Peristiwa Bom Atom Hiroshima dan Nagasaki

Peristiwa bom atom hiroshima dan nagasaki

Pemicu Terjadinya Peristiwa Bom Atom Hiroshima dan Nagasaki

Peristiwa bom atom Hiroshima dan Nagasaki terjadi pada tanggal 6 dan 9 bulan Agustus 1945, menjelang Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945. Selain bagi Jepang dan Amerika Serikat, peristiwa pengeboman ini juga menjadi peristiwa yang sangat penting bagi Indonesia.

Sebelum pengeboman terjadi, ketegangan antara Jepang dan AS telah meningkat selama beberapa tahun sebelum Perang Dunia II. Jepang menduduki wilayah Cina timur, yang menyebabkan perang antara Jepang dan AS pada 1937. AS dan negara-negara Barat lainnya mengehentikan ekspor bahan-bahan vital ke Jepang dalam upaya untuk mencegah Jepang melakukan ekspansi lebih jauh. Negara-negara tersebut mencoba untuk menegosiasi agar Jepang mundur dari Cina, dan AS mulai mengekspor bahan bakar lagi pada akhir tahun 1941, namun tidak ada kesepakatan diantara keduanya (Alperovitz, 1996: 48)

Penyerangan Jepang terhadap Pearl Harbour

Jepang kemudian melancarkan serangan udara terhadap pangkalan udara AS di Pearl Harbour, Hawaii pada 7 Desember 1941. Peristiwa ini menewaskan 2.403 tentara AS dan melukai 1.178 lainnya. Serangan itu kemudian dinilai sebagai kejahatan perang karena terjadi sebelum pemberitahuan dan saat pembicaraan damai sedang berlangsung. Kedua negara menyatakan perang satu sama lain, tak lama setelah peristiwa itu (Asada, 1996: 477).

Rencana Invasi Darat Amerika Serikat terhadap Jepang

AS dan Jepang telah berperang selama hampir empat tahun, sejak April 1941. Konflik dan perempuran sengit di Pasifik telah merenggut jutaan orang dari pihak Jepang maupun AS. Perang di Eropa telah selesai hampir dua bulan sebelumnya, pada Mei 1945, setelah Jerman menyerah tanpa syarat. AS sedang mempersiapkan invasi darat ke Jepang, yang akan sangat sulit diperjuangkan. Setidaknya 500 ribu orang Amerika saja kemungkinan akan mati, menurut perkiraan pemerintah AS saat itu. Pada saat yang sama, AS sedang mengembangkan pembuatan bom nuklir sejak akhir 1930-an. Bom sudah siap pada musim panas 1945. Sekutu menyerukan Jepang untuk menyerah pada akhir Juli 1945, mengancam akan terjadi “kehancuran total” jika Jepang tak menyerah (Bagby, 1999: 54).

Penjatuhan Serangan Bom Atom

Karena Jepang tak kunjung menyerah, pada 6 Agustus 1945, sebuah bom uranium yang dijuluki Little Boy dijatuhkan di Hiroshima. Kota itu hancur, puluhan ribu orang tewas seketika, dan sebanyak 146.000 orang tewas tiga bulan setelah serangan. Banyak korban yang dilaporkan menderita kanker dan bentuk penyakit lain yang disebabkan oleh radiasi bom. Sejumlah besar bangunan hancur total atau rusak. Pihak berwenang Jepang menyadari serangan lain bisa terjadi setelah Hiroshima, tetapi memutuskan untuk bertahan daripada menyerah (Bix, 1996: 197).

Serangan berikutnya, bom plutonium berjuluki Fat Man dijatuhkan di Nagasaki pada 9 Agustus 1945. Sebanyak 80.000 orang tewas. Di kedua kota tersebut sebagian besar orang yang tewas adalah warga sipil. Hiroshima dan Nagasaki dipilih sebagai target karena menjadi pusat militer dan industri. Kedua wilayah itu memasok sumber daya angkatan bersenjata Jepang, pembuatan senjata, dan teknologi militer lainnya (Bodden,  2007: 3).

Jepang Akhirnya Menyerah

Jepang menyerah pada 15 Agustus, enam hari setelah serangan di Nagasaki. Kedua kota itu dibangun kembali setelah perang, meskipun Hiroshima dilanda angin topan pada September 1945 yang juga menyebabkan kehancuran besar. Sekitar 145.000 orang yang selamat dari salah satu pemboman, disebut “hibakusha” yang artinya “masih hidup”. Peristiwa ini menjadi perdebatan di dunia, karena tetap menjadi satu-satunya bom nuklir yang digunakan dalam perang. Ada yang mengatakan kejadian ini mengakhiri Perang Dunia II lebih awal, yang akan menyebabkan lebih banyak korban di kedua belah pihak jika AS menginvasi Jepang. Yang lain mengatakan, penggunaan bom nuklir dalam perang pada dasarnya tidak etis dan beberapa menyebut serangan itu sebagai kejahatan perang. Yang lain berpendapat ada cara yang lebih damai untuk mengakhiri perang daripada pengeboman nuklir atau invasi, seperti blokade militer di Jepang. Bom-bom itu membuat bayangan panjang selama paruh kedua abad kedua puluh, dengan Perang Dingin antara AS dan Uni Soviet didominasi oleh kekhawatiran bahwa salah satu negara dapat menyerang yang lain dengan bom nuklir (Brooks, 2007: 83).

Daftar Sumber

  • Buku
  1. Alperovitz, Gar, Tree, Sanho. 1996. The Decision to Use the Atomic Bomb. New York: Vintage
  2. Asada, Sadao. 1996. The Shock of the Atomic Bomb and Japan’s Decision to Surrender: A Reconsideration. New York: Cambridge University Press.
  3. Bagby, Wesley Marvin. 1999. America’s International Relations Since World War I. New York: Oxford University Press.
  4. Bix, Herbert. 1996. Japan’s Delayed Surrender: A Reinterperation. New York: Cambridge University Press.
  5. Bodden, Valerie. 2007. The Bombing of Hiroshima & Nagasaki. Mankato, Minnesota:The Creative Company.
  6. Bradley, F. J. 1999. No Strategic Targets Left. Kentucky: Turner Publishing.
  7. Brooks, Risa. 2007. Creating Military Power: The Sources of Military Effectiveness. Stanford, California: Stanford University Press.