Sejarah dan Makna Bubur Suro dalam Ulang Tahun Islam

sejarah bubur suro dalam perayaan ulang tahun islam

Hallo Kawantur, kali ini Mintur mau bahas mengenai “sejarah bubur suro”, ada yang mau tahu? yuk baca artikel Bertutur.com ini sampai selesai. 

Bubur Suro dalam Warisan Budaya

Kesadaran berbudaya bagi pewarisnya dalam merawat, melindungi, dan mendalami makna peninggalan leluhurnya merupakan bagian dari kesadaran berbangsa. Kesadaran ini perlu diimbangi dengan memahami makna budaya agar mampu mewarisi pesan budaya untuk kehidupan masa kini dan mendatang.

Ragam budaya yang eksis di tengah masyarakat salah satunya adalah dilaksanakannya tradisi bubur Suro. Bubur Suro merupakan hidangan khas di Indonesia dalam rangka merayakan dan menyambut Tahun Baru Islam. Tradisi ini biasa dilaksanakan oleh masyarakat Jawa yang sudah ada secara turun-temurun. Saat ini, bubur Suro masih dapat dijumpai di beberapa daerah, seperti di sebagian Jawa Timur, Jawa Tengah, Yogyakarta, hingga Solo.

Bubur Suro dalam Perayaan Ulang tahun Islam

Tradisi memberikan bubur Suro kepada masyarakat setempat bertujuan untuk merayakan Tahun Baru Islam yang bertepatan pada 1 Muharram, sekaligus 1 Suro. Awalnya, bubur Suro dihadirkan untuk memperingati hari pertama dalam kalender Jawa yang jatuh pada bulan Suro yang biasanya bertepatan pada 1 Muharram dalam kalender Hijriah umat Islam. Mengingat kalender Jawa yang diterbitkan Sultan Agung saat itu mengacu pada kalender Hijriah. Terdapat dua sistem penanggalan yang digunakan oleh Keraton Yogyakarta, kalender Masehi dan kalender Jawa. Kalender Jawa juga disebut sebagai Kalender Sultan Agungan karena diciptakan pada pemerintahan Sultan Agung (1613-1645). 

Sultan Agung adalah raja ketiga dari kerajaan Mataram Islam. Pada masa itu, masyarakat Jawa menggunakan kalender Saka yang berasal dari India. Kalender Saka didasarkan pergerakan matahari, berbeda dengan Kalender Hijriah atau Kalender Islam yang didasarkan pada pergerakan bulan. Sultan Agung menghendaki agar perayaan-perayaan tersebut dapat bersamaan waktu. Untuk itulah diciptakan sebuah sistem penanggalan baru yang merupakan perpaduan antara kalender Saka dan kalender Hijriyah. Sistem penanggalan inilah yang kemudian dikenal sebagai kalender Jawa atau kalender Sultan Agungan.

Kalender ini meneruskan tahun Saka, namun melepaskan sistem perhitungan yang lama dan menggantikannya dengan perhitungan berdasar pergerakan bulan. Karena pergantian tersebut tidak mengubah dan memutus perhitungan dari tatanan lama, maka pergeseran peradaban ini tidak mengakibatkan kekacauan, baik bagi masyarakat maupun bagi catatan sejarah. Setelah penyelarasan kalender tersebut maka muncullah tradisi bubur Suro. Tradisi ini sudah ada sejak masa kepemimpinan Sultan Agung yang bertahta. Seperti sajian yang dihidangkan saat upacara adat Jawa lainnya, bubur Suro merupakan wujud mengekspresikan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas berkah dan rezeki yang diperoleh. Bubur Suro bukanlah sesajen yang bersifat animistik. Bubur Suro hanya dianggap sebagai syarat dengan lambang, dan karenanya harus dibaca, dilihat, dan ditafsirkan sebagai alat untuk memaknai 1 Suro atau tahun baru yang akan datang.

Bubur Suro dalam Masyarakat Kudus

Bubur Suro merupakan masakan khas yang tersaji juga pada acara tahunan buka luwur Makam Sunan Kudus. Setelah dimasak dan siap saji, oleh panitia dibagikan pada warga Kauman Menara Kudus dan wilayah sekitarnya, seperti sebagian warga Desa Langgar Dalem, Kerjasan, dan Kajeksan. Bubur Suro dibuat tanggal 9 Sura oleh lelaki dan perempuan. Proses memasak selama tiga jam, bahan bakunya terdiri sembilan hal yakni beras, jagung, kacang hijau, kacang kedelai, kacang tolo, ketela pohon, kacang tanah, pisang, dan ubi jalar.

Lazimnya, warga Kudus (di luar acara Buka Luwur Sunan Kudus) membuat bubur bahan bakunya terdiri lima hal yakni beras, santan, garam, jahe, dan sereh. Setelah termasuk, ragam menu bubur meliputi bubur berwarna putih, irisan sepotong tahu dan tempe, irisan telur dadar, irisan cabe, udang, pepes, ikan teri yang ditaruh dalam piring dilapisi daun pisang. Lazimnya, warga Kudus bila membuat bubur suro yang digunakan selain Haul Sunan Kudus, bubur yang usai dimasak diberi penghias di atasnya agar layak dipandang dan menambah aroma ditaburi serpihan jeruk bali, irisan ketimun, daun kemangi, dan bulir buah delima. Lapisan berupa daun pisang berfungsi menambah sedapnya rasa bubur dan agar piring yang digunakan mengantar bubur pada warga tidak dicuci bila digunakan mengantar bubur lagi.

Daftar Sumber

A. Suryaman Mustari, 2009. Hukum Adat Dulu, Kini dan akan Datang. Makassar: Pelita Pustaka.

Amin M. Darori. 2002. Interelasi Nilai Jawa dan Islam dalam Aspek Kepercayaan dan Ritual. Yogyakarta: Gama Media.

Muhammin.2002. Islam Dalam Bingkai Budaya Lokal. Jakarta: Logos.

Susetya Wawan. 2007. Renungan Sufistik Islam Jawa ( Kontemplasi Jawa Atas Islam; Simbolisme, Perumpamaan, dan Filosofinya. Yogyakarta : Penerbit Narasi.

Yunahar Ilyas.2014. Kuliah Aqidah Islam. Yogyakarta. LPPI Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam.

0 0 votes
Beri Kami Nilai
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments