Taktik Gerilya Jenderal Soedirman pada Masa Agresi Militer 2

taktik gerilya jenderal soedirman

Sekilas Peristiwa Menuju Agresi Militer 2

Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 menjadi sebuah pernyataan bahwa Indonesia kini telah menjadi negara yang merdeka dan berdaulat. Tegasnya, kini Indonesia tidak mengizinkan kekuasaan lain hadir dan berdaulat di Indonesia, karena kedaulatan kini sudah dimiliki oleh rakyat Indonesia sendiri. Namun ternyata yang diharapkan tidak sesuai dengan kenyataan, rakyat Indonesia masih harus berjuang dalam serangkaian agresi militer yang kembali merongrong kedaulatan Indonesia.

Keinginan Belanda untuk menguasai kembali tanah koloninya ini dilakukan dengan berbagai macam cara. Kali ini Belanda hadir di Indonesia dengan memboncengi pasukan sekutu. Indonesia yang sudah menyatakan diri sebagai negara merdeka tentu saja tidak mau “menjamu” kedatangan Belanda dengan begitu saja. Alhasil terjadilah berbagai macam peperangan karena gesekan yang tidak bisa terhindar.

Diantaranya adalah pertempuran Surabaya, pertempuran Ambarawa, pertempuran Medan Area, pertempuran Padang yang terjadi pada tahun 1945. Kemudian disusul dengan pertempuran Bandung Lautan Api pada 1946. 

Banyaknya pertempuran yang terjadi, membuat Belanda kian mengamuk dengan mengirimkan lebih banyak pasukannya lagi ke Indonesia. Puncak pertentangan ini terbungkus dalam penamaan yang sering kita dengar dengan sebutan “Agresi Militer I”. Sempat dilakukan upaya diplomasi untuk mencegah terjadinya perang diantaranya ada perjanjian Linggarjati dan Renville yang telah disepakati oleh kedua belah pihak (Indonesia dan Belanda). Namun pihak Belanda ternyata melanggar perjanjian-perjanjian tersebut, hingga pada akhirnya pasukan payung Belanda melancarkan serangan terhadap lapangan terbang Maguwo yang berada di Jawa Tengah (kurang lebih 6KM di sebelah timur ibu kota Republik Indonesia Yogyakarta) pada 19 Desember 1948. Serangan inilah yang menandai dimulailah peristiwa “Agresi Militer Belanda 2” 

Taktik Gerilya Jadi Pilihan Jenderal Soedirman

Dengan adanya peristiwa penyerangan lapangan Terbang Maguwo tersebut, Panglima Besar Jenderal Soedirman yang diangkat langsung oleh Presiden Soekarno, langsung mengeluarkan Perintah Kilat untuk seluruh angkatan perang agar menjalankan rencana dalam upaya menghadapi Belanda (Poespito, dan Notosusanto: 2011: 158). 

Pada 19 Desember 1948 konsep “Perintah Kilat Soedirman” yang ditulis tangan oleh Jenderal Soedirman sendiri itu kemudian dibacakan di Radio Republik Indonesia (RRI) Yogyakarta (Tjondronegoro, 1982:70). Setelah dibacakan Perintah Kilat tersebut, untuk menghadapi perlawanan dan serangan dari pihak Belanda, Jenderal Soedirman lalu membentuk strategi Perang Gerilya. Taktik Gerilya Jenderal Soedirman tersebut adalah: 1. Melepaskan pertahanan di kota besar dan jaringan jalan raya, serta membangun kantong-kantong gerilya. 2. Melakukan Perang Gerilya. 3. Wingate (kembali daerah asal) bagi satuan yang hijrah ke Yogyakarta setelah perjanjian Renville, misalnya divisi Siliwangi (Wijaya, dkk, 2012:30).

Perintah Siasat Nomor Satu

Untuk membuat suatu strategi pertahanan yang baik dalam menghadapi Belanda, Jenderal Soedirman mengeluarkan Perintah Siasat no 1/48 yang isinya adalah:

  1. tidak akan dilakukan pertahanan linier
  2. Tugas memperlambat kemajuan serbuan musuh, pengungsian total serta bumi hangus total
  3. Tugas membentuk kantong-kantong ditiap Onderdistrik Militer, yang mempunyai perintah Gerilya (disebut Wehrkreis), yang totaliter dan mempunyai pusat di beberapa kompleks pegunungan.
  4. Tugas pasukan-pasukan yang berasal dari “daerah federal” untuk ber-”wingate” dan membentuk kantong-kantong, sehingga seluruh pulau Jawa akan menjadi satu medan perang gerilya yang besar.

Inti tujuan dari Perintah Siasat no 1/48 ini adalah untuk mengadakan perlawanan terhadap Belanda yang akan dilakukan dengan taktik perang gerilya yang agresif, dilakukan oleh tentara dan rakyat dalam jangka waktu panjang untuk membela Republik Indonesia dan sekaligus memenangkan perang. Perang  gerilya ini dipimpin langsung oleh Panglima Besar Jenderal Soedirman dengan membuat benteng pertahanan melalui hutan, bukit, dan pegunungan-pegunungan yang ada di Jawa Tengah untuk melawan pasukan Belanda dan sekutunya. Untuk bisanya tercapai keberhasilan yang harus diperhatikan dalam hal adalah:

  1. Pimpinan Totaliter, artinya dibentuk suatu pemerintahan militer Gerilya yang dipegang oleh lurah sampai kepada pimpinan tertinggi, dalam hal ini Panglima Besar Soedirman.
  2. Politik non kooperatif dan non kontak yang tegas. Semua aparat pemerintah dilarang melakukan kebijakan lain dalam hubungan dengan musuh.
  3. Organisasi TNI dengan tiga macam tugas:
  1. Pasukan mobil, yang bertugas tempur dengan perbandingan senjata dan personel
  2. Pasukan Teritorial yang bertugas melaksanakan pembinaan teritorial dan perlawanan statis
  3. Melaksanakan Wingate (menyusup) ke daerah kekuasaan musuh, yang pernah ditinggalkan karena “hijrah, untuk diisi dengan kekuatan Gerilya, untuk menciptakan kantong di daerah tersebut (Poesponegoro, dan Notosusanto, 2011:255).

Keyakinan dalam menjalankan taktik gerilya ini memang sudah terpupuk dalam jiwa Jenderal Soedirman. Hal ini terbukti dengan sebuah ungkapan yang selalu diucapkannya dalam pidato-pidato kepada jajaran TNI

“Kita beruntung Allah SWT telah memberikan kepada kita gunung-gunung, lembah-lembah, hutan-hutan, sungai-sungai, dan kekayaan alam lainnya yang memungkinkan kita dapat bertahan melakukan perang gerilya melawan musuh yang alat persenjataannya lebih lengkap, dengan jiwa dan semangat perjuangan yang lebih teguh daripada lawan” (Cokropranolo dalam Soetanto, 2006:373) 

Gerilya dalam Keadaan Sakit Parah

Kurang lebih tujuh bulan Jenderal Soedirman melaksanakan Gerilya-nya selama masa Agresi Militer 2 (1948 – 1949). Pasukan Gerilya yang berpindah-pindah tempat memanfaatkan alam, dari satu tempat ke tempat lainnya. Dalam keadaan sakit dan harus ditandu, sedangkan ketersediaan obat yang hampir tidak ada, Soedirman selalu memberi semangat serta petunjuk kepada pasukannya, seolah dia sendiri tidak merasakan sakit yang sedang dideritanya.

Setelah berakhirnya perang menghadapi pasukan Belanda itu, Jenderal Soedirman meninggalkan desa Sobo, Tirtomoyo, untuk menuju kembali ke Ibukota Yogyakarta. Jenderal Soedirman sempat bermalam di dusun Krejo desa Genjahan Kecamatan Ponjong Gunung Kidul, dan pada malam itu juga menghadaplah Letkol Soeharto sebagai Komandan Wehrkreis III Yogyakarta, dan memberi laporan bahwa situasi dan kondisi Ibukota RI Yogyakarta yang sudah aman dan kondusif siap menanti kembalinya Jenderal Soedirman.

Kembalinya Panglima Besar Jenderal Soedirman ke Yogyakarta  

10 Juli 1949, setelah melewati perjalanan panjang Gerilya selama kurang lebih delapan bulan, akhirnya sang Panglima Besar kembali. Soekarno dan Moh.Hatta, beserta para pejabat tinggi sudah berdiri di serambi depan Gedung Negara Yogyakarta menunggu kepulangan Jenderal Soedirman (Soekamto, 2011: 142).  Panglima Besar Soedirman kembali bersama Komandan Pasukan Pengawalnya yaitu, Letkol. Soeadi dan ajudannya, Kapten Soepardjo dengan diantar Wakil Kastaf APRI Kolonel Simatupang.

Perang Gerilya yang dipimpin langsung oleh Jenderal Soedirman dengan berbagai konsep serta strateginya ternyata berhasil untuk mengusir para penjajah Belanda dari Indonesia. Hal ini menunjukkan kepada masyarakat Indonesia dan dunia, bahwa kekuatan TNI masih ada, kuat, dan sanggup untuk menghadapi pasukan Belanda. Jenderal Soedirman berhasil menghadapi Jenderal Simon Hendrik Spoor, Gerilya berhasil menghadapi Operatie Kraii dengan perlengkapan militer yang lebih lengkap. Sang gagak pun tidak berhasil melumpuhkan musuhnya. 

Tidak berhasilnya pasukan Belanda dalam menguasai Indonesia lewat peperangan ini, memaksa mereka harus kembali duduk dalam meja perundingan, yang kemudian berhasil menciptakan Konferensi Meja Bundar (KMB). Berkat adanya KMB inilah mulai terbentuknya pengakuan terhadap kedaulatan Republik Indonesia dari bangsa Belanda.

Sekian dulu artikel Bertutur mengenai Taktik Gerilya Jenderal Soedirman pada Masa Agresi Militer 2, semoga bermanfaat buat Kawantur semua, dan terus kunjungi website Bertutur secara berkala ya untuk baca artikel-artikel menarik lainnya, have a nice day.

Sumber

  1. Adi, A.K. 2011. Soedirman Bapak Tentara Indonesia. Yogyakarta: Mata Padi Pressindo.
  2. Heiboer, P. 1998. Agresi Militer Belanda: Memperebutkan Pending Zamrud Sepanjang Khatulistiwa 1945-1959. Jakarta: PT Grasindo
  3. Ismawati, N.S. 2008. Agresi Militer Belanda. Jakarta: Permata Equator Media.
  4. Poeponegoro, dan Notosusanto. 2011. Sejarah Indonesia Jilid VI. Jakarta: Balai Pustaka
  5. Sardiman. 2008. Guru Bangsa: Sebuah Biografi Panglima Besar Jenderal Soedirman. Yogyakarta: Ombak.
  6. Soekamto, R.E. 2011. Panglima Besar Tidak Pernah Sakit: Biografi Pangsar Jenderal Besar Soedirman. Yogyakarta: Narasi.
  7. Soetanto, H. 2006. Yogyakarta 19 Desember 1948: Jenderal Spoor (Operatie Kraai Versus Jenderal Sudirman (Perintah Siasat no. 1). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
0 0 votes
Beri Kami Nilai
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments