Pemilu 1977: Pemilu Ketiga dengan Bumbu Penyederhanaan Partai Ala Orba

pemilu 1977

Pemilu 1977 adalah pemilu ketiga yang berhasil diselenggarakan oleh Republik ini. Bagi pemerintahan Orba, Pemilu 1977 ini adalah kali kedua mereka menyelenggarakan pemilu dengan harapan ada pemilu ketiga, keempat, dan seterusnya yang terselenggara di bawah kepanitiaan Orde Baru. 

Peserta Pemilu 1977

Mengapa pembahasan mengenai peserta pemilu 1977 dipilih menjadi sub-bab pertama dalam tulisan ini? Karena hal yang paling unik dalam pemilu 1977 adalah mengenai peserta yang mengikuti Pemilu 1977. Pada Pemilu sebelumnya (1971), terdapat 9 partai politik dan 1 organisasi masyarakat (Golkar) yang menjadi kontestan pemilu. Dua tahun setelah Pemilu 1971 ini selesai, pada 1973 MPR mengeluarkan ketetapan mengenai GBHN (Garis Besar Haluan Negara) yang menegaskan mengenai perlunya pengelompokkan organisasi peserta pemilu. Dengan kata lain, partai-partai yang dianggap “sejenis” akan difusikan. Realisasi dari peraturan ini membuat 9 partai yang ada pada  pemilu 1971, dilebur menjadi hanya ada dua partai dan satu Golkar saja. Jadi yang akan menjadi kontestan pada pemilu 1977 ini yaitu, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Demokrasi Indonesia (PDi), dan Golongan Karya (Golkar) 

Partai Persatuan Pembangunan (PPP)

Pertama, Partai Persatuan Pembangunan yang berasaskan spiritual sebagai fusi dari partai islam Nahdlatul Ulama (NU), Partai Muslim Indonesia (Parmusi), Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII), dan Pergerakan Tarbiyah Islamiah (Perti). Nahdlatul Ulama yang berhasil menjaring suara paling banyak di Pemilu 1971 dibanding dengan tiga partai lainnya yang ikut dalam fusi ini, membuat NU menjadi dominan dalam posisi pengurusan PPP. Hampir seluruh jabatan penting dan strategis dalam kepengurusan PPP diduduki oleh orang-orang NU.

Kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat PPP (Kedaulatan Rakyat, 16 Februari 1973):

  • Ketua Umum : H.M.S Mintaredja, SH
  • Wakil Ketua Umum : H. Nurdin Lubis
  • Ketua 1 : Drs H.T.M Gobel; Nur Hasan;  KH. Saifuddin Zuhri; J. Naro, SH;  H. Imam Sofyan.
  • Sekretaris Jenderal : Yahya Ubeid, SH
  • Wakil Sekretaris Jenderal : Drs. M. Husni Thamrin; Yudo Paripurno, SH; H.  Mahmub Djuaidi; Drs. Darussamin AS; H. A Chalid Mawardi.

Majelis Pertimbangan Pusat

  • Ketua Umum : KH. Manskur.
  • Wakil Ketua Umum : Drs. MA. Gani, MA.
  • Ketua : Djadil Abdullah; T.M Saleh; Drs. Syahmanap.
  • Majelis Syuro : K.H Bisri Syamsuri; K.H Dachlan; K.H Moh Syafei

  Wirakoesoemah; K.H Rusli A Wahid; K.H Balya Umar; K.H  

  Zaeni Mifbah; K.H Syuhairi Chatib; K.H Aiz Halim; K.H Mustafi 

  Jusuf; K.H Achmad Sidiq; Dr. Muhibuddin Wali; K.H Misbah;

  K.H Aini Chalik; K.H Usman Abidin.

