Sejarah Kemunculan Sigaret Kretek Mesin

kemunculan sigaret kretek mesin

Melonjaknya Pendapatan Cukai Tembakau

Sejak 1950 keadaan perekonomian Indonesia sangat buruk. Inflasi terus melaju, biaya kehidupan semakin lama semakin mahal. Untuk mengatasinya, pada 19 Maret 1950 pemerintah terpaksa mengadakan devaluasi. Dengan latar belakang situasi negara seperti ini, menarik untuk melihat tabel pemasukan cukai tembakau sejak 1951 sampai 1962, yang jumlahnya justru selalu melonjak. Fenomena menarik lainnya adalah terbatasnya jenis rokok yang beredar di pasar, tidak lagi seperti pada 1930-an. Di samping kretek dan sigaret kretek, kita masih menjumpai rokok kawung di daerah Jawa Barat (sekalipun hasil produksinya telah banyak berkurang), dan rokok klembak di daerah Banyumas. Jenis rokok yang terakhir ini termasuk rokok siong, yang hingga sekarang masih banyak digemari (Solichin Salam, 1983: 13).

Rokok siong muncul pada Perang Dunia 1, yang pecah pada 1914. Mula-mula dibuat oleh seorang Tionghoa Kebumen, Tang Eng Siang. Untuk memudahkan pembeli mengenal rokok buatannya, pengusaha ini memberi merek rokoknya Eng Siong, yang artinya selalu sukses. Semakin lama rokok tersebut semakin digemari masyarakat hingga akhirnya terkenal dengan nama rokok siong, yang merupakan kependekan dari nama merk Eng Siong (Amen Budiman, 1987: 1). 

Jenis-jenis Sigaret

Sementara itu kita juga melihat perubahan arti kretek. Jika pada zaman penjajahan Belanda dulu istilah ini dipakai untuk menyebut jenis rokok asli yang dibuat dengan menggunakan tembakau bercampur cengkeh, dan dibungkus oleh klobot (daun jagung yang dikeringkan). Pada zaman sekarang istilah ini justru dipakai untuk menyebut jenis rokok asli denga isi yang sama, namun bahan pembungkusnya berupa kertas, yang pada zaman penjajahan Belanda justru disebut sigaret kretek. Sekalipun demikian, bukan berarti istilah sigaret kretek tidak lagi dipakai. Kendati istilah ini tidak banyak digunakan di kalangan masyarakat, istilah ini justru dipakai sebagai istilah teknis resmi di sejumlah departemen pemerintah dan pabrik rokok. Yang terbagi menjadi beberapa istilah seperti, istilah SKT (sigaret kretek tangan) untuk menyebut jenis kretek yang pada proses pembuatannya masih menggunakan tangan, SKM (sigaret kretek mesin) untuk menyebut jenis kretek yang seluruh proses pembuatannya dilakukan dengan menggunakan mesin, dan SPM (sigaret putih mesin) untuk menyebut jenis rokok putih yang seluruh proses pembuatannya dilakukan dengan cara yang sama seperti SKM (Amen Budiman, 1987: 87).

Kemunculan Sigaret Kretek Mesin

Industri rokok di tanah air, mengalami suatu masalah serius dengan semakin meningkatnya jumlah produksi sigaret kretek mesin akibat peralihan selera di kalangan masyarakat dari SKT ke SKM. Hasil survei yang pernah dilakukan satu perusahaan kretek di Kudus pada 1986 menunjukkan, SKM berfilter dinilai sebagian masyarakat mempunyai nilai gengsi lebih dan lebih higienis. Di samping itu, tampak kecenderungan peralihan selera menghisap rokok hasil produksi perusahaan-perusahaan besar yang telah terkenal. Malapetaka ini, tampak di beberapa daerah. Pada 1980, di Jawa Tengah terdapat 88 perusahaan rokok. Hanya dalam tempo empat tahun, jumlah ini telah menyusut hingga tinggal 67 perusahaan. Akibatnya, jumlah tenaga kerja yang terserap juga berkurang, dari 60.498 orang pada 1980 menjadi 59.000 pada 1984, sekalipun sempat mengalami kenaikan hingga mencapai 62.802 orang pada 1982 (Lance Castle, 1982: 61).

Berkembangnya Sigaret Kretek Mesin

Ancaman sigaret kretek mesin, juga dirasakan oleh para pengusaha SPM, termasuk para pekerja mereka. Sekalipun sejak bulan Juni tahun 1986 pemerintah telah menurunkan tarif cukai tembakau SPM sebesar 5% hingga menjadi 32,50%, dan 30% dari harga jual, namun perubahan selera masyarakat terhadap sigaret kretek, terutama SKM telah membuat para pekerja perusahaan SPM selalu dihantui PHK. Sebaliknya, hasil produksi sigaret kretek terutama SKM selama periode dari tahun 1980 sampai 1985 terus menanjak, yakni dari 13.900.000.000 batang atau 16% dari seluruh hasil produksi rokok di tanah air menjadi 44.200.000.000 batang atau 39,50% dari seluruh produksi rokok di Indonesia. Bahkan, bisa dimaklumi jika di kalangan pengusaha SPM sampai timbul pendapat tidak ada jalan lain untuk mengatasi masalah tersebut kecuali pemerintah mengizinkan mereka membuat SKM di samping SPM untuk memenuhi selera masyarakat yang semakin meningkat pada SKM. Atau, minimal pada tahap pertama, pemerintah memberikan izin pada mereka untuk membuat suatu jenis rokok yang mendekati SKM, yakni tidak sepenuhnya merupakan kretek murni dan sigaret putih murni (Suharso, 1994: 154).

Daftar Sumber

  1. Buku

  • Amen Budiman dan Onghokham. 1987. Rokok Kretek Lintasan Sejarah dan Artinya Bagi Pembangunan Bangsa dan Negara. Kudus: PT Djarum.


  • Castle, Lance. 1982. Tingkah Laku Agama, Politik dan Ekonomi di Jawa: Industri Rokok Kudus. Jakarta: Sinar Harapan.
  • Solichin Salam. 1983. Kudus dan Sejarah Rokok Kretek. Kudus: PPRK.
  • R. Suharso. 1994. Masyarakat Kudus Kulon dalam Pembangunan Ekonomi. Jakarta: IKIP Jakarta.
0 0 votes
Beri Kami Nilai
Subscribe
Notify of
guest

1 Comment
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
trackback
1 year ago

[…] Baca Juga […]