Supersemar adalah surat perintah 11 Maret, merupakan salah satu pertistiwa besar yang ada di Indonesia. Supersemar lahir Pada 11 Maret 1966, lima setengah bulan paling menegangkan dalam sejarah Indonesia merdeka mulai berakhir. Pada tanggal itu, Presiden Soekarno menandatangani surat. Di surat tersebut, ia memerintahkan Jenderal Soeharto mengambil semua tindakan yang perlu untuk mengembalikan keamanan. Itulah awal peristiwa yang menjadi latar belakang terjadinya supersemar

Supersemar Alat Legitimasi Soeharto

Pada kenyataanya, meski pasti bukan maksud Soekarno, Supersemar menjadi alat legitimasi dari Soeharto untuk mengambil alih kekuasaan. Tanpa ragu-ragu Soeharto langsung membubarkan Partai Komunis Indonesia. Tanpa pula menghiraukan imbauan Soekarno, Jenderal Soeharto langsung menangkap sekitar 12 Menteri Kabinet dari jajaran Kabinet Dwikora II ~yang sering kita kenal dengan Menteri 100~ (Kompas, 11 Maret 2011). Setelah itu, Soeharto lalu membentuk Kabinet baru. Sejak saat itu, dimulailah kisah panjang sang jenderal yang memimpin Indonesia hingga 32 tahun lamanya.

          “Empat puluh lima tahun kemudian, peristiwa historis itu tetap kontroversial. Tak bisa tidak. Terlalu kompleks situasi dan kondisinya, terlalu raksasa dampaknya bagi bangsa Indonesia, dan terlalu mengerikan jumlah korbannya” (Kompas, 11 Maret 2011).

 Supersemar terjadi karena adanya gejolak politik dalam negeri pasca terjadinya peristiwa G30S pada 1 Oktober 1965. Pada peritiwa itu, tentara menganggap dalang dari pembunuhan 7 Jendral adalah PKI, yang akhirnya memicu kemarahan para pemuda anti-komunis, dan membuat Aksi Mahasisa Indonesia (KAMI) tahun 1965. KAMI tergabung dalam Front Pancasila yang dilindungi tentara, bersama organasasi lainnya seperti, KAPPI, KABI, KASI, KAWI, dan KAGI.

Latar Belakang Terjadinya SUPERSEMAR

Kesatuan dari mereka ini lalu melakukan aksi unjuk rasa kepada Soekarno yangndianggap tidak mengusut G30S dan perekonomian yang kian memburuk. Aksi demonstrasi kian memuncak saat inflasi menyentuh hingga 600% pada awal 1966. Pada 12 Januari 1966 organisasi yang tergabung dalam Front Pancasila membentuk aksi unjuk rasa di halaman Gedung DPR-GR. Demonstrasi ini menciptakan Tritura (tiga tuntutan rakyat) yang berisikan pembubaran PKI, pembersihan Kabinet Dwikora dari unsur-unsur yang terlibat G30S, dan penurunan harga.

Soeharto sudah sangat paham, bahwa aksi berkelanjutan dari mahasiswa ini akan menghabiskan kesabaran Soekarno dan membuatnya cemas. Untuk melindungi mahasiswa, Kemal Idris mengatur pemindahan basis kedudukan mereka di Universitas ke markas besar Kostrad di jalan Kebon Sirih, di mana unit pasukan khusus Ali Moertopo di tempatkan (Elson,2005: 256). Dengan dukungan Kemal, Sarwo, dan Ali Moertopo, demonstrasi mencapai puncak ketegangan baru. Sarwo edhie bahkan mendaftarkan diri sebagai mahasiswa sebuah universitas sebagai tanda solidaritasnya terhadap aspirasi mahasiswa. Sementara itu, Soeharto terus mendesak agar PKI dibubarkan, namun Soekarno belum juga bertindak. Tanggal 4 Maret, Soeharto meminta izin kepada Soekarno agar para menteri yang diduga terlibat dalam aksi kudeta diamankan. Namun, Seokarno kembali menolak. 

Diskusi Awal Maret Soeharto

Pada awal Maret, Soeharto membuat sebuah pertemuan dengan Staf Jenderal di kantor Sugih Arto (asisten 1). Di sana, mereka mendiskusikan beberapa hal. Setelah mendiskusikan berbagai hal, ia berkesimpulan bahwa pada rapat kabinet yang dijadwalkan pada 11 Maret di Istana Merdeka, ia harus menahan anggota kabinet yang bersalah.