Partai Demokrasi Indonesia (PDI)

Kedua, Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang bercorak Nasionalis – Materialis  ini merupakan hasil fusi dari lima partai yaitu, Partai Nasionalis Indonesia (PNI), Partai Katholik, Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), Partai Murba, dan  Partai Kristen Indonesia (Parkindo). Fusi dari kubu ini berlangsung dari mulai tahun 1970 – 1973 dengan proses yang begitu sulit.  Bukan saja sulit dalam memadukan asas dan program, namun keengganan, kelambanan, dan pertentangan diantara mereka sendiri yang membuat fusi sulit dibentuk (Kompas, 8 Januari 1973). Namun, karena adanya tekanan dari pemerintah atas, fusi ini akhirnya bisa terbentuk pada 10 Januari 1973.

Pada 16 Januari 1973, disusunlah pimpinan inti dari PDI. Susunan ini terdiri dari 25 anggota majelis Pimpinan Pusat, 11 Dewan Pimpinan Pusat yang terdiri dari 1 orang Ketua Umum, dan 5 ketua, serta 4 Sekjen yang dikoordinir oleh Sekjen Koordinator.  

Kepengurusan Pusat Partai Demokrasi Indonesia:

  1. Majelis Pimpinan Pusat terdiri dari 25 orang yaitu: Achmad Sukarmadidjaja; Dr. H.M.N.M Hasjim Ning; Andi Parenrengi Tanri; Mustafa Soepangat; WA. Valik; Drs. Ben Mang Reng Say; R.G Duriat; Palausuka; F.S Wignyosumarsono; Drs. MB Somosir; Alexander Wenas; JCT. Simorangkir S,H; Sabam Sirait; JHD. Tahamata; Drs. TAM Simatupang; Sugiarto Murbantoko SH; John B. Andreas; Drs. Zakaria Raib; Djon Pakan; Muhidin Nasution; Mh Isnaeni; Pror. Sumawar Sukowati SH; Abdul Majid; Drs. Hardjanto; Drs. Gowi.
  2. Dewan Pimpinan Pusat
  • Ketua Umum : Mh. Isnaeni
  • Ketua : Achmad Sukarmadidjaja; Drs. Beng 

  Mang Reng Say; Alexander Wenas;

  Sugiarto Murbantoko; Prof. Sunawar

  Sukowati, SH.

  • Sekretaris Jenderal Koordinat : Sabam Sirait
  • Sekretaris jenderal : WA. Chalik; FS Wignyosumarsono;

  Djon Pakan; Abdul madjid.

Keadaan Partai-partai Pasca Fusi

Adanya restrukturisasi politik, berdampak pada timbulnya berbagai masalah internal partai. Umumnya konflik ini terjadi karena fusi yang dilakukan belum matang, serta adanya perbedaan kepentingan, ideologis, kelangkaan posisi, dan sumber kekuasaan dalam kepengurusan partai politik serta alienasi politik.  

Pasca fusi, keadaan PDI tidak jauh beda dengan PPP. Pada awal  pembentukan sudah terjadi konflik internal. Timbulnya konflik internal yang berkepanjangan dalam tubuh PDI ini disebabkan oleh dua hal yaitu, persaingan antar unsur, dan antar individu. Konflik antar individu inilah yang lebih banyak mewarnai konflik yang terjadi ditubuh PDI. Konsekuensi lainnya yang harus diterima PDI akibat fusi ini adalah hilangnya identitas PDI sebagai partai yang bersatu. Latar belakang  ideologi yang berbeda diantara sejumlah partai yang berfusi, menjadikan PDI kehilangan simbol pribadi partai. Dalam tubuh PDI, ada kecenderungan konflik antara PNI melawan partai Katolik, Parkindo, IPKI, dan Murba. Hal ini bermula dari keinginan elite PNI yang berusaha mendominasi kepanitiaan kongres, sebagaimana yang telah disepakati dalam Munas PNI tanggal 2-3 februari 1974.

Dikutip dari Deliar Noer dalam (Arif Yulianto, 2002), tipologi unsur PPP pasca fusi 1973 ada dua diantaranya: (a) kelompok modernis yang terdiri dari Partai Muslim Indonesia (Parmusi), dan PSII, (b) kelompok tradisional yang terdiri dari NU dan Perti. Kedua unsur inilah yang sering menyebabkan konflik dalam tubuh PPP.  Kelompok modern lebih cenderung pro pemerintah, sedangkan kelompok tradisional ini dianggap sebagai radikal.

