Danau
Purba Bandung, jauh sebelum Bandung menjadi ibu kota  Jawa Barat, bahkan sebelum bandung menjadi
lautan api, tempat ini awalnya merupakan sebuah genangan air membentuk danau
yang membentang luas

Ketika Bandung Masih Berupa Danau Purba

Sungguh memukau dan menarik hati, bila kita menelusuri kembali sejarah geologis dari dataran tinggi Bandung. Bandung tidak cuma sempat menjadi “lautan api” seperti pada tahun 1946, tetapi jutaan tahun yang lalu dataran tinggi ini pernah diisi oleh lautan air dan menjadi danau purba. Peristiwa itu terjadi pada Jaman Miosen, yaitu 15 sampai 20 juta tahun yang lalu (Brahmantyo, 2001: 50).

Bukan hanya dataran tinggi Bandung yang berada di bawah permukaan laut, bahkan daratan Pulau Jawa pada jaman itu masih dibenami lautan. Sebagai bukti bahwa wilayah Bandung pernah berada di bawah permukaan laut, salah satunya ditunjukan oleh temuan fosil pada perbukitan batu kapur sebelah barat Padalarang, berupa terumbu binatang koral. Juga dalam lapisan batuan di sekitar Bendungan Jatiluhur (Purwakarta) terdapat fosil bintang laut yang umumnya lebih muda dari pada yang dekat Padalarang. Pada jaman Miosen, daratan yang berada di permukaan air sebelah selatan Bandung, dekat dengan Pangalengan, beberapa gunung api muncul di permukaan menyerupai kepulauan. Baru pada jaman Pliosen mulai terjadi gerakan revolusi dalam kerak bumi.

Bandung Pada Masa Plestosen

Saat wilayah Bandung sampai Subang mulai terangkat muncul di atas permukaan laut, gerakan itu diikuti kegiatan gunung api di sebelah selatan Bandung. Beberapa gundukan sisanya masih terdapat di selatan Cimahi, berwujud perbukitan yang bentuknya menyerupai piramida (Brahmantyo, 2001: 52).

Secara bertahap, pantai Laut Jawa yang semula terletak di dekat Pangalengan (selatan Bandung) bergeser ke utara, tak jauh dari Kota Bandung. Pergeseran tersebut diakibatkan oleh pembentukan gunung (“orogenese”) dan proses pelipatan lapisan bumi. Sedimen yang terlipat kemudian muncul di atas laut.  Pada permulaan jaman Plestosen (1 juta tahun yang lalu), beberapa kegiatan volkanik di daerah utara Bandung sempat membentuk gunung api. Ukuran dasarnya selebar 20 km dengan ketinggian kurang lebih 3.000 m. Gunung itu dikenal dengan nama Gunung Sunda, sebuah gunung raksasa dengan sebuah kaldera di puncaknya. Sedangkan Gunung Burangrang hanya merupakan parasit Gunung Sunda.

Masih pada jaman Plestosen, Gunung Sunda runtuh dan membentuk kaldera (suatu gejala seperti di dataran tinggi Ijen atau Tengger). Sisa dari runtuhan Gunung Sunda masih terlihat sampai sekarang sebagai deretan bukit yang melingkar sebelah utara Situ (danau) Lembang. Sisa lain dari badan gunung api itu yaitu Bukit Tunggul, Bukit Palasari dan Bukit Cagak di sebelah timur Lembang. Selain itu terjadi pula retakan, salah satu retakan yang besar terletak membujur dari Maribaya sampai Cisarua (dari Barat sampai Timur) dan dikenal dalam istilah geologi sebagai Patahan Lembang (Bahtiar, 2002: 15).

Bandung Pada Masa Holosen

Meningkat pada permulaan jaman Holosen (11.000 tahun yang lalu sampai sekarang). Gunung Parahu yang kini lebih dikenal sebagai Gunung Tangkuban parahu, lahir sebagai anak Kaldera Sunda, dan gunung api itu menutupi bagian timur, sisa dari gunung api yang lama. Tercatat tiga kali erupsi besar yang menghasilkan lava dan abu vulkanik yang melanda daerah sebelah utara Bandung. Pada erupsi besar yang kedua, terjadi kurang lebih 6000 tahun yang lalu, kegiatan volkaniknya berlangsung dengan dahsyat. Daerah yang dilanda material akibat erupsinya itu tersebar di sebelah barat Ciumbuleuit (utara Bandung), dan sebagian  muntahan telah memblokir alur Sungai Citarum yang dahulunya mengalir lewat lembah Sungai Cimeta, yang terletak di utara Padalarang sekarang. Akibat terbendungnya Sungai Citarum Purba, maka terbentuklah Telaga Bandung yang sering disebut sebagai Situ Hiang (Kunto, 1984: 22).

Sebagai ilustrasi seberapa luas Telaga Bandung, kiranya dapat diungkapkan ukurannya. Luas dataran tinggi Bandung yang masa silam pernah menjadi Telaga Bandung, membentang dari Cicalengka di timur sampai Padalarang di barat, sejauh kurang lebih 50 km. Dari Bukit Dago di utara sampai ke batas Soreang-Ciwidey di selatan, berjarak 30 km. Jika dihitung luas Telaga Bandung keseluruhan, hampir tiga kali luas DKI Jakarta. Sedangkan kedalaman Telaga Bandung bisa kita bayangkan lewat angka-angka berikut: Stasiun Kereta Api Bandung terletak 25 meter di bawah permukaan air danau. Sedangkan alun-alun terbenam 30 meter di dasar danau (Kunto, 1984: 25).

infografis danau purba bandung bertutur.com
Infografis by Bertutur.com

Bandung Akhir Masa Neolitikum

Baru sekitar 3000-4000 tahun yang lalu, Telaga Bandung secara bertahap mulai surut airnya. Ditinjau dari segi geoformologi (ilmu bentuk bumi), danau merupakan sesuatu bentuk alami yang sementara saja. Pada waktu Telaga Bandung terbentuk, jurang Sanghiyang Tikoro belum ada, dan baru tersayat kemudian oleh limpahan air danau. Lewat Sanghiyang Tikoro, “pintu air” Telaga Bandung yang terletak di sebelah barat Batujajar, air Telaga Bandung mencari jalan keluar, hingga lama kelamaan danau menjadi kering dan terbentuklah Dataran Tinggi Bandung. Usia Telaga Bandung tidak seberapa lama. Dengan ditemukannya beberapa sisa benda peninggalan purbakala di Majalaya, yang terletak di dasar Telaga Bandung, maka ditarik kesimpulan bahwa pada akhir jaman Neolitikum (jaman batu baru) air di danau purba Bandung ini telah surut (Moestapa, 1924: 67).

Sumber

  1. Budi Brahmantyo. 2001. Menelusuri Jejak Manusia Sunda Purba dari Gua Pawon. Bandung: Kelompok Riset Cekungan Bandung.
  2. Bahtiar. 2002. Kenali Sekarang Sebelum Semuanya Hilang. Bandung: Masyarakat Geografis Indonesia.
  3. Kunto, H. 1984. Wajah Bandoeng Tempo Doeloe. Bandung: Granesia.
  4. Moestapa. 1924. Bale Bandoeng. Bandung: Toko Boekoe M. I. Prawira-Winata Bandoeng.