Soekarno perlu diyakinkan bahwa gejolak politik yang dipicu oleh aksi mahasiswa dan prajurit yang radikal mulai tidak bisa dikendalikan, dan hanya Soeharto lah yang dapat membereskan hal itu. Tanggal 6 Maret dengan para stafnya, Soeharto kembali menekankan kepada Soekarno bahwa “stemming dikalangan TNI sudah demikian buruknya, sehingga saya tidak dapat bertanggung jawab apabila mereka ada yang meninggalkan pasukan dan melanggar disiplin untuk menggabungkan aks-aksi rakyat (Elson, 2005: 258)

 Dini hari tanggal 10 Maret 1966, Soeharto mengadakan pertemuan di markas besar Kostrad dengan para pemimpin mahasiswa. Rapat itu mungkin bermaksudkan untuk menginformasikan para mahasiswa mengenai apa yang akan dilakukannya. 

Rapat Kabinet yang Tak Selesai

Pada tanggal 11 Maret 1966, pagi-pagi sekali Soekarno sudah berangkat dari Istana Bogor menuju Istana Merdeka di Jakarta menggunakan helikopter bersama ajudan senior Presiden merangkap Komandan Resimen Tjakrabirawa Brigadir Jenderal Sabur, Mangil Martowidjojo selaku Komandan Detasemen Kawal Pribadi, serta pilot Kolonel penerbangan Kardjono (Martowidjojo, 1999: 421).

Setelah tiba di Jakarta, Soekarno lalu menuju Istana Negara untuk menghadiri sidang kabinet. Saat sidang Kabinet berlangsung, ada informasi yang disampaikan kepada Komandan Resimen Tjakrabirawa, bahwa banyak tentara liar yang sedang berada di sekitaran Monas yang lokasinya tidak terlalu jauh dari Istana Merdeka tempat helikopter kepresidenan parkir. Mereka tidak menggunakan tanda dari kesatuannya, sehingga disebut dengan tentara liar.

Dengan mempertimbangkan segala resiko yang ada, setelah menerima laporan tersebut, Brigjen Sabur memutuskan untuk berdiskusi dengan Mayor Jenderal Amirmachmud yang sedang ikut serta dalam sidang kabinet selaku Panglima Kodam V Jaya dan penanggung jawab keamanan daerah Ibu Kota Jakarta Raya. Hasil pembicaraan dari mereka adalah memutuskan agar Soekarno pergi ke Istana Bogor saja dengan menggunakan helikopter dengan alasan keamanan.  Mendengar penjelasan tentang kondisi yang sedang berlangsung, Soekarno yang sedang memimpin sidang kabinet di Istana Negara Jakarta terpaksa harus meninggalkan ruang sidang, dan mulai berangkat menuju ke Istana Bogor (Martowidjojo, 1999: 422).

Segera setelah rapat dibuka kembali untuk kemudiam ditutup oleh Leimena, Amirmachmud keluar dari istana bersama-sama dengan Mayjen Basuki Rachmat dan Brigjen Moh. Yusuf. Menurut penuturan Amirmachmud, Yusuf menyarankan agar mereka bertiga pergi ke Bogor untuk mengadakan pembicaraan dengan Soekarno, sehingga Bung Karno tidak merasa telah ditinggal oleh AD.

Lahirnya Supersemar

Sebelum menemui Soekarno, ketiga Jenderal tersebut melapor ke Soeharto dan menceritakan kejadiaan dalam sidang kabinet. Soeharto pun menitip pesan melalui mereka bertiga untuk Soekarno “pertama, sampaikan salam saya kepada Bung Karno dan kedua, Bung Karno tidak usah khawatir, Kitil sanggup menyelamatkan Pancasila, UUD 1945, menyelamatkan Revolusi Indonesia, dan memelihara keamanan, asal kita diberi kepercayaan untuk itu. Soeharto dikemudian hari menyatakan bahwa ia “mengutus ketiga pejabat itu untuk menyampaikan kepada Soekarno kesiapsiagaannya dalam “mengatasi keadaan apabila Presiden Soekarno memberi tugas dan kepercayaan penuh kepada saya” (Elson, 2005: 260). Saat itu, menurut Amirmachmud, ia tak menyebut-nyebut surat perlimpahan wewenang.

Sesampainya Soekarno di halaman istana Bogor, ia langsung menuju kediamannya di pavilion Istana. Beberapa saat kemudian terdengar suara helikopter mendarat di Istana Bogor. Ternyata helikopter itu berisikan Waperdam I Soebandrio dan Waperdam III Chaerul Saleh, keduanya membawa ajudan masing-masing (Martowidjojo, 1999: 424). Tidak lama dari situ, ada satu helikopter lagi yang datang ke Istana Presiden. Yang turun dari helikopter adalah Jenderal Basuki Rahmat, Jenderal M. Jusuf, dan Panglima Kodam V Jaya Jenderal Amirmachmud.

