Resensi Novel Anak Bajang Mengayun Bulan

Resensi Novel anak bajang mengayun bulan

“Lihatlah itu burung kepodang,

sayapnya mengepakkan kematian,

menerbangkan anak bajang ke Mega Malang,

di sana ia menemukan cinta tak berkesudahan,

cinta yang dapat mengayun bulan,

dan mengembalikannya ke jalan pulang,

ke dalam kebahagiaan sembilan bulan,

ia berada dalam kandungan,

saat ia tak sedikit pun berpengetahuan,

tentang kejahatan dan kebaikan,

hingga ia pun tak perlu paham

tentang perpisahan yang menyakitkan.”

-Sindhunata, 2021-

Sindhunata kembali memukau pembaca dengan novelnya yang berjudul Anak Bajang Mengayun Bulan. Novel ini merupakan kelanjutan dari “Anak Bajang Menggiring Angin” yang telah lebih dulu populer. Namun, jika novel sebelumnya lebih fokus pada petualangan, maka dalam novel ini Sindhunata mengajak kita menyelami kedalaman jiwa para tokohnya.

Sinopsis Novel Anak Bajang Mengayun Bulan

Novel ini merupakan sekuel dari kisah Anak Bajang yang sudah populer sebelumnya. Kali ini, kita diajak kembali menemui Sukrosono dan Sumantri, dua bersaudara yang nasibnya begitu kontras. Sukrosono, sang kakak, memiliki rupa yang buruk rupa, sementara Sumantri, adiknya, sangat tampan. Namun, kecantikan fisik tak selalu menjamin kebahagiaan.

Kisah ini mengupas lebih dalam tentang kompleksitas hubungan saudara, perebutan kekuasaan, dan pencarian jati diri. Sukrosono, yang selama ini dianggap remeh karena fisiknya, justru memiliki jiwa yang bijaksana dan peka. Ia menjadi narator yang mengamati segala peristiwa dengan tenang, memberikan sudut pandang yang unik pada pembaca.

Dalam perjalanannya, Sukrosono dan Sumantri dihadapkan pada berbagai cobaan. Cinta, kecemburuan, dan ambisi saling bersaing dalam hati mereka. Kisah ini juga menyoroti tentang takdir dan kehendak bebas. Apakah nasib seseorang sudah ditentukan sejak lahir, atau manusia memiliki kekuatan untuk mengubahnya?

Dalam perjalanan panjangnya, Sukrosono tidak hanya berhadapan dengan konflik internal, tetapi juga dengan dunia luar yang penuh intrik. Ia harus berjuang mempertahankan kebenaran dan keadilan di tengah-tengah masyarakat yang penuh kepalsuan. Melalui pengalaman pahit dan manis, Sukrosono semakin memahami makna kehidupan dan cinta.

Melalui gaya bahasa yang mendayu-dayu dan mendalam, Sindhunata mengajak pembaca untuk merenungkan berbagai persoalan hidup. Novel ini bukan hanya sekadar kisah petualangan, tetapi juga sebuah refleksi tentang manusia dan segala kompleksitasnya.

Hal-hal unik dalam Novel

  • Dualitas Manusia: Novel ini secara mendalam mengeksplorasi dualitas dalam diri manusia. Sukrosono yang dianggap buruk rupa ternyata memiliki jiwa yang kaya dan peka, sementara Sumantri yang tampan justru kerap terjebak dalam ego dan ambisi.
  • Cinta dan Nafsu: Sindhunata dengan mahir mengurai perbedaan antara cinta yang tulus dan nafsu yang membutakan. Melalui kisah cinta para tokoh, kita diajak merenungkan makna cinta yang sejati.
  • Kekuasaan dan Kebebasan: Pertanyaan tentang bagaimana kekuasaan memengaruhi seseorang dan sejauh mana manusia bisa meraih kebebasan menjadi tema sentral dalam novel ini.
  • Nasib dan Kehendak Bebas: Sindhunata mengajak pembaca untuk merenungkan apakah nasib sudah ditentukan atau manusia memiliki kebebasan untuk mengubahnya.

Kelebihan Novel

1. Bahasa yang Puitis: Bahasa yang digunakan Sindhunata sangat kaya akan metafora dan simbolisme, membuat pembaca seolah diajak dalam sebuah perjalanan spiritual.

2. Karakter yang Kompleks: Para tokoh dalam novel ini tidak sekadar hitam atau putih, tetapi memiliki berbagai lapisan kompleksitas yang membuat mereka terasa sangat manusiawi.

3. Tema Universal: Meskipun berlatar belakang budaya Jawa, tema-tema yang diangkat dalam novel ini sangat universal dan relevan dengan kehidupan manusia di mana pun.

4. Sudut Pandang yang Unik: Dengan menjadikan Sukrosono sebagai narator, Sindhunata menghadirkan perspektif yang segar dan tidak terduga.

Kekurangan

1. Alur Cerita yang Lambat: Bagi pembaca yang menyukai alur cerita yang cepat dan penuh aksi, mungkin akan merasa beberapa bagian novel ini terasa terlalu lambat.

2. Intensitas Emosi yang Tinggi: Beberapa bagian novel ini menghadirkan emosi yang sangat kuat, sehingga mungkin membuat beberapa pembaca merasa terbebani.

Kesimpulan

“Anak Bajang Mengayun Bulan” adalah sebuah novel yang kaya akan makna dan layak untuk dibaca berulang kali. Novel ini mengajak kita untuk merenungkan berbagai aspek kehidupan manusia dengan cara yang mendalam dan penuh keindahan. Bagi para pecinta sastra Indonesia, novel ini adalah sebuah karya yang wajib dimiliki.

Rekomendasi untuk:

  • Pecinta sastra Indonesia
  • Mereka yang tertarik dengan filsafat dan pemikiran mendalam
  • Mereka yang ingin memahami lebih dalam tentang mitologi Jawa

Kutipan-kutipan pilihan

“Bulan menggantung di langit, bulat sempurna, memancarkan cahaya keperakan yang lembut. Ia bagai mata raksasa yang mengawasi segala yang terjadi di bumi, menyaksikan suka duka manusia”.

“Hutan itu bagaikan rahim bumi, tempat segala kehidupan bermula. Di sana, aku merasakan kedamaian yang tak pernah kurasakan sebelumnya”.

“Apa arti hidup jika tak ada cinta? Apakah kekuasaan bisa menggantikan cinta?”.

“Apakah nasib sudah ditentukan atau kita bisa mengubahnya sendiri.

Sumantri adalah saudaraku, namun ia juga musuhku. Cinta dan benci bercampur aduk dalam hatiku.”

“Di matanya, aku melihat kecemburuan yang mendalam. Aku tahu, ia iri padaku

Semua manusia memiliki sisi gelap dan terang. Tidak ada yang sempurna.”.

“Cinta sejati tidak mengenal pamrih. Cinta sejati adalah pengorbanan

0 0 votes
Beri Kami Nilai
Subscribe
Notify of
guest

1 Comment
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
trackback
26 days ago

[…] Baca Juga: Resensi Novel Anak Bajang Mengayun Bulan […]