Daftar Isi
TogglePendirian Organisasi Muhammadiyah
Pendirian Organisasi Muhammadiyah dicetuskan oleh Muhammad Darwisy atau lebih dikenal sebagai K. H. Ahmad Dahlan, di Kauman, Yogyakarta pada tanggal 08 Dzulhijjah/18 November 1912 sebagai tanggapan terhadap berbagai saran dari sahabat dan murid-muridnya untuk mendirikan sebuah lembaga yang bersifat permanen (Noer, 1996: 85).
Faktor pendorong kelahiran Muhammadiyah, bermula dari beberapa kegelisahan dan keprihatinan sosial religius dan moral. Kegelisahan sosial ini terjadi disebabkan oleh suasana kebodohan, kemiskinan, dan keterbelakangan umat. Kegelisahan religious, muncul karena melihat praktik keagamaan yang mencampuri praktik ajaran Islam dengan praktik agama budaya. Sedangkan, kegelisahan moral disebabkan oleh kaburnya batas antara baik dan buruk, serta pantas dan tidak pantas (Lubis, 1989: 13).
Tujuan Didirikannya Muhammadiyah
Sebagai sebuah organisasi berasaskan Islam, tujuan Muhammadiyah yang paling penting adalah untuk menyebarkan ajaran Islam, baik melalui pendidikan maupun kegiatan sosial lainnya. Selain itu, meluruskan keyakinan yang menyimpang serta menghapuskan perbuatan yang dianggap sudah melenceng dari apa yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Organisasi ini juga, memunculkan praktik-praktik ibadah yang hampir belum pernah dikenal sebelumnya oleh masyarakat, contohnya seperti shalat hari raya di lapangan, mengkoordinir pembagian zakat, dan sebagainya (Shihab, 1998: 105).
Untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi ini, Muhammadiyah bermaksud untuk mendirikan lembaga-lembaga pendidikan, mengadakan rapat dan tabligh di mana dibicarakan masalah-masalah Islam, mendirikan lembaga wakaf dan masjid-masjid serta menerbitkan buku, brosur, surat kabar, dan majalah. Setelah Muhammadiyah berdiri, pada tanggal 20 Desember 1912, K. H. Ahmad Dahlan mengajukan permohonan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk mendapatkan badan hukum (rechtspersoon) bagi Muhammadiyah, namum permohonan itu baru dikabulkan pada tahun 1914 dengan Surat Ketetapan Pemerintah No. 18 Tanggal 22 Agustus 1914. Izin ini, hanya berlaku untuk daerah Yogyakarta, dan organisasi ini hanya bergerak di daerah Yogyakarta saja. Untuk menyiasati pembatasan tersebut, K. H. Ahmad Dahlan menganjurkan agar cabang Muhammadiyah di luar Yogyakarta berdiri dengan menggunakan nama lain, seperti Nurul Islam di Pekalongan, Al-Munir di Makassar, dan perkumpulan SATF (Shiddiq, Amanah, Tabligh, Fathonah) di Surakarta.
Perkembangan Organisasi Muhammadiyah
Daerah operasi organisasi Muhammadiyah, mulai berkembang pada tahun 1917 setelah Budi Utomo mengadakan kongres di Yogyakarta. K. H. Ahmad Dahlan sebagai tuan rumah mampu mempesona peserta kongres melalui pidatonya, dalam kongres itu banyak permintaan untuk mendirikan cabang Muhammadiyah di Jawa, pengurus Muhammadiyah menyikapinya dengan menerima permintaan dari beberapa daerah untuk mendirikan cabang-cabangnya. Untuk mencapai maksud ini, anggaran dasar dari organisasi Muhammadiyah yang hanya membatasi diri pada kegiatan-kegiatan di Yogyakarta saja haruslah diubah dahulu. Ini dilakukan pada tahun 1920 ketika wilayah operasi Muhammadiyah sudah meliputi seluruh pulau Jawa dan pada tahun berikutnya, Muhammadiyah mulai berkembang ke seluruh wilayah Indonesia (Febriansyah, 2013: 3).
Sejak saat itu, Muhammadiyah mulai menampakkan pengaruh yang cukup kuat di Indonesia. Sebagai sebuah organisasi kemasyarakatan, Muhammadiyah tidak hanya menangani masalah pendidikan saja, tetapi melayani berbagai usaha pelayanan masyarakat seperti kesehatan, pemberian hukum (fatwa), panti asuhan, penyuluhan dan lain-lain. Ini terbukti dengan berdirinya berbagai sekolah, rumah sakit, masjid, rumah yatim, rumah jompo, dan lainnya yang diprakarsai oleh Muhammadiyah. Selain itu, di dalam keorganisasian Muhammadiyah sendiri, banyak pula didirikan majelis, lembaga, serta organisasi otonom yang menangani masalah-masalah keagamaan dan sosial kemasyarakatan (Noer, 1996: 86).
Kongres Organisasi Muhammadiyah
Untuk menekuni masalah-masalah agama Islam secara khusus, Muhammadiyah membentuk suatu badan yang bernama majelis Tarjih dan Tajdid yang dibentuk dalam kongres Muhammadiyah ke-16 di Pekalongan pada tahun 1927. Hal ini disebabkan karena Muhammadiyah sendiri tidaklah menganut suatu mazhab tertentu, khususnya empat mazhab yang terkenal di kalangan umat Islam (Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hambali). Selanjutnya perkembangan masyarakat menyebabkan jumlah persoalan yang dihadapi semakin banyak dan kompleks, sehingga jawaban terhadap persoalan-persoalan itu tidak selalu ditemukan dalam khazanah pemikiran Islam klasik, maka konsep tarjih Muhammadiyah mengalami perluasan kepada usaha-usaha mencari ketentuan hukum bagi masalah baru yang belum pernah diriwayatkan sebelumnya oleh ulama. Usaha tersebut lebih dikenal sebagai Ijtihad.
Ijtihad menurut Muhammadiyah dinyatakan bukanlah sebagai sumber hukum melainkan sebagai metode penetapan hukum, karena pada prinsipnya sumber hukum Islam hanyalah Al-Quran dan Hadis saja. Ijtihad yang dilakukan oleh Muhammadiyah bukanlah berupa ijtihad perorangan, akan tetapi merupakan ijtihad jama’i, yang berarti membicarakan suatu masalah hukum dengan sistem musyawarah oleh sekelompok ahli dengan mencari dalil-dalil yang dipandang kuat untuk dijadikan dasar dalam memutuskan suatu permasalahan. Muhammadiyah menyatakan bahwa ijtihad dapat dilakukan kepada masalah-masalah seperti masalah yang terdapat dalam dalil-dalil zhanni, dan masalah yang secara eksplisit tidak terdapat dalam Al-Quran dan as-Sunnah (Khalimi, 2010: 314).
Daftar Sumber
- Buku
- Alwi Shihab. 1998. Membendung Arus: Respons Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia. Bandung: Mizan.
- Arbiya Lubis. 1989. Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh. Jakarta: Bulan Bintang.
- Delian Noer. 1996. Gerakan Modern Islam di Indonesia. Jakarta: PT Pustaka LP3ES.
- Khalimi. 2010. Ormas-ormas Islam: Sejarah, Akar Teologi dan Politik. Jakarta: Gaung Persada Press.
- M. Raihan Febriansyah. 2013. Muhammadiyah 100 Tahun Menyinari negeri. Yogyakarta: Majelis Pustaka dan Informasi Pimpinan Pusat Muhammadiyah.