kedua versi tersebut hanyalah orang yang memimpin gerakan tersebut. Dari sudut pandang Soeharto, Letkol Untung yang bertanggung jawab dalam memberi komando kepada pasukannya yang telah bekerja sama dengan onderbouw PKI (Partai Komunis Indonesia), untuk menculik dan menghabisi 10 orang yang dipercayai sebagai Dewan Jenderal di tubuh ABRI. Sedangkan menurut pihak ABRI, ketua PKI saat itu dipegang oleh D.N. Aidit, pemimpin dari gerakan 30 September 1965 tersebut dengan dibantu beberapa orang lainnya seperti Iskandar Subekti, Pono, Kusno, dan Mayor Udara Surjono.
Tanggapan Kedutaan Besar Jepang untuk Indonesia
Kedutaan besar Jepang yang berlokasi di sekitaran Bundaran HI Jakarta mengalami kebingungan dalam menerima informasi yang didapatkan. Hal tersebut beralasan karena Duta Besar Jepang untuk Indonesia saat itu, Saito Shizou sedang tidak berada di tempat, ia sedang menghadiri peresmian pabrik tekstil asal Jepang di Cilacap, Jawa Tengah.
Absennya Duta Besar Jepang beserta pengamat ahli mereka yang sedang kembali ke negaranya, membuat staf kedutaan bergerak cepat dengan mengirim telegram ke Tokyo yang secara garis besar mengabarkan alasan terjadinya peristiwa tersebut akibat dari konspirasi jenderal-jenderal dalam tubuh ABRI, dengan tujuan mengkudeta Presiden Soekarno. Namun, pada malam hari tanggal 1 Oktober, kedutaan mengirim kembali pesan telegram yang isinya bertolak belakang dari pesan sebelumnya, bahwa isu Dewan Jenderal hanya sebuah tipuan, dan PKI merupakan dalang diballik semua peristiwa yang terjadi. Informasi tersebut didapatkan dari siaran RRI (Radio Republik Indonesia) beserta kabar dari Kedutaan Amerika Serikat dan para informan yang dimiliki Kedubes Jepang.
Kesulitan Mendapatkan Informasi
Sulitnya menghubungi kedutaan besar Jepang untuk mendapatkan informasi mengenai situasi di Jakarta diakibatkan oleh radio yang Saito bawa tidak dapat menangkap sinyal. Ia baru mendapatkan informasi tersebut ketika berada di hotel Homan Bandung pada malam hari tanggal 1 Oktober. Mendengar kabar tersebut, Saito segera bertolak ke Jakarta hari itu juga dan tiba di keesokan harinya. Setibanya disana, Saito langsung menghubungi Dewi, istri dari Presiden Soekarno untuk bertemu dengan tujuan mendapatkan informasi mengenai peristiwa yang terjadi.
Secara berturut-turut Duta Besar Inggris Gilchrist dan Duta Besar Amerika Serikat Green, mengunjungi Saito dengan tujuan saling bertukar informasi. Harapan besar dari Dubes Inggris beserta Amerika Serikat bahwa Saito mempunyai info lebih dalam atas peristiwa tersebut. Namun, dia pun sama halnya dengan mereka, tidak mempunyai informasi mendalam. Dari sana, Saito mulai secara intensif melakukan komunikasi antar duta besar negara-negara Barat.
Selain bertukar informasi dengan kedutaan lain, Kedubes Jepang memiliki dua sumber informasi yang kredibel dan sangat dipercaya oleh mereka. Kedua sumber tersebut berasal dari Mohammad Hatta, Wakil Presiden dan Alifin Bey, bekas mahasiswa Indonesia yang dikirim ke Jepang dengan beasiswa Nanpo Tokubetsu Ryugakusei pada masa perang.
Melihat situasi dan kondisi politik yang terjadi pada pertengahan bulan November 1965. Duta Besar Jepang Saito perlahan-lahan meninggalkan Soekarno, akibat sikap sang Presiden tidak relevan lagi dan kemungkinan kecil dapat mengembalikan posisinya kembali seperti sebelum peristiwa tersebut berlangsung.
Walaupun sudah ada ancang-ancang untuk berpaling, tidak serta merta pemerintah Jepang langsung berpihak kepada oposisi. Para diplomat beserta staf kedutaan pun lebih cenderung untuk melihat apa yang terjadi sebelum memutuskan untuk berpihak kepada siapa yang akan memegang kendali pemerintahan.
Alur Pemberitaan serta Reaksi Masyarakat Mengenai Peristiwa Gerakan 30 September di Jepang
Rata-rata warga negara Jepang yang tinggal di Indonesia merupakan pekerja yang berhubungan dengan urusan dana perampasan perang, sehingga tidak terlalu paham akan situasi yang sedang terjadi di Indonesia. Banyak dari mereka yang mengungsi di Hotel Indonesia untuk mendapatkan perlindungan.
Tentu, sebagian kecil dari mereka ada yang tertarik untuk menelusuri bagaimana peristiwa terjadi, seperti para mahasiswa, peneliti, maupun jurnalis. Beberapa jurnalis yang memiliki koneksi dengan Adam Malik dan Chairul Saleh, mendatangi rumah keduanya untuk menanyakan situasi mengenai peristwa G30S 1965.
Adapula yang melakukan perjalanan ke beberapa kota di Jawa Barat dan Jawa Tengah dengan tujuan untuk memutar film-film Jepang bersama tim kedutaan dan seorang pejabat dari Departemen Penerangan Republik Indonesia.
Setelah mendapatkan informasi yang dicari, kesulitan yang mereka hadapi ialah bagaimana informasi tersebut dapat dikirimkan ke Jepang. Kebanyakan media Jepang pada saat itu baru mengutip berita-berita dari Malaysia dan Singapura yang mendapat informasi hanya dari siaran RRI.
Sensor Berita
Sensor pun dilakukan oleh pemerintah Indonesia demi mengatur pemberitaan yang dikirim ke luar negeri, dengan mengeluarkan aturan, hanya diperbolehkan mengirim melalui telegram dalam bahasa Inggris atau bahasa Indonesia.
Metode yang sering digunakan oleh para jurnalis ialah menitipkan artikel-artikel mereka kepada penumpang yang berangkat ke Jepang, bahkan salah satu media Jepang yaitu Manichi Shinbun membuka kantor cabang di Singapura khusus untuk menerima artikel-artikel yang datang dari Indonesia, lalu meneruskannya ke negeri Sakura.
Walaupun dilakukan dengan berbagai cara dan usaha demi memberitakan peristiwa tersebut, masyarakat Jepang pada umumnya tidak menaruh perhatian khusus mengenai keadaan yang terjadi di Indonesia saat itu. Bisa dikatakan ironi pada waktu yang bersamaan, masyarakat Jepang lebih menaruh perhatian pada kasus pemboman Amerika di Vietnam kala itu, bahkan demonstrasi mengecam kejadian tersebut sering digelar.
Sumber
- BUKU
- Kurasawa, Aiko. 2015. Peristiwa 1965 Persepsi dan Sikap Jepang. Jakarta: Kompas.
- JURNAL
- Permata, Harsa. 2015. Gerakan 30 September 1965 Dalam Perspektif Filsafat Sejarah Marxisme. Universitas Gadjah
Mada: Jurnal Filsafat, Vol. 25, No. 2, Hlm. 223-251.