Sesudah Brigjen Sabur berbincang-bincang dengan ketiga Jenderal tersebut.  Ia lalu menuju pavilion Soekarno yang pada saat itu sedang beristirahat. Tak lama kemudian Brigjen Sabur mempersilahkan ketiga Jenderal tersebut untuk masuk ke pavilion Soekarno. Pada saat itu kira-kira sudah magrib, Brigjen Sabur dengan tergesa-gesa menghampiri pavilion Mangil Martowidjojo sambil membawa kertas dan berkata kepada anggota staf ajudan Presiden, minta mesin tik dan kertasnya “ gua mau bikin surat perintah nih” (Martowidjojo, 1999: 425).

Kembalinya Tiga Jenderal ke Jakarta

Kurang lebih pukul 20.00 Jenderal Basuki Rachmat, Jusuf dan Amirmachmud meninggalkan pavilion istana Bogor dan kembali menuju Jakarta dengan naik mobil dengan membawa dokumen yang tadi sudah dibuat. Setelah itu, tidak ada kegiatan lagi dan tidak ada tamu datang Untuk Presiden Soekarno di Istana Bogor. Mereka bertiga lalu menuju rumah Soeharto di jalan. Haji Agus Salim untuk melapor. Namun pada saat itu Soeharto sedang berada di Markas Kostrad menerimna para panglima yang berdatangan dari daerah-daerah, Mereka pun lalu menuju ke Markas Kostrad dan dokumentasi yang mereka bawa dari Bogor langsung diserahkan kepada Soeharto.

Soeharto kemudian menandatanganinya pada dini hari tanggal 12 Maret. Namun entah bagaimana caranya, surat itu dalam bentuk keputusan presiden, dibuat atas nama presiden, bukan Soeharto sendiri yang isinya kemudian disiarkan pada pukul 6 pagi oleh RRI.

Kontroversi dalam Supersemar

Anggota Tjakrabirawa, Soekardjo pada 1998 mengaku melihat Jenderal Panggabean menodongkan pistolnya pada Soekarno, sementara Jenderal Yusuf menyodorkan map surat untuk ditandatangani. Pengakuan itu didukung oleh Kaswadi dan Rian Ismail (Kompas, 10 Maret 2008). Ada juga sumber lain yang membantah pengakuam Soekardjo. Mengenai naskah asli, public juga pernah berharap kepada Jenderal M Jusuf. Namun, hingga M Jusuf meninggal pada 8 September 2004, publik tetap tidak tahu. Saat hadir dirumah almarhum, Jusuf Kalla yang saat itu masih menjadi calon wakil presiden menuturkan, menurut M Jusuf, naskah asli ada ditangan Pak Harto. Begitulah salah satu kontroversi Supersemar. Hingga kini pun keberadaan naskah aslinya belum diketahui. Mungkin saja pihak yang menyimpannya tidak akan mengungkapkan ke publik karena takut terkena UU No 7/1971 tentang Ketentuan Pokok Kearsipan Fasal II. Atau mungkin dugaan Ben Anderson yang benar, kemungkinan naskah asli Supersemar dihilangkan karena diketik dengan kop Markas Besar Angkatan Darat.

Hal diatas barulah salah satu kontroversi dari Supersemar, belum lagi mengenai siapa yang  mengetik sebenarnya, bagaimana kondisi Bung Karno saat itu sehingga mau menandatangani surat itu, lalu apa kata Jenderal Jusuf, Basuki Rachmadm dan Amir Machmud kepada Bung Karno maupun Soeharto dan sebagainya. Yang pasti dari beragam kontroversi yang ada, Soeharto tetap keluar menjadi pihak yang paling diuntungkan. Soeharto telah menggunakan Supersemar demi politiknya, yakni mendapat peran sebagai orang nomor satu di negeri ini. Bahkan untuk memperkuat posisinya, Soeharto mencari legitimasi MPRS agar Supersemar dinilai konstitusional (Kompas, 10 Maret 2008).

Sumber

  1. Kompas, 11 Maret 1971
  2. Kompas, 10 Maret 2008
  3. Kompas, 11 Maret 2011
  1. Anwar, Rosihan. 1995. Soebadio Sastrosatomo: Pengemban Misi Politik. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
  2. Elson, R.F. 2005. Suharto Sebuah Biografi Politik. Jakarta: Pustaka Minda Utama
  3. Martowidjojo, Mangil. 1999. Kesaksian Tentang Bung Karno 1945-1967. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.