Partai Persatuan Islam menggunakan simbol Ka’bah dalam rangka menunjukkan identitas keislamannya. Ternyata hal ini ditentang oleh pemerintah, tentunya campur tangan pemerintah Orba terhadap partai-partai sudah buka rahasia lagi, bagaimana mereka mengontrol segala sesuatu terhadap para pesaing Golkar itu yang biasanya dilakukan melalui Departemen Dalam Negeri atau pejabat militer.

Hasil Pemilu 1977

Ide mengenai penyederhanaan partai-partai politik atau fusi partai ini sebenarnya pernah dilontarkan dalam pidato Presiden Soeharto pada Kongres PNI tanggal 11 April 1970 di Semarang, yang sebelumnya sudah tertuang dalam Tap MPRS no. XXII/MPRS/1966. Gagasan ini sempat juga diwacanakan menjelang Pemilu 1971, namun karena terjadinya pro dan kontra, termasuk penolakan dari Partai Kristen Indonesia dan Partai Katolik, membuat rencana penyederhanaan partai ini belum bisa diterapkan di pemilu pertama rezim Orba ini. Menurut Rully Chairul Azwa (2009) setelah dilakukan kebijakan fusi partai-partai politik pada 1973 itu, posisi Golkar semakin kuat diantara dua kekuatan politik lainnya. 

Pertarungan PPP, PDI, dan Golkar di pemilu 1977 pun sampailah pada hari puncak pemungutan suara yang dilaksanakan pada 2 Mei 1977 untuk. Cara pembagian kursi masih sama dengan Pemilu 1971 yaitu mengikuti sistem proporsional di daerah pemilihan. Dari 70.378.750 pemilih, suara yang sah mencapai 63.998.344 suara atau 90,93%. Dari suara yang sah itu Golkar meraih 39. 750. 096 suara atau 62,11%, disusul oleh PPP yang berhasil meraih 18.743.491 suara atau 29,29%, dan PDI yang mendapat suara terkecil yaitu 5. 504. 757 suara atau 8,60%

Manipulasi yang dilakukan rezim Orde Baru pada Pemilu 1977 ini semakin kuat. Pada tahun 1977 ini, pemilihan diselenggarakan menggunakan sistem proporsional daftar tertutup, yang artinya para pemilih hanya dapat mencoblos partai politik saja tanpa dapat melihat wajah dan mengetahui nama-nama calon anggota parlemen yang akan dipilih.

Pemilihan Umum 1977 yang dilaksanakan untuk memilih calon anggota DPR dan DPRD ini menjadi kemenangan telak Golar. Untuk DPR, kelompok partai-partai politik mendapat 128 kursi (PPP 99 kursi, dan PDI 29 kursi), sedangkan Golkar mendapat 257 kursi (semula 232 kursi, kemudian ditambah 25 kursi sesuai dengan hak pengangkatan oleh presiden).

Dengan berbagai macam cara, Soeharto selalu dapat memastikan bahwa jabatan presiden yang pada saat itu dipilih oleh MPR, menghasilkan bahwa dirinya lah yang menjadi presiden. Dengan demikian, Pemilu 1977 ini Soeharto tetap nyaman berada pada kekuasaan tertingginya dengan menunggangi alat politiknya yang bernama Golongan Karya.      

Sumber:

  1. Kedaulatan Rakyat, 16 Februari 1973.
  2. Kompas, 8 Januari 1973.
  3. Arif Yulianto. 2002. Hubungan Sipil Militer di  Indonesia pasca Orba. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada
  4. Azwar, Ruly Chairul. 2009. Politik Komunikasi Partai Golkar di Tiga Era: dari hegemonik ke partai yang berorientasi pasar. Jakarta: Grasindo.
  5. Marwati, Djoened Pusponegoro dan Nugroho Notosusanto. 1993. Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta: Balai Pustaka.
  6. Wahyuti, Ari. 2010. Pemilihan Umum di Indonesia Tahun 1977: Studi Tentang Fusi Partai Politik. Surakarta:Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret.